Bukan Istiwa'nya Jisim
Manusia hanya mampu mengetahui dan membayangkan istiwa'nya jisim. Semua gambaran istiwa' dalam benak manusa adalah isitiwa'nya jisim di atas jisim lain, baik itu menempel atau mengambang. Ketika seseorang duduk di kursi, di atas dipan, di punggung kuda, berdiri di atas perahu, berada di atas genteng, dengan berbagai kaifiyahnya (teknis dan bentuknya), itu semua adalah makna istiwa'nya jisim di atas jisim lain. Termasuk juga pesulap yang terlihat terbang di atas panggung atau bertenggernya bulan dan benda langit lain di orbit atau titik koordinatnya, itu semua adalah istiwa'nya jisim di atas jisim lain. Inilah batas terjauh makna istiwa' yang mampu dipahami manusia.
Namun karena hakikat Dzat Allah bukan jisim, maka Ahlussunnah Wal Jama'ah menegaskan bahwa istiwa'nya Allah bukan istiwa'nya jisim di atas jisim lain tapi istiwa' yang sama sekali tidak dapat dijangkau oleh pemahaman manusia. Untuk mengetahui dan menggambarkan makna hakikat istiwa'nya Allah harus tahu hakikat Dzat Allah terlebih dahulu tetapi itu tidak mungkin, maka tidak mungkin pula mengetahui hakikat istiwa'nya.
Ahlussunnah menegaskan bahwa istiwa' Allah adalah istiwa' yang layak dengan keagungannya, maksudnya adalah yang layak dengan keagungan Dzat Allah yang bukan jisim tersebut. Jangan pernah memahami bahwa istiwa'nya adalah makna istiwa yang berlaku pada jisim seperti di atas tapi hanya beda teknis sebab beda ukuran dan bentuk. Yang terakhir ini adalah makns bid'ah ala mujassimah yang sesat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad