Apa Hukum Mengunyah Makanan Dengan Suara yang Terdengar?

Apa Hukum Mengunyah Makanan Dengan Suara yang Terdengar?

Apa Hukum Mengunyah Makanan Dengan Suara yang Terdengar?

Saya sering memperhatikan bahwa diantara orang Arab Muslim mengeluarkan suara saat mengunyah makanan, dan juga berbicara saat mulut mereka masih penuh makanan. Mohon penjelasan yang rinci mengenai hal ini. Semoga Allah memberkahi Anda.

Jawaban Mufti Mesir -DR. Syauqi Ibrahim 'Allam ketika itu-:

Kemuliaan Islam dalam Mengatur Perilaku dan Akhlak Manusia

Syariat Islam adalah syariat yang menyeluruh, diturunkan untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Allah menetapkan ajaran, hukum, dan adab Islam untuk mengatur segala aspek kehidupan manusia dan meningkatkan perilaku individu maupun masyarakat.

Islam mengatur berbagai aspek kehidupan, termasuk ibadah, makan dan minum, berpakaian, pernikahan, mencari penghidupan, kemajuan peradaban, serta proses belajar dan mengajar. Tidak ada satu pun persoalan, baik kecil maupun besar, yang berkaitan dengan perbuatan manusia dalam urusan agama maupun dunianya, kecuali Allah telah menetapkan hukum, adab, dan petunjuknya, baik secara spesifik maupun umum.

Salah satu bukti keagungan dan keluhuran Islam adalah adab serta pengajaran mulia yang diajarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam membina perilaku individu dalam berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Rasulullah ﷺ diutus dengan kesempurnaan akhlak mulia dan keindahan sifat-sifat terpuji.

Beliau ﷺ bersabda:

«إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ صَالِحَ الْأَخْلَاقِ»

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan sebaik-baik akhlak.”

(HR. Ahmad dalam Musnad, al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).

Dalam riwayat al-Bazzar dalam Musnad-nya disebutkan:

إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ»

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak."

Dalam hadis lain, Rasulullah ﷺ bersabda:

  «إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي بِتَمَامِ مكارمِ الْأَخْلَاقِ، وكَمَالِ مَحَاسِنِ الْأَفْعَالِ»

"Sesungguhnya Allah mengutusku dengan kesempurnaan akhlak mulia dan kesempurnaan perbuatan baik." 

(HR. al-Thabrani dalam al-Mu‘jam al-Awsath dan Kitab al-Makarim al-Akhlaq, serta al-Baihaqi dalam Syu‘ab al-Iman dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu 'anhuma secara marfu‘).  

Salah satu manifestasi dari ajaran Islam yang luhur ini adalah adanya pedoman dan arahan terkait tata krama dan sopan santun dalam pergaulan umum, yang dalam istilah modern sering disebut sebagai etiquette—seni dalam berinteraksi dengan manusia dan mengelola berbagai hal dengan penuh rasa hormat.  

Islam telah mengatur aspek ini secara lengkap, menjadikannya bagian integral dari kehidupan seorang Muslim. Hal ini mencakup segala bentuk adab dalam berbicara, bergaul, makan, berpakaian, hingga cara menghormati orang lain dan lingkungan sekitar.

Perhatian Islam terhadap Pengajaran Adab Mulia

Meskipun sebagian bentuk sopan santun dan tata krama dapat berbeda sesuai dengan adat dan tradisi suatu masyarakat, Islam telah menetapkan kerangka dan prinsip umum untuk adab ini. Prinsip-prinsip tersebut dijelaskan dalam sunnah Nabi ﷺ, yang dihimpun oleh para ahli hadis dalam kitab-kitab mereka di bawah bab "Kitab al-Adab" (Bab Adab).  

Beberapa ulama bahkan secara khusus menyusun karya tersendiri yang membahas hadis-hadis tentang adab. Di antaranya adalah Imam Abu Bakr bin Abi Syaibah (w. 237 H) dan Imam al-Bukhari (w. 256 H) yang menulis kitab tentang adab dalam karya-karya mereka. Selain itu, banyak pula ulama yang menyusun kitab tentang syamail (sifat-sifat mulia Rasulullah ﷺ), kitab Makarim al-Akhlaq (akhlak mulia), kitab Tahdzib al-Nufus (penyucian jiwa), dan lainnya.  

Demikian pula, para ulama dan ahli fikih Islam sangat memperhatikan detail-detail adab dan membedakan antara adab yang terkait dengan adat istiadat—yang berbeda sesuai dengan tradisi dan budaya—dan adab yang bersifat universal, yang diterima di berbagai kebudayaan, tradisi, dan lingkungan. Mereka pun menyusun karya-karya khusus tentang akhlak dan adab.

Beberapa di antaranya adalah:

(1) "Tahdzib al-Akhlaq wa Tathir al-A’raq" karya Abu Ali bin Miskawaih (w. 421 H),

(2) "Adab al-Dunya wa al-Din" karya Imam al-Mawardi asy-Syafi’i (w. 450 H),

(3) "Mudawat al-Nufus wa Tahdzib al-Akhlaq" karya Imam Ibn Hazm azh-Zhahiri (w. 456 H),

(4) "Adz-Dzari’ah ila Makarim asy-Syariah" karya al-‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani (w. 502 H),

(5) "Ihya ‘Ulum ad-Din" karya Hujjatul Islam al-Ghazali (w. 505 H),

(6) "Fushul al-Adab wa Makarim al-Akhlaq al-Masyru’ah" karya Imam Abu al-Wafa Ibn ‘Aqil al-Hanbali (w. 513 H)

(7) "Bariqah Mahmudiyah fi Syarh Tariqah Muhammadiyah" karya al-‘Allamah Abu Sa’id al-Khadimi al-Hanafi (w. 1156 H),

(😎 "Ghidza al-Albab" karya al-‘Allamah al-Safarini al-Hanbali (w. 1188 H), di mana beliau menjelaskan "Mandzumah al-Adab" karya Imam Muhammad bin Abdul Qawi al-Hanbali (w. 699 H), dan banyak lagiyang lainnya.

Perhatian Ulama Terhadap Adab Makan-Minum

Di antara adab yang sangat diperhatikan oleh syariat Islam adalah adab makan dan minum. Para ahli hadits telah menyusun bab dan bagian khusus dalam buku-buku mereka mengenai adab-adab makan dan minum. Seperti yang dilakukan oleh para penyusun "Kutub al-Sittah" (enam kitab hadis utama) dalam bab "Al-At’imah" (tentang makanan) dan "Al-Asyribah" (tentang minuman). Beberapa ulama bahkan menulis buku khusus untuk meriwayatkan sunnah-sunnah yang berkaitan dengan makanan dan minuman.

Sebagai contoh, Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) dan Abu Bakar bin Abi Aasim al-Nabil (w. 287 H) menulis buku mengenai "Al-Asyribah" (tentang minuman), sementara Abu Sa’id al-Darimi (w. 280 H) dan Ibn Abi Aasim juga menulis buku tentang "Al-At’imah"(tentang makanan). Para fuqaha (ulama fiqh) juga banyak membahas adab-adab ini dalam buku-buku fiqh mereka, menyusun bab dan bagian khusus untuk mengulas adab makan dan minum secara rinci.

Bahkan beberapa ulama menyusun karya-karya tersendiri untuk membahas hukum dan adab-adab tersebut. Sebagai contoh, al-‘Allamah al-Aqfahsi al-Syafi'i (w. 808 H) menulis buku "Adab al-Akl" (Adab Makan), dan Imam Abu al-Barakat al-Ghazi (w. 984 H) menulis buku "Adab al-Mu'ākalah" (Adab Makan Bersama), yang mencantumkan delapan puluh satu kekurangan dari sekian banyak kekurangan yang harus diketahui oleh seseorang agar menjadi ahli dalam adab makan bersama. Hal ini menunjukkan perhatian besar syariat Islam terhadap aspek ini, serta tekadnya untuk memastikan bahwa seorang manusia melengkapi dirinya dengan sifat-sifat baik, menghiasi dirinya dengan rasa hormat yang tinggi, dan menunjukkan penampilan yang layak dalam makan dan minumnya, mulai dari awal hingga akhir, dalam memperoleh, memilih, mengatur, dan menyantap makanan dan minuman.

Syariat Islam memberikan penghormatan kepada manusia lebih dari makhluk lainnya. Allah berfirman: 

﴿وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلًا﴾

"Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan dan di lautan, Kami berikan mereka rezeki yang baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan keutamaan yang besar atas banyak di antara makhluk yang Kami ciptakan." (QS. Al-Isra: 70).

Penghormatan tersebut diberikan karena apa yang Allah berikan kepada manusia, seperti akal yang mendorong mereka untuk mengembangkan kebaikan dan kebajikan serta menjauhi keburukan dan kejahatan. Namun, jika manusia hanya mengikuti hawa nafsu dan keinginannya tanpa ada kendali dari akal, agama, atau moral, maka mereka telah meniru perilaku hewan. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam "Ihya' Ulumiddin" (3/10) Terbitan Darul Ma'rifah: 

[اعلم أن الإنسان قد اصطحب في خلقته وتركيبه أربع شوائب فلذلك اجتمع عليه أربعة أنواع من الأوصاف؛ وهي: الصفات السبعية والبهيمية والشيطانية والربانية. فهو من حيث سُلِّط عليه الغضبُ: يتعاطى أفعال السباع؛ من العداوة والبغضاء والتهجم على الناس بالضرب والشتم. ومن حيث سُلِّطَتْ عليه الشهوةُ: يتعاطى أفعال البهائم؛ من الشره والحرص والشبَق وغيره] اهـ.

"Ketahuilah bahwa manusia memiliki empat unsur yang ada dalam penciptaan dan susunannya, oleh karena itu ia memiliki empat jenis sifat, yaitu: sifat-sifat hewan buas, hewan ternak, setan, dan ketuhanan. Dari sisi ia dikuasai oleh kemarahan, ia cenderung melakukan tindakan hewan buas, seperti permusuhan, kebencian, dan menyerang orang lain dengan pukulan dan kata-kata kasar. Dan dari sisi ia dikuasai oleh nafsu, ia cenderung melakukan tindakan hewan ternak, seperti kerakusan, keserakahan, dan keinginan berlebih." 

Terdapat banyak teks Al-Qur'an dan hadis Nabi Muhammad ﷺ yang melarang meniru sifat-sifat buruk yang dimiliki oleh hewan, seperti kerakusan, keserakahan, kesombongan, kekerasan, ketidakadilan, kebodohan, kekejaman, dan tamak, serta sifat-sifat buruk lainnya. Bahkan, Imam Najmuddin al-Ghazi al-Syafi'i [w. 1061 H] dalam bukunya "Husn al-Tanabbuh Limā Wārada Fi al-Tasyabbuh" telah menulis sebuah bab mengenai larangan meniru hewan, hewan buas, burung, dan serangga. Dalam bab tersebut, ia menyebutkan berbagai teks syariat yang mencela meniru sifat-sifat buruk dan tindakan tercela yang ada pada hewan.

Al-Syaikh Ibn Taymiyyah al-Hanbali dalam "Majmu' al-Fatawa" (32/256, cetakan Majma' al-Malik Fahd) mengatakan: "Meniru sifat-sifat hewan yang tercela dalam syariat adalah sesuatu yang tercela dan dilarang, baik itu dalam suara maupun tindakan mereka."

Beberapa hal yang dilarang dalam hadis-hadis Nabi ﷺ adalah meniru hewan dalam hal kerakusan, keserakahan, dan kebiasaan buruk dalam makan dan minum. Salah satu contohnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi dalam "Sunan al-Tirmidzi", al-Tabarani dalam "al-Mujam al-Kabir", dan al-Baihaqi dalam "Syu'ab al-Iman" dari Ibn Abbas Radhiyallahu 'anhu yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: 

«لَا تَشْرَبُوا وَاحِدًا كَشُرْبِ البَعِيرِ، وَلَكِنْ اشْرَبُوا مَثْنَى وَثُلَاثَ، وَسَمُّوا إِذَا أَنْتُمْ شَرِبْتُمْ، وَاحْمَدُوا إِذَا أَنْتُمْ رَفَعْتُمْ»

"Janganlah kalian minum seperti cara unta minum, tetapi minumlah dua atau tiga (teguk), dan sebutlah nama Allah ketika kalian minum, serta pujilah Allah ketika kalian selesai."

Imam al-Thibi dalam "Syarh Misykat al-Masabih" (9/2881, cetakan Dar al-Nizar) berkata: "Ucapan 'Janganlah kalian minum seperti cara unta minum' memiliki posisi sebagai penekanan; yaitu: minumlah dua atau tiga (teguk), dan janganlah kalian minum sekali teguk seperti cara unta minum. Perintah ini lebih didahulukan daripada larangan sebagai bentuk perhatian, seperti halnya firman Allah dalam ayat: 

﴿ولَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الكِتَابَ فَلَا تَكُن فِي مِرْيَةٍ مِّن لِّقَائِهِ وجَعَلْنَاهُ هُدًى لِّبَنِي إسْرَائِيلَ﴾

Dan sesungguhnya Kami telah memberikan kepada Musa kitab, maka janganlah kamu ragu tentang pertemuannya, dan Kami menjadikannya petunjuk bagi Bani Israil

Lebih didahulukan daripada

﴿فَلَا تَكُن فِي مِرْيَةٍ مِّن لِّقَائِهِ﴾

 'janganlah kamu ragu tentang pertemuannya' karena menyangkut pentingnya hal itu. 

Dan karena meminum beberapa kali untuk mengosongkan gelas, agar terhindar dari bernafas dalam bejana, adalah sebuah sunnah, berbeda dengan cara minum unta yang bernafas saat meminum."

Al-Allamah al-Munawi dalam "Faidh al-Qadir" saat menjelaskan hadits 

أبِنِ القَدَحَ عَنْ فِيكَ ثُمَّ تَنَفَّسْ

«Abin al-Qadaha 'an Fika thumma tanaffas» (1/85, cetakan al-Maktabah al-Tijariyah) berkata: "Janganlah minum seperti cara unta minum; karena unta bernafas saat minum. (Kemudian bernafaslah) ini lebih menjaga kehormatan, lebih menjauhkan perubahan rasa air, lebih menjaga agar air tidak tercemar air liur, dan lebih menanggulangi dari penyerupaan dengan hewan dalam cara minum mereka. Menyerupai mereka dalam hal ini adalah makruh secara syariat dan medis."

Al-Ba'ir (unta) saat minum menghasilkan suara yang disebut "al-Haqm". Al-Alllamah Abu Mansur al-Azhari [w. 370 H] dalam "Tahdhib al-Lughah" (6/5, cetakan Dar Ihya' al-Turath) menyebutkan dalam materi "Haqm": "Menurut Ibn al-A'rabi, al-Haqm adalah suara saat unta meminum air. Saya katakan, ini adalah bentuk jamak dari 'Hayqam', yaitu tiruan suara saat unta meneguk air."

Sementara itu, al-Zabidi dalam "Taj al-Arus" (34/110-111, cetakan Dar al-Hidaya) menyatakan: "Al-Haqm adalah banyak makan tanpa kekenyangan, dan al-Haqam adalah banyak makan, seperti halnya hijaf (makan berlebihan). Sedangkan 'Tahaqqama al-Ṭa'ama' berarti menelan makanan dalam potongan besar. Al-Haqm juga digunakan untuk menyebut suara unta saat minum air." Akhir kutipan. Dengan sedikit perubahan.

Hukum Mengunyah Makanan dengan Suara Terdengar

Salah satu perilaku yang dilarang dalam syariat saat makan dan minum adalah membuat suara saat mengunyah atau minum. Para ulama menekankan untuk menghindari kebiasaan ini karena dapat menunjukkan sifat serakah dan rakus yang tidak sesuai dengan etika umum dan adab yang baik.

Imam Ma'mar bin Rasyid meriwayatkan dalam "Jami'nya" – dan melalui riwayatnya, al-Hafizh al-Bayhaqi dalam "Sunan al-Kubra" dan "Syu'ab al-Iman" – dari Ibn Abi Husain (yaitu Abdullah bin Abdul Rahman al-Makki al-Nufali al-Qurasyi, seorang tabi'i yang terpercaya) bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

«إِذَا شَرِبَ أَحَدُكُمْ فَلْيَمَصَّ مَصًّا، وَلَا يَعُبَّ عَبًّا، فَإِنَّ الْكُبَادَ مِنَ الْعَبِّ».

 "Jika salah seorang dari kalian minum, hendaknya dia menghisap (dengan perlahan), dan janganlah dia meneguk dengan cepat, karena hati bisa rusak akibat meneguk dengan cepat."

Penjelasan tentang "al-‘Abb" dan "al-Kubad" serta Hadis terkait

Al-‘Abb menurut ahli bahasa adalah minum air tanpa menghisapnya. Dalam hal ini, "‘Abb" berarti menyedot air dengan suara keras atau meneguknya tanpa proses hisapan yang lembut. Dalam bahasa Arab, dikatakan bahwa "‘abbat al-dalu" adalah suara yang dihasilkan saat ember mengaduk air. Begitu pula dengan "‘abb al-hamam" yang berarti merpati meneguk air.

Al-Kubad adalah sakit pada hati atau liver.

Dalam konteks yang lebih luas, terdapat juga riwayat yang diceritakan oleh Imam Abu Dawud dalam kitab al-Marasil – yang juga diriwayatkan oleh al-Hafizh al-Bayhaqi dalam Sunan al-Kubra – dari Atha' bin Abi Rabah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Jika kalian minum, minumlah dengan perlahan (menghisap), dan jika kalian bersiwak, sikatlah dengan arah melebar."

Tujuan dari petunjuk Nabi ﷺ untuk meminum dengan perlahan, sedikit demi sedikit, adalah untuk menghindari cara minum yang terburu-buru atau langsung meneguk air seperti yang dilakukan oleh hewan. Minum dengan cara yang terburu-buru dan membuat suara keras saat minum bisa menimbulkan dampak negatif, baik bagi kesehatan orang yang meminumnya maupun bagi orang di sekitarnya.

Minum dengan cara yang terburu-buru dapat menyebabkan masalah kesehatan, seperti gangguan pencernaan atau sakit pada organ tubuh tertentu. Selain itu, suara keras yang timbul dari minum dengan cepat dapat mengganggu orang di sekitar kita, yang tentunya bertentangan dengan adab dan etika sosial dalam Islam.

Selain itu, prinsip dasar dalam ajaran Islam adalah bahwa "tidak ada bahaya dan tidak boleh menimbulkan bahaya" (la dharar wa la dhirar).

Dalam ungkapan Nabi ﷺ dengan kata "al-‘abb" (العب) terdapat petunjuk untuk menjauhi perbuatan tersebut, karena "al-‘abb" pada asalnya adalah perbuatan hewan, bukan manusia. Dalam konteks ini, menggunakan kata "al-‘abb" menunjukkan bahwa tindakan tersebut tidak sesuai dengan adab manusia dan lebih mirip dengan perilaku hewan.

Menurut al-Azhari dalam "Tahzib al-Lughah" (1/86), beliau menjelaskan bahwa "al-‘abb" berasal dari tindakan yang dilakukan oleh hewan, seperti burung merpati (al-hamam), yang meminum air dengan cara menyedotnya dalam jumlah besar sekaligus tanpa mematikan pernapasannya, berbeda dengan cara minum burung lainnya yang lebih perlahan dengan cara mencaplok air sedikit demi sedikit.

Dan suara "hadir" (هدير) adalah getaran suara yang terus menerus tanpa terputus. Al-Rafi'i mengatakan: Yang lebih mendekati kebenaran adalah bahwa "hewan yang minum dengan cara 'ab' (عب) adalah yang mengeluarkan suara 'hadir' (هدير). Jika penafsiran tentang burung merpati (الحمام) hanya dibatasi pada 'ab' saja, itu sudah cukup." Hal ini didukung oleh pernyataan Imam al-Syafi'i, rahimahullah, dalam kitab ‘Uyun al-Masail: "Hewan yang minum air dengan cara 'ab' (عبًا) adalah burung merpati. Sedangkan yang minum setetes demi setetes seperti ayam, maka itu bukan burung merpati." Akhir kutipan.

Sementara itu, Abu al-Hasan al-Manufi dalam "Kifayat al-Talib al-Rabbani" menjelaskan bahwa larangan ini ditujukan untuk mencegah manusia meniru cara minum hewan yang tidak sesuai dengan adab manusia. Nabi ﷺ menganjurkan untuk meminum dengan cara "al-mass" (المص) yaitu meminum air sedikit demi sedikit dengan lembut dan perlahan, yang lebih mencerminkan kebiasaan manusia yang terhormat.

Dalam "Al-Fawakih al-Diwani", Syihab al-Din al-Nafrawi menambahkan penjelasan lebih lanjut mengenai adab dalam minum, terutama terkait dengan larangan "al-‘abb" (عبّ), yaitu meminum air dengan cara yang kasar, mirip dengan cara hewan. Ia menjelaskan bahwa "al-‘abb" adalah cara minum yang cepat dan membabi buta, seperti yang dilakukan hewan, yang mengakibatkan suara dan gaya minum yang kurang sopan.

Sebaliknya, beliau menekankan pentingnya meminum dengan cara "al-mass" (المص), yaitu meminum sedikit demi sedikit dengan lembut dan tanpa suara. Nabi ﷺ telah mengajarkan hal ini agar minum dilakukan dengan cara yang lebih berhati-hati, yang lebih menyehatkan tubuh, dan lebih menghargai adab dalam kehidupan sehari-hari. Beliau menambahkan bahwa cara minum yang perlahan dan teratur, seperti hujan rintik yang turun terus-menerus, lebih bermanfaat bagi tubuh dan lebih aman, dibandingkan dengan minum secara tergesa-gesa yang bisa berisiko merugikan tubuh, seperti hujan deras yang cepat mengalir tanpa menyerap ke tanah.

Para ulama telah menetapkan bahwa di antara sifat-sifat yang tercela saat makan adalah berbicara saat mengunyah makanan dan menimbulkan suara saat mengunyah dan menelan. Mereka menganggap ini sebagai kebiasaan yang harus dihindari dan dijauhi, dan menyebut yang pertama sebagai "muba'bi'an" (مُبَعْبِعًا), yang berarti orang yang membuat suara saat mengunyah, dan yang kedua sebagai "mufarqa'an" (مُفَرْقَعًا) atau "rassysyâfan" (رَشَّافًا), yang berarti orang yang membuat suara saat menelan atau menghisap makanan.

Imam Ibn al-Mulaqqin, seorang ulama dari madzhab Syafi'i, dalam bukunya "At-Tawdhih li Syarh al-Jami' al-Sahih" menyebutkan bahwa jika seseorang adalah tamu, maka ia harus menghindari dua puluh sembilan kebiasaan buruk saat makan, yang disebutkan dalam "Fawa'id al-Mawad". Di antara kebiasaan yang disebutkan adalah tidak membuat suara saat menelan atau menghisap makanan, yang seharusnya dihindari agar tidak mengganggu adab makan.

Imam al-Aqfahsi, seorang ulama Syafi'i, dalam penjelasannya mengenai "Adab al-Akl" (Adab Makan) dalam karyanya menjelaskan beberapa hal mengenai etika makan yang baik. Beliau menyarankan agar seseorang menyatukan bibirnya saat mengunyah untuk dua alasan utama:

(1) Menghindari percikan air liur saat mengunyah makanan, yang bisa terpercik ke makanan dan menyebabkan ketidaknyamanan serta rasa jijik bagi orang-orang di sekitarnya.

(2) Menghindari suara saat mengunyah makanan (seperti suara "mufarraqan" atau "frak" yang terdengar tidak sopan), yang bisa menyebabkan orang lain merasa terganggu.

Al-Aswad al-Ju'al (الأسود الجُعَل), dengan harakat dhammah pada huruf jim dan ‘ain, adalah sejenis hewan kecil yang mirip dengan kumbang, namun ukurannya sedikit lebih besar. Hewan ini dianggap hina karena makanannya berupa kotoran, dan kebiasaannya adalah mengumpulkan dan menyimpan kotoran tersebut. Orang-orang Arab sering kali menggunakan hewan ini sebagai perumpamaan untuk mencela seseorang yang dianggap rendah atau hina. Akhir kutipan.

Imam al-Qasthalani asy-Syafi'i (wafat 923 H) dalam kitabnya Irsyad as-Sari li Syarh Shahih al-Bukhari (juz 8, hlm. 250, cet. al-Mathba'ah al-Amiriyah) menyatakan: 

"Adab-adab ini berkaitan dengan makan dan tidak mengapa menyebutkannya. Dianjurkan bagi orang yang makan untuk menutup kedua bibirnya saat mengunyah agar terhindar dari percikan ludah yang mungkin keluar saat mengunyah. Ia juga tidak boleh berdehem atau meludah di hadapan orang lain yang sedang makan. Jika ia mengalami batuk, hendaklah ia memalingkan wajahnya dari makanan." Akhir kutipan.

Dalam "Adab al-Mu-akalah" karya al-Ghazzī, beliau menjelaskan tiga perilaku yang harus dihindari saat makan, yang mencerminkan adab makan yang baik. Perilaku-perilaku tersebut adalah:

(1) Al-Mubābi': Orang yang berbicara saat sedang mengunyah makanan, terutama ketika makanannya besar, sehingga ucapan yang keluar menjadi tidak jelas dan terdengar seperti suara unta. Hal ini sangat mengganggu dan tidak disarankan karena mengurangi kejelasan percakapan dan mengabaikan adab makan yang baik.

(2) Al-Mufarqa': Orang yang tidak menutup bibirnya saat mengunyah, sehingga terdengar suara dari mulutnya seperti suara pintu yang terbuka. Selain itu, makanan bisa terjatuh atau terpercik keluar dari mulutnya. Adab yang benar adalah menjaga agar suara tersebut tidak terdengar oleh orang lain di sekitarnya.

(3) Al-Rasysyāf: Orang yang mengunyah makanan secara terburu-buru dan mengeluarkan suara saat menelan, yang sangat jelas terdengar oleh orang lain. Sebaiknya, seseorang mengunyah dengan tenang dan menelan tanpa mengeluarkan suara yang mengganggu orang lain.

Kesimpulan:

Berdasarkan apa yang telah disebutkan, maka salah satu adab makan dan tata krama yang harus diperhatikan oleh seorang Muslim saat makan adalah menutup bibir saat mengunyah, menghindari suara saat mengunyah dan minum, serta menghindari berbicara saat mulut penuh dengan makanan, demi menjaga perasaan orang lain dan menghormati mereka.

Selain itu, seorang Muslim harus memiliki adab yang baik dan akhlaq yang mulia dalam tingkah laku dan perbuatannya, agar menjadi citra yang luhur bagi agama dan umatnya. Selain itu, dia harus memperhatikan adab umum yang dihargai oleh kebiasaan dan tradisi masyarakat selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Dia juga harus menghindari perbuatan yang dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau gangguan bagi orang lain.

Wallahu Subhânahu Wa Ta'ala a'lam

Referensi: 

Web fatwa darul Ifta Mesir di komentar berikut

Sumber FB : Nur Hasim

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Apa Hukum Mengunyah Makanan Dengan Suara yang Terdengar? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®