𝗠𝗔𝗡𝗔 𝗕𝗨𝗞𝗧𝗜 𝗠𝗘𝗥𝗘𝗞𝗔 𝗔𝗦𝗬'𝗔𝗥𝗜𝗬𝗔𝗛 ?
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Madzhab yang diikuti oleh seorang ulama bisa diketahui lewat beberapa hal, diantaranya yaitu pertama dengan jalan pengakuan langsung dari ulama tersebut. Semisal dia mengatakan : Saya Syafi’iyyah, saya Hanabilah atau saya Asy’ariyah.
Yang kedua lewat pemikiran atau amalan dari sosok tersebut. Dimana mungkin seorang ulama tidak pernah diketahui mengatakan bahwa ia bermadzhab dengan sebuah madzhab tertentu, namun dari pemikirannya atau amaliyahnya ia diketahui bermadzhab dengan sebuah madzhab.
Yang dimaksud dengan pemikiran atau amaliyah di sini adalah yang menjadi ciri sangat khas dari sebuah madzhab, bukan ciri umum yang ada di dalam sebuah madhzab Islam.
Semisal ketika seorang ulama tidak menyatakan bahwa ia bermadzhab Syafi’i, namun ia diketahui berqunut setiap shubuh dan menyatakan bahwa hukum shalat hari raya itu sunnah misalnya, maka bisa saja ia dikatakan bermadzhab Syafi’iyyah. Karena dua hal yang kita jadikan contoh tersebut memang khas pendapat madzhab Syafi’iyyah.
Dan yang ketiga, madzhab seorang ulama bisa juga diketahui lewat kesaksian ulama lainnya. Semisal dalam thabaqat Syafi’iyyah dinyatakan bahwa imam Izz Abdussalam bermadzhab Syafi’i dalam fiqih dan Asy’ariyah dalam Aqidah, maka itu bisa menjadi bukti bahwa beliau memang bermadzhab dengan dua madzhab tersebut.
Namun tetap saja ketiga hal di atas sifatnya tidaklah pasti, bisa saja dimungkinkan adanya perbedaan pandangan terhadap madzhab seorang ulama meskipun dia menyatakan madzhabnya A misalnya, karena ternyata amaliyah atau pemikirannya dinilai lebih dekat kepada pemikiran madzhab B.
Contoh untuk yang pertama ini adalah al imam Ibnu Katsir rahimahullah, beliau secara tegas menyatakan bahwa madzhab beliau dalam Aqidah adalah Asy’ariyah, namun oleh sebagian kalangan dikatakan bahwa amaliyah dan pemikiran Ibnu Katsir lebih dekat kepada Atsariyah.
Atau seorang ulama disebut amaliyah atau pemikirannya B, namun diketahui dalam beberapa keadaan ia lebih dekat kepada A. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat tentang madzhab sang ulama tersebut.
Contoh dalam hal ini misalnya al imam ath Thabari, beliau dinyatakan oleh kalangan Asy’ariyah sebagai bagian dari mereka karena takwil-takwil yang ada dalam tafsirnya yang sangat sejalan dengan paham Asy’ariyah, namun oleh sebagian pihak ditolak karena dalam hal lain beliau sejalan dengan kalangan Atsariyah.
Yang selanjutnya adakalanya seorang ulama dipersaksikan oleh ulama lain bermadzhab A, tapi ternyata oleh ulama yang lain lagi ia dimasukkan ke dalam thabaqat ulama B. Sehingga terjadilah perbedaan pendapat tentang madzhab ulama tersebut.
Dalam contoh ini misalnya al imam Bukhari, beliau diklaim oleh kalangan Syafi’iyyah bermadzhab Syafi’i, namun oleh kalangan Hanabilah beliau dimasukkan sebagai bagian dari ulama-madzhab tersebut.
Demikianlah permasalahan ini, bukan ilmu pasti yang sifatnya benar dan salah. Apalagi jelas di akhir tulisan telah kami nyatakan bahwa yang dimaksud Asy’ariyah dalam daftar yang telah kami buat adalah bukan hanya ulama yang secara tegas menyatakan ke-Asy’ariyah-annya atau melakukan pembelaan terhadap madzhab ini, tapi termasuk di dalamnya mereka yang menyebutkan keutamaan dari madzhab yang satu ini.
Maka tentu dalam hal yang seperti ini, sangat mungkin terjadi perbedaan pandangan atas madzhab yang dianut oleh seorang ulama diantara kita. Ya berbeda untuk hal yang seperti ini itu biasa saja, selama perbedaan itu didasarkan kepada ilmu dan data, tak selayaknya kita saling menistakan dan saling melemparkan tuduhan yang buruk terhadap sesame muslim.
Maka izinkan kami dalam hal ini untuk menerangkan tentang “keasy’ariahan” Sebagian ulama dengan tiga metode yang telah kami sebutkan, yakni (1) Pengakuannya (2) Fikrah dan amaliyahnya (3) Kesaksian ulama atasnya.
Dan sangat mungkin setelahnya kita akan tetap berbeda pendapat. Dan itu tidak perlu diperuncing, karena tujuan kami menulis berseri tentang bab ini adalah bukan untuk mengajak anda untuk menjadi Asy’ari atau Maturidi, tapi mengajak kita semua untuk bersaudara dalam ikatan keimanan, bersatu padu dengan menghargai perbedaan dan tidak mudah mengusir kelompok lain dari rumah besar Ahlussunnah wal Jama’ah.
Bersambung…
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq