๐ค๐๐๐๐ ๐ฆ๐๐๐๐๐ง ๐ฌ๐๐ก๐ ๐๐๐ง๐๐ก๐๐๐๐๐๐๐ก ๐๐๐ก๐๐๐ก ๐ฆ๐๐ก๐๐๐๐
Apakah di madzhab Syafiโi mewajibkan untuk mengqadha shalat yang ditinggalkan secara sengaja sejak aqil baligh ?
๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฏ๐ฎ๐ป
Oleh Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
Ya, Shalat yang ditinggalkan baik dengan sengaja maupun tidak wajib untuk diqadha. Disebutkan dalam al Mausuโah :
ูุฃู ุง ุงูู ุชุนู ุฏ ูู ุงูุชุฑูุ ููุฑู ุฌู ููุฑ ุงููููุงุก ุฃูู ููุฒู ู ูุถุงุก ุงูููุงุฆุช
โAdapun orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, mayoritas fuqaha' berpendapat bahwa ia wajib mengqadha shalat yang terlewat.โ[1]
Al imam adz Dzahabi rahimahullah berkata :
ุฌู ููุฑ ุงูุฃู ุฉ ุนูู ุฃูู ูุงุจุฏ ู ู ูุถุงุฆูุงุ ูุฃูู ูุถุงุกูุง ูุง ูููู ุนูู ุงูุฅุซู ุฅูุง ุจุชูุจุฉ ู ูู
โMayoritas ulama berpendapat bahwa shalat tersebut harus diqadha, dan qadhanya tersebut tidak menghilangkan dosa kecuali dengan taubat darinya.โ[2]
Wajibnya qadha atas shalat yang ditinggalkan merupakan pendapat yang muโtamad dalam empat madzhab.[3] Sedangkan yang berpendapat tidak adanya qadha untuk shalat yang ditinggalkan dengan sengaja adalah Ibnu Hazm dari madzhab Adz Dzahiri.[4]
๐๐ฒ๐๐ฒ๐ฟ๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฎ๐น๐ฎ๐บ ๐บ๐ฎ๐ฑ๐๐ต๐ฎ๐ฏ ๐ฆ๐๐ฎ๐ณ๐ถโ๐ถ
Berikut ini adalah keterangan dari beberapa ulama madzhab Syafiโi yang menerangkan wajibnya qadha atas shalat yang ditinggalkan secara sengaja di masa lalu tanpa adanya udzur.
Al imam Nawawi rahimahullah berkata :
ู ู ูุฒู ู ุตูุงุฉ ููุงุชุชู ูุฒู ู ูุถุงุคูุง ุณูุงุก ูุงุชุช ุจุนุฐุฑ ุฃู ุจุบูุฑู ูุฅู ูุงู ููุงุชูุง ุจุนุฐุฑ ูุงู ูุถุงุคูุง ุนูู ุงูุชุฑุงุฎู ููุณุชุญุจ ุฃู ููุถููุง ุนูู ุงูููุฑ
โSeseorang yang telah wajib atasnya mengerjakan shalat namun melewatkannya, maka wajib atasnya untuk mengqadha'nya, baik terlewat karena udzur atau tanpa udzur. Bila terlewatnya karena udzur boleh mengqadha'nya dengan ditunda namun bila dipercepat hukumnya mustahab.โ[5]
Syaikh Ahmad Zainuddin al Fannani rahimahullah berkata :
(๏ปญ๏ปณ๏บ๏บ๏บฉ๏บญโ) ๏ปฃ๏ปฆ ๏ปฃ๏บฎ โ( ๏บ๏ป๏บ๏บ๏บโ) ๏ปญ๏บ๏ปฎ๏บ๏บุ ๏บ๏ปฅ ๏ป๏บ๏บ ๏บ๏ปผ ๏ป๏บฌ๏บญุ ๏ป๏ปด๏ป ๏บฐ๏ปฃ๏ปช ๏บ๏ป๏ป๏ป๏บ๏บ ๏ป๏ปฎ๏บญ๏บ
โ(Dan hendaknya bersegera) seseorang yang mengetahui adanya shalat yang terlewat (secara wajib) jika shalat itu luput tanpa uzur, maka ia wajib mengqadhanya segera.โ[6]
๐๐ฎ๐น๐ถ๐น๐ป๐๐ฎ
Hal ini didasarkan kepada dalil-dalil berikut ini :
ู ููู ููุงู ู ุนููู ุตููุงูุฉู ุฃููู ููุณูููููุง ููููููุตููููููุง ุฅูุฐูุง ุฐูููุฑูููุง ูุงู ููููุงุฑูุฉู ููููุง ุฅููุงูู ุฐููููู
โBarangsiapa yang meninggalkan shalat karena tertidur atau lupa, maka hendaknya ia melakukan shalat setelah ingat dan tidak ada kafarat selain itu.โ (HR. Bukhari dan Muslim)
Di hadits lain Nabi shalallahuโalaihi wassalam bersabda:
ุฅุฐุง ูุณููู ุฃุญุฏู ุตูุงุฉู ุฃู ูุงู ุนููุง ููููููุถููุง ุฅุฐุง ุฐููุฑูุง
โApabila seseorang tidak shalat karena lupa atau tertidur, maka hendaknya dia mengqodho ketika ingat.โ (HR. Malik)
๐ฆ๐ถ๐ณ๐ฎ๐ ๐ฏ๐ฎ๐ฐ๐ฎ๐ฎ๐ป
Bagaimanakah sifat bacaan shalat yang diqadha tentang sirr dan jaharnya ? Semisal shalat yang terlupa Ashar (sirr), dan diqadhanya waktu Maghrib atau Isya (Jahriyyah) atau yang terlupa Shubuh (jahr) diqadhanya sudah waktu Dhuha atau Dzuhur (sirr).
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang permasahan ini.
๐. ๐ฆ๐ฒ๐๐๐ฎ๐ถ ๐ช๐ฎ๐ธ๐๐ ๐ค๐ฎ๐ฑ๐ต๐ฎ'
Mayoritas ulama berpendapat bahwa jahr dan sirrnya shalat sesuai dengan keadaan waktu shalat yang diqadha tersebut. Bila dikerjakan siang hari disunnahkan sirr sedangkan bila malam hari dibaca Jahr. Jadi shalat Dzuhur atau Ashar yang diqadha di malam hari menurut mayoritas ulama hendaknya dibaca bacaannya dengan keras (jahr), demikian pula sebaliknya.[7]
๐. ๐ฆ๐ฒ๐๐๐ฎ๐ถ ๐ช๐ฎ๐ธ๐๐ ๐๐๐ฎ๐น
Sedangkan kalangan Madzhab Hanbali berpendapat bahwa shalat yang diqadha mengikuti keadaan asal shalat tersebut. Jadi menurut mazhab ini shalat sirr seperti dzuhur dan Ashar tetap dibaca lirih meskipun diqadha dimalam hari. Demikian pula sebaliknya shalat Jahr yang diqadha disiang hari sunnahnya dibaca Jahr.[8]
Demikian. Wallahu aโlam.
_________
[1] Al Mausuโah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (34/26)
[2] Siyar (10/555)
[3] Al Hidayah (1/73), al Kafi (1/223), al Muhadzdzab (1/106), al Mughni (1/435)
[4] Al Muhalla (2/9)
[5] Majmuโ Syarh al Muhadzdzab (3/68)
[6] Fath Muโin hlm. 37
[7] Al Fatawa al Hindiyyah (1/121), Asy Syarh ash Shagir (1/365), Raudhatul Tahalibin (1/269), al Mughni (1/570).
[8] Kasysyaful Qina (1/343).
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq