Pertanyaan Seputar Puasa Di Bulan Ramadhan.
1). Apa hukum menggunakan pil penunda haid bagi wanita yang ingin berpuasa sebulan penuh?
Boleh, dengan catatan :
~ Untuk dharurat, seperti haji dan ibadah lainnya.
~ Tidak membahayakan, setelah konsultasi dengan dokter misalnya, atau sudah teruji tidak membahayakan, atau informasi dari orang yang dipercaya.
~ Atas izin suami, jika sudah bersuami.
Refrensi:
فائدة ۲۲ : هل يجوز للمرأة استعمال بعض الأدوية من أجل تأخير الحيض وتقديمه؟
الجواب :أجاب العلماء بجواز ذلك بشروط:
أ. أن يكون للضرورة كحج أو غيره.
ب. عدم وجود الضرر بعد استشارة الطبيب مثلاً أو بالتجربة أو بخبر ثقة.
ج. أن يكون بعد استشارة زوجها إن كانت متزوجة.
(ضوابط فن الرياضة في أحكام الحيض والنفاس والاستحاضة، للشيخ أحمد بن عبد الرحمن بارجاء)
Maulana Syekh Ali Jum’ah, dalam halaman Darul Ifta Mesir pernah menyampaikan jawaban terkait ini:
لا مانع شرعًا من استعمال العقاقير الطبية التي تمنع نزول الحيض إذا كان ذلك بمعرفة الطبيب ولا يترتب عليه ضرر بصحة المرأة، ومع ذلك فالخضوع لمراد الله بترك الأمر يجري على ما قدره من حيض ووجوب الإفطار بسببه أثوب لها وأعظم أجرًا.
"Tidak ada larangan secara syar’i dalam menggunakan obat-obatan medis yang mencegah datangnya haid, asalkan dilakukan dengan sepengetahuan dokter dan tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan wanita. Namun demikian, tunduk pada ketentuan Allah dengan membiarkan haid terjadi sebagaimana yang telah ditetapkan-Nya, serta wajib berbuka puasa karenanya, adalah lebih utama dan lebih besar pahalanya baginya.”
Oleh karena itu sebagian ulama memakruhkan tindakan seperti ini, karena dianggap merubah adat wanita dalam beribadah, dan menentang tabiat-nya. Seperti disebutkan oleh Sayyid Muhammad bin Ahmad As-Syathiri:
وكره بعض الفقهاء تغيير العادة في أوقات العبادة حتى لا نعارض الطبيعة التي خلق الله المرأة عليها، ولتبقى في جريانها على طبيعتها.
“Sebagian ulama fikih memakruhkan mengubah kebiasaan (haid) pada waktu-waktu ibadah agar tidak bertentangan dengan fitrah yang telah Allah tetapkan bagi wanita, serta agar tetap berjalan sesuai dengan kodrat alaminya.”
(فتاوى وردود شرعية معاصرة، ص: ٢٠)
2). Apa konsekuensi wanita yang memasuki bulan ramadhan dan belum menunaikan qodho puasa ramadhan sebelumnya?
Sayyid Dr. Zain bin Muhammad Al-Idrus mengatakan dalam “Ithaful Anam Bi Ahkam As-Shiyam”:
من أخر قضاء رمضان بغير عذر وتمكن منه حتى دخل رمضان آخر، لزمه صوم رمضان الحاضر ثم يقضي الأول ويلزمه عن كل يوم فدية، مد من طعام، وبهذا قال ابن عباس وأبو هريرة وعطاء بن أبي رباح وهي والقاسم ابن محمد والزهري والأوزاعي، وهو المعتمد عند الشافعية وكذا الحنابلة.
“Barang siapa yang menunda qadha Ramadan tanpa udzur, padahal ia mampu melaksanakannya hingga masuk Ramadan berikutnya, maka ia wajib berpuasa Ramadan yang sedang berlangsung, kemudian mengqadha puasa Ramadhan tahun sebelumya. Selain itu, ia juga wajib membayar fidyah untuk setiap hari yang ditinggalkan sebesar satu mud dari makanan pokok daerahnya. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Abu Hurairah, Atha’ bin Abi Rabah, Al-Qasim bin Muhammad, Az-Zuhri, dan Al-Auza’i. Ini juga merupakan pendapat yang dipegang oleh mazhab Syafi’i serta Hanbali.”
Mereka semua melandaskan itu dari Atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar:
من أدرك رمضان وعليه من رمضان شيء فليطعم مكان كل يوم مسكينا مدا من حنطة (رواه الدارقطني)
“Barang siapa yang mendapati bulan Ramadhan sementara masih memiliki utang puasa dari Ramadhan sebelumnya, maka hendaklah ia memberi makan seorang miskin sebagai ganti untuk setiap hari yang ditinggalkan sebanyak satu mud gandum.”
Hadist ini walapun dho’if, tapi dikuatkan oleh fatwa dari 6 sahabat: Ali bin Abi Thalib, Husain bin Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Abu Hurairah, dan Jabir, dan tidak ada yang menyelisihinya. Otomatis menjadi “Ijma’ Sukuti”
Jadi, jika seseorang tidak berpuasa di Ramadhan 2024 selama 7 hari karena sakit, hamil, menyusui, haid, nifas atau lainnya. Sampai Ramadhan 2025 belum juga di qadha’, padahal dia mampu. Maka dia, selain wajib untuk mengqadha’ puasa, juga terkena wajib fidyah.
Fidyah satu hari puasa = 1 mud, atau 6,75 ons beras.
Jika sampai Ramadhan 2026 belum juga di qadha’, maka berlipat fidyah nya, berarti 7+7 = 14 mud. Sampai Ramadhan 2027, belum juga di qadha’, maka berlipat lagi jadi 21 mud dan seterusnya.
Tanbih: Fidyah tidak wajib karena tidak mungkin mengqadha di waktu sebelumnya, seperti jika perjalanan atau sakitnya terus berlanjut hingga datang Ramadhan berikutnya, atau ia menunda (qadha) karena tidak tahu keharaman menunda, meskipun ia tinggal dekat dengan ulama. Maka dalam hal ini, ia hanya wajib mengqadha saja.
Namun, jika ia mengetahui keharaman menunda, tetapi tidak tahu kewajiban membayar fidyah, maka ketidaktahuannya tidak menjadi uzur; sehingga ia wajib mengqadha dan membayar fidyah sekaligus.
Adapun ulama dari kalangan Hanafiyyah, mereka tidak mewajibkan fidyah, walaupun dia mengakhirkan qadha’-nya tanpa udzur. Pendapat ini dipegang oleh Hasan Al-Bashri, Ibrahim An-Nakha’i, dan Al-Muzani. Istidlal mereka menyatakan bahwasanya:
إن الفدية عقوبة، ولا عقوبة إلا بنص ولا يوجد نص، وإنما هي فتوى لبعض الصحابة رضي الله عنه
“Fidyah itu berupa Uqubah (balasan), dan tidak ada sebuah Uqubah, kecuali itu dari Nash Al-Qur’an atau Hadist, sedangkan yang mewajibkan fidyah itu diambil dari Astar sahabat bukan dari sebuah Nash.”
3). Apakah wanita haid boleh mengikuti i'tikaf dalam masjid? Khususnya pada 10 hari terakhir Ramadhan?
Sebelumnya, apa itu I’tikaf? Dalam Al-Yaqut An-Nafis disebutkan:
اللبث في المسجد من شخص مخصوص بنية
“I’tikaf adalah berdiam diri dengar kadar yang lebih dari Thuma’ninah sholat (kadar membaca Subhanallah) didalam masjid, dari orang-orang tertentu (muslim, aqil, mumayyiz, suci dari hadast besar) dengan niat.”
Jadi, i’tikaf itu harus didalam masjid, sesuai kesepakatan ulama. Mereka beristidlal dari sebuah ayat:
وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ (البقرة: 187)
“Dan janganlah kalian mencampuri mereka sementara kalian sedang beri’tikaf didalam masjid”
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni mengatakan:
اتفق العلماء على أنَّ الرجل لا يصحُّ اعتكافه إلا في المسجد؛ لقول الله تعالى: (وَلا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ) البقرة/187 ؛ فخصَّ الاعتكاف بأنَّه في المساجد.
انظر: "المغني" لابن قدامة (3/189).
Apa itu Masjid? Masjid adalah lahan kosong atau bangunan yang diwakafkan pemiliknya, untuk dijadikan sebagai masjid.
Kembali ke pertanyaan yang diatas, apakah wanita boleh i’tikaf?
Tidak sah dan haram dalam madzhab Syafi’i. Alasannya:
~ Karena syarat sah i’tikaf itu ada 4: Islam, Berakal, Tamyiz, dan Suci dari hadast besar, termasuk haidh.
~ Karena wanita haidh haram untuk berdiam diri di masjid.
لا أُحِلُّ الْمَسْجِدَ لِحَائِضٍ وَلا جُنُبٍ (رواه أبو داود وغيره)
“Aku tidak menghalalkan masjid bagi wanita haid dan orang yang junub.” (HR. Abu Dawud)
4). Bagaimana hukum orang yang tidak niat puasa ramadhan di malam hari?
Puasanya tdak sah dalam madzhab Syafi’i. Karena, niat puasa wajib itu harus diletakan dimalam hari, yakni dari terbenamnya matahari, sampai terbit fajar, ulama mengistilahkan ini dengan kata “At-Tabyit”. Inilah pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad. Singkatnya, kewajiban tabyit ini adalah pendapat jumhur ulama. Kewajiban itu disandarkan kepada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i dari Sayyidah Hafshah Ra:
من لم يُبيت الصيام من الليل فلا صيام لـه
“Barang siapa yang tidak berniat puasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya.”
Namun, Imam Abu Hanifah berpendapat:
صوم شهر رمضان والنذر المعين يصح بنية من النهار وقبل الزوال
“Puasa di bulan Ramadan dan puasa nazar yang ditentukan waktunya, sah dengan niat di setelah terbit fajar sampai sebelum tergelincirnya matahari.”
(حاشية ابن عابدين، ۲/۷۸) و (الهداية شرح البداية، ١١/١٨٤)
Oleh karena itu, seseorang dihari pertama bulan Ramadhan disunnahkan untuk niat puasa Ramadhan selama satu bulan, niatnya:
نويت صوم جميع شهر رمضان هذه السنة لله تعالى
“Aku berniat berpuasa sepanjang bulan Ramadan tahun ini karena Allah Ta’ala.”
Agar hukum puasa dihari yang lupa untuk berniat, tetap sah dalam Madzhab Imam Malik.
Jadi orang yang malam harinya tidak niat, solusi dia ada 2:
1- Niat di pagi hari-nya, sampai batas tergelincir matahari, taqlid kepada Imam Abu Hanifah.
2- Atau taqlid kepada Imam Malik, jika di hari pertama bulan Ramadhan sudah niat satu bulan penuh.
Namun perlu diingat, dalam Madzhab Imam Malik, para ulamanya menyatakan bahwa: orang yang makan atau minum dengan keadaan lupa, itu batal puasanya. Maka dari itu, jika seseorang melakukan hal itu di hari yang lupa niat malamnya, maka puasanya batal dan wajib di qodho sesuai madzhab Imam Malik dan Imam Syafi’i.
5). Apakah seorang pekerja berat mendapatkan rukhsoh untuk tidak berpuasa?
Termasuk syarat wajib puasa adalah: Istitha’ah “Mampu”, entah secara Hissi (kasat mata) atau Syar’i. Orang yang tidak mampu puasa secara Hissi atau Syar’i, maka tidak wajib puasa.
Contoh orang yang tidak mampu puasa secara Syar’i, adalah: wanita yang sedang haid, nifas, atau melahirkan.
Contoh orang yang tidak mampu puasa secara Hissi, adalah: orang yang bekerja dalam pekerjaan yang membuat puasa sangat sulit, seperti para tukang roti, tukang bangunan, dan orang-orang yang memecah batu di padang pasir—demikian juga jika seseorang dikontrak untuk pekerjaan tertentu dan puasanya akan melemahkannya, sehingga tidak dapat menjalankan pekerjaannya dengan baik—maka diperbolehkan baginya untuk berbuka, bahkan jika pekerjaannya bersifat kantoran.
Namun, orang yang berada dalam kondisi ini wajib berniat puasa di malam harinya, dan memulai harinya dengan berpuasa. Jika kemudian mereka merasakan kesulitan yang berat, maka mereka boleh berbuka. Jika tidak, maka mereka tetap wajib melanjutkan puasanya.
Refrensi :
ومنها الاشتغال بعمل يشق معه الصوم جدًا، كالخبازين والبنائين ومن يقطعون الصخور في الصحراء، وكذا لو كان مستأجرًا إجارة عين على عمل وكان الصوم يضعف الأجير عن أداء عمله بكفاءة؛ فيجوز له الفطر، ولو كان العمل مكتبياً.
لكن يلزم كل منهم تبييت النية قبل الفجر وافتتاح النهار بالصوم؛ فإن أدركتهم مشقة .. أفطروا، وإلا .. فلا
(مؤنس الجليس بشرح الياقوت النفيس، ص: ٤٧٣/١)
6). Apakah perjalanan jauh menggunakan pesawat yang tidak melelahkan bisa menjadi rukhsoh untuk tidak puasa?
Bisa. Karena “Safar” atau berpergian jauh termasuk hal yang menggugurkan kewajiban puasa. Karena salah satu syarat wajib puasa adalah “Iqomah” atau menetap di tempat tinggalnya. Namun kebolehan tidak berpuasa itu dengan 3 syarat:
~ Safar atau perjalanannya sudah memperbolehkan untuk mengqasar sholat. Yakni jarak tujuannya mencapai 2 marhalah, sekitar 83 Km atau lebih.
~ Safar-nya dilakukan sebelum adzan shubuh. Kalau safar dilakukan setelah adzan shubuh, maka dia wajib untuk melakukan puasa.
~ Safarnya tidak dalam rangka melakukan sebuah kemaksiatan.
Sayyid Dr. Zain bin Muhammad Al-Idrus mengatakan dalam “Ithaful Anam Bi Ahkam As-Shiyam”:
ولا تسقط رخصة الفطر ولو كان السفر مريحا كما في وسائل المواصلات الحديثة
“Dan rukhsah (keringanan) untuk berbuka (puasa) tidak gugur, meskipun perjalanan itu nyaman, seperti dalam sarana transportasi modern.”
Karena kebolehan untuk tidak berpuasa bagi seorang Musafir ini illatnya adalah “Safar” bukan “Masyaqqah”, karena masyaqqah itu berbeda2 bagi setiap orang dan tidak bisa diketahui batasannya. Oleh karena itu syariat menyandarkan kebolehan berbuka ini bukan kepada illat Masyaqqah, tapi pada illat Safar.
Namun, jumhur ulama, yakni: Hanafiyyah, Malikiyyah, dan Syafi’iyyah mengatakan, bahwa: seorang Musafir lebih utama agar melakukan puasa dalam perjalannya, jika hal itu tidak membahayakan dirinya. Mereka beristidlal dari ayat:
وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (البقرة: ١٨٤)
“Dan jika kalian berpuasa, itu lebih baik bagi kalian.”
Adapun Hanabilah, mereka mengatakan bahwa Musafir lebih utama agar dirinya tidak berpuasa, walaupun ketika berpuasa, itu tidak akan membahayakan dirinya. Mereka beristidlal dari hadist dari Abdullah bin Abbas, Rasulullah SAW bersabda:
إنَّ اللهَ يحبُّ أنْ تؤتَى رُخصُهُ كما يحبُّ أنْ تؤتَى عزائمُهُ
“Sesungguhnya Allah mencintai jika rukhsah-Nya diambil, sebagaimana Dia mencintai jika azimah-Nya dilaksanakan.” (HR. Thabrani)
_
والله أعلم
Sumber FB Ustadz : Hifdzil Aziz