KEUTAMAAN AMIL ZAKAT
Dari sahabat Rafi' bin Khadij, Rasulullah ﷺ bersabda:
الْعَامِلُ عَلَى الصَّدَقَةِ بِالْحَقِّ كَالْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ حَتَّى يَرْجِعَ إِلَى بَيْتِهِ.
Orang yang bekerja sebagai amil sedekah (zakat), dengan jujur, itu seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai ia pulang ke rumahnya.
Hadits hasan riwayat Ahmad (4/143), Abu Dawud (2936), al-Tirmidzi (645) dan Ibnu Majah (1809).
Hadits tersebut membicarakan keutamaan orang yang bekerja sebagai amil zakat dengan jujur dan benar, atau dengan tulus dan sukarela. Pahalanya seperti orang yang berperang di jalan Allah sampai pulang ke rumahnya.
Dewasa ini banyak berdiri lembaga dan yayasan sosial yang bergerak dalam pengumpulan dana dan disalurkan kepada yang membutuhkan. Salah satunya adalah yayasan atau lembaga sosial yang viral akhir-akhir ini, karena disinyalir adanya penggunaan uang yayasan untuk kepentingan pribadi pengelolanya atas nama gaji dan hak.
Ada pertanyaan yang muncul. Sebenarnya bolehkah pengelola lembaga sosial yang menarik dana dari para donatur untuk mengambil sebagian hasilnya untuk para pengelola sebagai upah atau gaji?
Pengelola lembaga atau yayasan sosial boleh mengambil upah dari jerih payahnya dengan nominal yang kecil, yaitu upah standar regional yang disebut dengan ujrah mitsil dalam kitab fiqih yang biasanya diperoleh oleh para pekerja pada umumnya. Dengan demikian, gaji atau upah pengelola tersebut sebenarnya kecil.
Kalau mengambil upah dalam nominal yang besar, misalnya 20 % dari perolehan setiap bulan yang mencapai milyaran rupiah, itu boleh juga, asal ada pemberitahuan kepada para donatur sewaktu penarikan donasi atau infak. Kalau tidak ada pemberitahuan, maka hanya boleh mengambil upah standar regional. Wallaahu a'lam.
Sumber FB Ustadz : Muhammad Idrus Ramli