Mengenal Metode Istitar Untuk Memulai Ramadhan
Oleh Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
Metode penghitungan awal Ramadhan ada banyak. Selain melalui metode standar, yaitu rukyatul hilal, juga dikenal luas penggunaan hisab. Yang barangkali tidak semua orang tahu, hisab ini ada dua macam, yaitu pertama adalah hisab hakiki dengan menghitung posisi (ketinggian) hilal setiap saatnya sesuai lokasi mana pun di muka bumi. Hisab hakiki inilah yang dipakai sebagai standar hisab di seluruh dunia.
Kedua adalah hisab urfi, yakni hisab yang hanya berdasarkan tanda-tanda tertentu, dan ini sangat banyak ragamnya. Ada yang mencocokkan dengan waktu wukuf, ada yang mencocokkan dengan tanggal sekian di bulan Muharram, ada yang mencocokkan dengan selisih sekian hari dengan Ramadhan tahun sebelumnya, ada yang mencocokkan dengan ketinggian ombak di pantai, ada yang mencocokkan dengan gelapnya malam di akhir bulan dan seterusnya. Disebut dengan istilah urfi sebab hanya berdasarkan kebiasaan (urfi), bukan berdasarkan perhitungan hakiki ketinggian bulan saat waktu maghrib. Tentu saja akurasinya belum tentu selalu akurat sebab hanya berpatokan pada kebiasaan.
Saat ini, saya ingin membahas tentang metode hisab urfi yang disebut istitar. Kemungkinan banyak dari pembaca masih asing dengan istilah metode istitar ini, namun saya tertarik untuk menjelaskannya sebab metode ini dijelaskan dalam salah satu kitab yang menjadi rujukan di kalangan Syafi'iyah, yaitu kitab Hasyiyah Bujairami Ala al-Minhaj. Apalagi penulisnya menekankan bahwa metode ini selayaknya diketahui agar tidak perlu bingung menentukan kapan Ramadhan. Berikut ini adalah teks ibarat tentang metode istitar di kitab tersebut:
قَالَ سَيِّدِي عَلِيٌّ الْمِصْرِيُّ فِي فَتَاوِيهِ: لَا يَسْتَتِرُ الْقَمَرُ أَكْثَرَ مِنْ لَيْلَتَيْنِ آخِرَ الشَّهْرِ أَبَدًا وَيَسْتَتِرُ لَيْلَتَيْنِ إنْ كَانَ كَامِلًا وَلَيْلَةً إنْ كَانَ نَاقِصًا وَالْمُرَادُ بِالِاسْتِتَارِ فِي اللَّيْلَتَيْنِ أَنْ لَا يَظْهَرَ الْقَمَرُ فِيهِمَا وَيَظْهَرُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَفِي عِبَارَةِ بَعْضِهِمْ وَإِذَا اسْتَتَرَ لَيْلَتَيْنِ وَالسَّمَاءُ مُصْحِيَةً فِيهِمَا فَاللَّيْلَةُ الثَّالِثَةُ أَوَّلُ الشَّهْرِ بِلَا رَيْبٍ وَالتَّفَطُّنُ لِذَلِكَ يَنْبَغِي لِكُلِّ مُسْلِمٍ فَإِنَّ مَنْ تَفَطَّنَ لَهُ يُغْنِيه عَنْ التَّطَلُّعِ مِنْ رُؤْيَةِ هِلَالِ رَمَضَانَ وَلَمْ يَفُتْهُ صَوْمُ يَوْمٍ (حاشية البجيرمي على شرح المنهج = التجريد لنفع العبيد ٢/٦٧ )
"Syaikh Ali al-Mishri berkata dalam kitab Fatawi-nya: "Bulan tidak pernah tersembunyi (istitar) lebih dari dua malam terakhir setiap bulan. Ia tersembunyi selama dua malam jika bulannya lengkap 30 hari, dan satu malam jika bulannya hanya 29 hari. Maksud dari tersembunyinya bulan selama dua malam adalah bahwa bulan tidak tampak pada keduanya dan baru muncul setelah terbit fajar.
Dalam ungkapan sebagian ulama disebutkan: Jika bulan tersembunyi (istitar) selama dua malam sementara langit cerah pada keduanya, maka malam ketiga adalah awal bulan baru tanpa diragukan.
Setap muslim sepatutnya memahami hal ini karena siapa yang memahami hal tersebut, maka ia tidak perlu lagi mencari hilal Ramadhan dan tidak akan tertinggal dari puasa sehari pun." (Bujairami ala al-Minhaj)
Berdasarkan keterangan tersebut, istitar adalah keadaan malam hari yang sepenuhnya tanpa bulan sebab bulan masih tertutup (istitar) di balik cakrawala. Dengan kata lain, istitar adalah kondisi tanpa bulan sejak maghrib hingga subuh. Apabila ada waktu setelah Magrib atau sebelum subuh di mana bulan sudah muncul, maka malam tersebut tidak dalam kondisi istitar. Jumlah malam tanpa bulan (malam istitar) maksimal hanya dua malam saja sehingga kalau sudah dua malam istitar di akhir Sya'ban, maka besoknya di malam ketiga pasti sudah masuk Ramadan.
Sepintas metode ini sederhana tetapi untuk mempraktekkannya, diperlukan pengamatan yang teliti saat langit cerah di waktu sore hingga Maghrib dan di waktu subuh hingga bulan muncul di pagi hari. Pada prakteknya ini sulit dilakukan sebab kondisi langit pada waktu tersebut seringkali tertutup awan. Jadi, agar lebih mudah maka dibutuhkan bantuan ilmu hisab hakiki untuk menentukan posisi ketinggian bulan di saat sore hari hingga Maghrib dan di waktu subuh hingga pagi.
Sekarang, mari kita praktekkan metode istitar ini pada akhir Sya'ban 1446 H tahun ini yang bertepatan dengan tahun 2025. Daerah yang dijadikan contoh adalah kota saya tercinta, yakni kota Jember. Kita mulai pengamatannya sejak hari Rabu, 26 Februari 2025 yang datanya saya ambil dari Stellarium sebagai berikut:
Rabu 26 Februari 2025:
Waktu subuh 4:13
Bulan muncul 3:37 (sebelum subuh)
Bulan tenggelam: 16:25 (sebelum Maghrib)
Ini berarti pada hari Rabu subuh, bulan muncul sebelum subuh. Dengan demikian malam Rabu belum masuk periode istitar (kosongnya malam dari kemunculan bulan). Pada sore harinya, bulan tenggelam sebelum Maghrib sehingga pada saat maghrib sudah tidak ada bulan. Selanjutnya kita lihat subuh keesokan harinya sebagai berikut:
Kamis 27 Februari 2025:
Subuh 4:13
Bulan muncul 4:34 (setelah subuh)
Bulan tenggelam: 17:17 (sebelum Maghrib)
Di hari kamis bulan baru muncul setelah subuh sehingga sejak maghrib sebelumnya hingga subuh hari kamis sama sekali tidak ada bulan. Dengan demikian Kamis adalah hari pertama istitar. Di hari kamis ini bulan juga terbenam sebelum Maghrib sehingga malam jumat dimulai tanpa bulan. Sekarang kita lihat data hari berikutnya:
Jumat:
Subuh 4: 13
Bulan muncul 5:33 (setelah subuh)
Bulan tenggelam 18:02 (setelah maghrib)
Ini berarti sejak maghrib malam Jumat hingga subuh hari Jumat tidak ada kemunculan bulan sama sekali. Berarti Jumat adalah malam istitar kedua. Dengan demikian sudah genap istitar dua malam sehingga dipastikan besoknya, yakni hari Sabtu adalah awal Ramadhan tahun ini.
Dari data tersebut juga terlihat bahwa sore harinya bulan baru tenggelam setelah Maghrib sehingga malam sabtu dimulai dengan keberadaan hilal. Dengan demikian, maka malam sabtu sudah bukan malam istitar lagi, tapi malam bulan baru atau malam pertama Ramadhan saat dimulainya tarawih.
Ketinggian hilal pada Jumat malam Sabtu, 28 Februari 2025 di kota Jember saat maghrib adalah 3 derajat. Secara teori hilal sudah memungkinkan dilihat saat itu sehingga besoknya (Sabtu tanggal 1 Maret) dimulai puasa hari pertama. Dengan ini, praktik istitar insyaallah akan menghasilkan kesimpulan yang sama dengan penetapan pemerintah, tapi kita tunggu saja kepastiannya nanti.
Inilah penerapan teori istitar yang barangkali bermanfaat untuk tambahan wawasan, terlebih bagi para ustadz yang barangkali ditanya soal ini tapi setahu saya kebanyakan tidak mengerti bagaimana penerapannya. Banyak yang hanya menebak-nebak istitar sebab bulan saat maghrib dan subuh memang sulit sekali diamati keberadannya karena adanya awan, apalagi di musim hujan seperti tahun ini. Untuk mempraktekan istitar secara akurat butuh data bulan saat tenggelam dan dan terbit keesokan harinya ditambah data waktu Maghrib dan Isya'.
Namun perlu dicatat bahwa penentuan hilal ramadhan tetap berpedoman pada sabda Nabi Muhammad yang artinya: "Berpuasalah saat kalian melihat hilal. Apabila kalian terhalang awan, maka genapkan Sya'ban menjadi 30 hari". Kepada petunjuk beliaulah kita harus kembali saat terjadi perbedaan pendapat.
Selamat menyambut Ramadhan dan semoga tulisan ini bermanfaat.
Keterangan gambar: Posisi terbitnya bulan saat subuh hari Jumat tanggal 28 Februari 2025 yang bersamaan dengan terbitnya matahari (setelah subuh) yang menandakan akhir malam kedua istitar.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad