Sumber Keimanan Yang Kokoh
Bagi Ahlussunah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah), iman adalah tindakan aktif yang melibatkan pemikiran (nadhar), bukan sesuatu yang pasiif seperti Ilham yang tetiba datang sendiri atau asal ikut perkataan orang lain tanpa berpikir sama sekali (taqlid). Ia juga bukan sesuatu yang aksiomatis yang diketahui semua orang, bukan pula asal percaya ke Al-Qur'an-hadis tanpa dasar.
Kalau iman didapat dari Ilham, maka orang yang tidak beriman tidak bisa dianggap salah sebab dia belum dapat Ilham. Ilham adalah hal di luar kuasa manusia sehingga benar-salah tidak bisa digantungkan padanya. Dari sini kita tahu bahwa hidayah itu didapat dari kesadaran dan pemikiran aktif, bukan sesuatu yang tiba-tiba datang sendiri lalu secara ajaib orang yang tidak beriman menjadi beriman tanpa alasan apapun.
Iman juga bukan sesuatu yang aksiomatik (dharuri) sebab kalau begitu maka pastinya semua manusia waras akan sampai pada kesimpulan yang sama. Faktanya tidak demikian. Orang baru sampai pada keimanan yang benar dan kokoh hanya ketika dia berpikir bahwa alam semesta ini pasti punya Tuhan yang mendesainnya. Setelah itu berpikir mana Tuhan yang benar, mana agama yang benar, mana kelompok yang benar, dan seterusnya. Ini bukan hal yang begitu saja dipahami manusia secara bawaan akal, tapi suatu pengetahuan yang dicapai dengan penuh kesadaran. Untuk tahu bahwa Tuhan itu Esa, anda perlu berpikir; Untuk tahu bahwa Tuhan itu punya kuasa tak terbatas, anda juga harus berpikir. Andai semua ini aksiomatik, maka mustahil ada yang sampai pada kesimpulan sesat bahwa Tuhan hanya khayalan, bahwa Tuhan ada banyak dan saling berbagi tugas, dan mustahil pula ada yang bertanya-tanya bisa tidak ya Tuhan menghidupkan kembali orang mati?
Iman juga tidak bisa didapat dari taqlid atau ikut-ikutan (taklid), sebab kalau hanya berdasar ikut perkataan orang lain, maka taklid ke siapa yang benar? Anda mau taklid ke ulama Islam atau ke pastur, rahib atau malah ke ateis? Mana yang anda ikuti, itu sebuah pilihan aktif yang memerlukan pemikiran (nadhar).
Kalau iman hanya karena ikut perkataan orang tanpa berpikir sama sekali, maka keimanannya bermasalah serius dan jatuh pada dua kemungkinan; Pertama, Adakalanya imannya hanya ucapan kosong penuh basa-basi seperti ucapannya orang munafik, di mulut bilang beriman tapi di hati tidak ada keyakinan sama sekali sebab hanya ikut ucapan orang. Kedua, adakalanya imannya yakin betul tapi tidak kokoh sebab dasarnya fanatisme buta. Orang seperti ini aman dan selamat hanya ketika tidak bertemu syubhat. Bila dia bertemu orang lain yang mampu membongkar fanatismenya dengan argumen rasional, maka imannya bisa lepas.
Lalu bagaimana kalau ikut Nabi Muhammad saja? Kan pasti aman kalau ikut seorang Rasul yang maksum (terjaga dari salah)? Ya benar, ikut Nabi Muhammad pasti aman, tapi untuk meyakini dengan kokoh bahwa Nabi Muhammad seorang Rasul dibutuhkan pemikiran (nadhar) terlebih dahulu. Untuk sampai pada kesimpulan bahwa Beliau adalah maksum juga butuh pemikiran terlebih dahulu. Mustahil seseorang akan mantap meyakini bahwa Nabi Muhammad adalah satu-satunya utusan Tuhan yang benar untuk manusia zaman ini, bukan Yesus, bukan Sidharta Gautama, dan bukan siapa pun lainnya bila tanpa berpikir sama sekali.
Dengan demikian, maka keimanan pada Tuhan juga tidak bisa bersumber dari Al-Quran dan hadis yang keduanya dibawa oleh Nabi Muhammad, sebab untuk bisa percaya pada Al-Qur'an dan hadis sebagai sumber otoritatif secara mantap haruslah berpikir terlebih dahulu. Kalau tidak berdasarkan pemikiran (nadhar), maka apa dasarnya mempercayai keduanya dan bukan sumber lain yang dianggap kitab suci juga oleh golongan agama lain? Jelas tindakan irasional bila menjadikan al-Qur'an sebagai bukti kebenaran Al-Quran itu sendiri. Kebenaran Al-Quran harus dibuktikan dengan pemikiran (nadhar).
Mustahil memakai Al-Qur'an dan hadis sebagai dalil pada orang yang tidak beriman pada Allah sebab ke Allah saja dia tidak percaya maka bagaimana mungkin percaya pada sesuatu yang dianggap firmannya atau sabda nabinya? Pertama-tama, Al-Qur'an dan hadis justru merupakan sesuatu yang dibuktikan kebenarannya melalui olah pikir. Setelah diketahui bukti kebenarannya, barulah keduanya bisa dijadikan sumber otoritatif bagi semua yang mempercayainya.
Di masa awal Islam, seorang sahabat masuk Islam ketika dia memakai pikirannya secara aktif tatkala melihat bukti-bukti mukjizat yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Sangat banyak mukjizat yang secara rasional membuat mereka yakin bahwa seorang pria bernama Muhammad itu adalah betul-betul seorang utusan Tuhan. Ketika mendengar atau membaca ayat Al-Qur'an, pikirannya aktif mengolah hal itu hingga sampai pada kesimpulan bahwa ayat itu pasti bukan karangan manusia tapi wahyu Tuhan. Proses berpikir ini ada yang butuh beberapa tahun hingga ada yang masuk Islamnya agak belakangan, tapi ada yang hanya butuh beberapa detik hingga masuk Islam di barisan awal.
Abu Bakar, Utsman Ali bin Abi Thalib menjadi Muslim generasi awal sebab tahu betul bahwa pria yang bernama Muhammad itu tidak pernah berbohong sama sekali dan ajaran tauhidnya juga rasional. Tidak perlu nalar canggih untuk sampai pada kesimpulan bahwa menyembah patung-patung batu merupakan kekonyolan. Umar sedikit berbeda, di awal-awal dia termasuk yang tidak percaya sebab belum kenal dan belum berinteraksi secara pribadi dengan Nabi Muhammad, tapi begitu dia membaca ayat Thaha 1-5 yang disimpan oleh adiknya, ia langsung beriman saat itu juga sebab dia berpikir bahwa kalimat-kalimat itu pasti bukan berasal dari manusia.
Begitulah para sahabat generasi awal, mereka berpikir secara aktif (nadhar) lalu mereka bersyahadat. Keimanan mereka kokoh sebab berdasarkan pertimbangan rasional. Kekokohan iman inilah yang disebut dengan istiqamah. Sekali sampai pada keyakinan bahwa tiada Tuhan selain Allah, maka selamanya konsisten pada keyakinan tersebut. Beberapa orang masuk islam di masa akhir hayat Rasulullah hanya karena ikut-ikutan tren menjadi mu'allaf yang marak saat itu. Orang-orang masuk Islam dalam jumlah besar sehingga ada beberapa yang hanya ikut-ikutan. Setelah Rasulullah wafat, mereka ini murtad kembali dan sebagian malah menjadi pengikut nabi palsu, si Musailamah, sebab keimanannya pada Rasulullah Muhammad hanya ikut-ikutan.
Di masa kini juga demikian, orang non-muslim hanya bisa menjadi Islam ketika dia mau berpikir tentang agama yang benar, tentang Tuhan yang benar, tentang utusan Tuhan yang benar, dan seterusnya. Kalau sudah ketemu bahwa jawabannya adalah Islam, maka barulah mereka mau bersyahadat. Beberapa orang menjadi mu'allaf karena ingin menikah dengan orang Islam, yang seperti ini biasanya murtad kembali ketika bercerai sebab imannya tidak berdasarkan pemikiran (nadhar). Demikian juga banyak sekali generasi saat ini yang beriman hanya karena ikut-ikutan orang tuanya tanpa pernah berpikir serius tentang akidahnya sehingga ateisme merebak di mana-mana, terutama di negara yang melarang keras untuk berpikir soal akidah, semisal Saudi Arabia. Mereka yang tidak mau berpikir banyak yang akhirnya menjadi liberal yang menyamakan semua agama, agnostik yang tidak peduli soal agama, atau malah ateis.
Dari semua uraian ini dapat disimpulkan bahwa sumber keimanan yang kokoh adalah pemikiran (nadhar). Tanpa ini, maka seseorang tidak akan sampai pada syahadat yang kokoh dan konsisten. Sebab itulah ayat Al-Qur'an banyak sekali yang memerintahkan manusia untuk berpikir. Ketika bercerita tentang aqidah yang sesat, banyak ayat yang mengakhirinya dengan pertanyaan افلا تعقلون (apakah kamu tidak berpikir?), افلا يعقلون (apakah dia tidak berpikir?). Ketika al-Qur'an bercerita tentang semesta, maka seringkali dimulai dengan kata perintah انظر (pikirkanlah/lihatlah/perhatikanlah!). Alquran juga secara eksplisit memerintahkan:
فَٱعۡلَمۡ أَنَّهُۥ لَاۤ إِلَـٰهَ إِلَّا ٱللَّهُ
"Ketahuilah bahwasanya tidak ada Tuhan selain Allah" [Surat Muhammad: 19]
Ayat ini memerintahkan untuk tahu betul (berilmu) bahwa memang tidak ada Tuhan selain Allah, bukan untuk ikut-ikutan berkata lailahaillallah. Untuk tahu itu perlu belajar ilmu. Dan, untuk berilmu itu butuh berpikir. Kalau sekedar ikut-ikutan, maka bukan tahu namanya. Ini semua bukti bahwa al-Qur'an sendiri mewajibkan untuk berpikir agar keimanannya kokoh.
Jangan kira Al-Qur'an memerintahkan orang asal percaya padanya sebab ia adalah Al-Qur'an. Jangan kira Nabi Muhammad membuktikan dirinya adalah Rasul sebab dirinya adalah Rasul. Yang begini ini logika konyol namanya. Ini adalah fallacy (sesat pikir) yang disebut circular reasoning (penalaran melingkar). Menurut Ahlussunnah Wal Jamaah (Asy'ariyah-Maturidiyah), Allah kita percayai pasti ada sebab kita berpikir. Nabi Muhammad kita percayai sebagai seorang nabi sebab kita berpikir. Al-Qur'an kita percayai sebagai firman Allah sebab kita berpikir. Dan begitu seterusnya, semua ajaran Islam kita ikuti sebab kita berpikir dengan aktif hingga sampai pada kesimpulan bahwa itulah ajaran yang benar.
Sebab itulah, maka mayoritas ulama Ahlussunnah Wal Jamaah mengatakan bahwa aktivitas berpikir secara aktif (nadhar) hukumnya adalah wajib. Bila seseorang sengaja tidak mau berpikir tentang akidahnya padahal dia mampu dan sempat, maka dia berdosa sebab Allah sendiri memang memerintahkan untuk berpikir dalam banyak ayat. Bila seseorang sampai pada kesimpulan yang benar tetapi hanya karena ikut-ikutan tanpa proses berpikir sama sekali, maka imannya tetap sah hanya saja tidak kokoh dan tidak berkualitas. Bila seseorang merasa berpikir tetapi sampai pada kesimpulan yang salah, maka artinya dia tidak berpikir dengan cara yang benar.
Nah, karena secara teknis berpikir (nadhar) merupakan urutan pertama dalam hierarki menuju keimanan yang kokoh, maka para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah menyusun suatu ilmu khusus yang memudahkan siapapun sampai pada kesimpulan yang benar secara mudah. Dengan ilmu ini, seseorang diberikan acuan bagaimana seharusnya menyusun premis yang tepat hingga sampai pada akidah yang benar. Tanpa perlu proses berpikir yang berlarut-larut atau sampai ke kesimpulan aneh-aneh, dengan ilmu ini seseorang bisa langsung tahu mana yang benar dan mana yang salah sebab kaidahnya sudah baku dan teruji. Seseorang tidak perlu juga berpetualang ikut aliran sesat dulu, tidak shalat dulu, masuk agama lain dulu, jadi liberal dulu atau belajar filsafat dulu untuk beriman secara benar dan kokoh, sebab semua yang dibutuhkan untuk mencari kebenaran sudah disajikan dengan mudah
Ilmu ini kemudian belakangan dikenal sebagai ilmu kalam. Ilmu ini statusnya sama seperti ilmu tajwid (ilmu membaca Al-Qur'an dengan benar) yang tidak kita dapati di era Nabi atau Sahabat, tapi bukan berarti isi tidak dikenal di masa mereka. Hanya saja untuk membantu orang-orang non-Arab untuk melafalkan Al-Qur'an dengan tepat, maka para ulama kemudian menyusun ilmu tajwid ini belakangan. Ilmu-ilmu keislaman yang lain semisal ilmu fiqih, ilmu hadis, Ilmu tafsir, juga disusun belakangan tetapi isinya bukan berarti tidak ada di masa sahabat. Jadi, menganggap ilmu Kalam yang mengajarkan cara-cara berpikir secara sistematis tentang akidah sebagai ilmu bid'ah adalah anggapan bodoh yang menyelisihi al-Qur'an, penalaran sehat dan fakta sejarah.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad
