Pemahaman Kontekstual Dan Literal Dalam Hal Qadha Shalat
Nabi bersabda:
إِذَا رَقَدَ أَحَدُكُمْ عَنِ الصَّلَاةِ أَوْ غَفَلَ عَنْهَا، فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
""Jika salah seorang dari kalian tertidur hingga meninggalkan salat atau lupa darinya, maka hendaklah ia melaksanakannya ketika mengingatnya." (HR. Muslim)
Mayoritas ulama yang terdiri dari mazhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah memahaminya secara kontekstual bahwa orang yang meninggalkan salat dengan alasan apapun harus diqadha'. Kalau yang tidak sengaja meninggalkan salat, seperti karena tertidur atau lupa, saja diwajibkan untuk mengqadha maka apalagi yang disengaja tentu lebih wajib lagi. Argumen ini disebut qiyas aulawi.
Sedangkan Hanabilah memahami secara literal bahwa yang wajib diqadha hanyalah salat yang ditinggalkan karena tidak sengaja, seperti karena tertidur atau karena lupa, persis bunyi literal hadis tersebut. Menurut mereka, berarti kalau disengaja tidak wajib qadha.
Alasan lainnya, Nabi bersabda:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ ترك الصلاة
"Sesungguhnya pembeda antara seorang beriman, orang musyrik dan orang kafir adalah [mereka] meninggalkan shalat" (HR. Muslim)
Menurut mayoritas ulama dari tiga mazhab di atas, ciri tersebut hanya sifat umum sebagai penekanan bahwa shalat adalah ciri pembeda antara orang beriman dan orang kafir tetapi bukan berarti bahwa orang beriman yang sengaja tidak salat lantas menjadi orang kafir yang konsekuensinya akan kekal di neraka selamanya. Sama seperti siswa yang sengaja membolos tetap diwajibkan membayar SPP yang dia tunggak sebab meski tidak masuk, dia tetap berstatus sebagai siswa.
Sedangkan Hanabilah memahaminya secara literal bahwa orang yang sengaja tidak salat betul-betul menjadi orang kafir. Sama dengan siswa yang membolos lalu karena itu langsung dikeluarkan dari sekolah yang tentu saja dia tidak wajib membayar SPP lagi setelah itu.
Pertimbangan inilah yang membuat ulama dari tiga mazhab menyatakan bahwa orang yang sengaja meninggalkan salat tetap wajib qada sebab dia tetap dianggap seorang yang beriman, hanya saja dia melakukan pelanggaran. Sedangkan bagi Hanabilah, orang tersebut telah menjadi kafir dalam arti yang sebenarnya sehingga apabila dia bertobat maka dia masuk Islam lagi dan tidak wajib qadha shalat pada waktu kekafirannya.
Secara teori, argumen literal Hanabilah tidak kuat dengan beberapa alasan:.
Pertama, sebuah kewajiban tidak serta merta gugur sebab waktunya habis sebab kewajiban tersebut seharusnya berstatus sebagai hutang yang tetap harus dibayar. Sebab itulah, shalat, puasa, zakat dan semua kewajiban yang tidak dilakukan hingga waktunya habis juga berstatus sebagai hutang yang harus ditunaikan.
Kedua, bila yang tidak sengaja saja tetap dituntut membayar hutang (qadla), maka yang sengaja tentu lebih dituntut. Aneh bila hal ini dibalik.
Ketiga, udzur hanya berlaku pada pelanggaran secara tidak sengaja sehingga yang tidak sengajalah yang berhak mendapat keringanan beban, bukan malah yang sengaja melanggar.
Keempat, anggap saja orang yang sengaja tidak shalat statusnya betul-betul kafir, maka yang tidak wajib qadha shalat hanyalah orang kafir asli yang baru masuk Islam bukan orang yang awalnya muslim lalu murtad. Kasusnya sama seperti orang yang menunggak membayar tagihan sekolah lalu dia dinyatakan dikeluarkan, tentu saja dia harus melunasi tagihan sebelumnya ketika mau sekolah lagi sebab sebelumnya dia adalah siswa di sana, bukan orang yang betul-betul mendaftar baru.
Pendapat mayoritas ulama jelas lebih kuat dan lebih berhati-hati. Konsekuensinya, orang yang sengaja tidak shalat puluhan tahun, ketika bertobat di usia tua harus mengqadla' shalatnya yang puluhan tahun itu, meskipun dengan cara dicicil. Adapun menurut Hanabilah, dia cukup bertobat biasa lalu hutang puluhan tahun itu gratis tidak perlu diqadla'. Bukan tidak mungkin pendapat ringan ini dibuat alasan untuk menganggap enteng urusan shalat, meskipun mendapat vonis kafir sekalipun, sebab tobat dapat menghapus dosa apa pun dan cara tobat jauh lebih gampang daripada membayar hutang shalat.
Karena ringan, pendapat Hanabilah ini banyak digunakan oleh yang baru bertobat atau baru hijrah. Meskipun lemah, dalam hati saya berharap semoga saja pendapat ini diterima oleh Allah yang Maha Pemurah hingga menjadi jalan keluar bagi mereka yang putus asa untuk membayar hutang shalat sedangkan imannya masih tipis. Kadang, sebagian orang batal tobat ketika begitu tobat dia langsung ditodong dengan beban yang berat. Tapi saya tidak pernah mengajarkan ini di majelis saya sebab kelemahan dan potensi negatif di atas. Pendapat Hanabilah di atas hanya baik diajarkan ketika potensi negatifnya diperkirakan akan lebih kecil dari potensi kebaikan yang diharapkan. Tapi bagaimana pun, hidayah hanya milik Allah semata.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad