Apakah Kiai dan Pesantren Memanfaatkan Agama untuk Amplop dan Hadiah?

Apakah Kiai dan Pesantren Memanfaatkan Agama untuk Amplop dan Hadiah?

Menjawab Tuduhan: Apakah Kiai dan Pesantren Memanfaatkan Agama untuk Amplop dan Hadiah?

______

Tuduhan bahwa kiai atau lembaga pesantren memanfaatkan agama untuk memperoleh amplop, hadiah, atau sedekah dari masyarakat, jamaah, maupun wali santri merupakan bentuk generalisasi yang tidak proporsional. Tuduhan semacam ini kerap lahir dari minimnya pemahaman terhadap tradisi keagamaan Islam serta sistem sosial-ekonomi pesantren yang bersifat partisipatif dan berbasis gotong royong.

Dalam konteks keislaman, pemberian kepada ulama, guru agama, atau lembaga keagamaan memiliki landasan kuat dalam prinsip ta‘zhīm al-‘ilm wa ahl al-‘ilm — penghormatan terhadap ilmu dan para ahlinya.

Pemberian semacam ini bukanlah bentuk transaksi ekonomi atau upaya mencari keuntungan duniawi, melainkan ekspresi penghargaan dan dukungan terhadap pengabdian mereka dalam menjaga, mengajarkan, dan menegakkan ilmu agama.

Imam al-Ghazali dalam Iḥyā’ ‘Ulūm al-Dīn menjelaskan bahwa sedekah tidak cukup hanya asal memberi kepada siapa saja.

Orang yang ingin agar sedekahnya bernilai tinggi di sisi Allah hendaknya memilih penerima yang dapat menyucikan dan menyempurnakan pahala sedekah tersebut.

Beliau berkata:

“أن يطلب لصدقته من تزكو به الصدقة”

Hendaklah seseorang mencari penerima yang dengan sebabnya sedekah itu menjadi suci dan bertambah nilainya.

Selanjutnya, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa di antara penerima sedekah yang paling utama adalah orang-orang bertakwa, yang berpaling dari urusan dunia dan benar-benar memusatkan diri untuk berdagang dengan akhirat.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“Janganlah engkau makan kecuali makanan orang yang bertakwa, dan janganlah seseorang makan makananmu kecuali orang yang bertakwa.”

(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Hal ini karena orang yang bertakwa akan menggunakan pemberian itu untuk memperkuat ketakwaannya. Maka, pemberi menjadi mitra dalam ketaatan penerima, karena ia telah membantunya di jalan takwa.

Bukankah kita memahami bahwa memberi takjil kepada orang yang berpuasa akan mendatangkan pahala puasa yang sama tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa?

Maka, apakah salah bila alumni, santri, wali santri, jamaah, atau masyarakat ingin mendapatkan bagian pahala dari ketaatan kiai melalui pemberian bisyaroh atau amplop kepadanya?

Sifat kedua dari penerima sedekah yang utama, menurut Imam al-Ghazali, adalah mereka yang termasuk golongan ahli ilmu.

Memberi kepada mereka berarti membantu menegakkan ilmu, sedangkan ilmu adalah ibadah yang paling mulia apabila disertai niat yang benar.

Diriwayatkan bahwa ‘Abdullah bin al-Mubārak biasa mengkhususkan sedekah dan kebaikannya untuk para ahli ilmu.

Seseorang berkata kepadanya:

“Seandainya engkau memperluas pemberianmu kepada semua orang miskin, tentu itu lebih baik.”

Beliau menjawab:

“Sesungguhnya aku tidak mengetahui kedudukan yang lebih tinggi setelah kenabian selain kedudukan para ulama.

Apabila hati seorang alim sibuk memikirkan kebutuhannya, ia tidak akan memiliki waktu untuk ilmu dan tidak akan fokus dalam belajar.

Karena itu, membebaskan mereka dari kesibukan dunia agar dapat menuntut ilmu sepenuhnya adalah perbuatan yang lebih utama.”

Lalu, apakah salah bila masyarakat Muslim ingin agar ilmu agama tetap hidup dan tidak terdegradasi, dengan memberikan bisyaroh kepada para kiai agar mereka dapat fokus menuntut dan mengajarkan ilmu?

Jika kita mau membaca kembali literatur klasik Islam, kita akan memahami bahwa sedekah tidak selalu harus berupa harta.

Dalam Jāmi‘ al-‘Ulūm wa al-Ḥikam dijelaskan bahwa sedekah yang bukan berupa harta dapat berupa sedekah yang manfaatnya menyebar kepada manusia.

Jenis ini disebut sedekah terhadap makhluk, dan terkadang lebih utama daripada sedekah harta.

Contohnya adalah amar makruf nahi munkar — mengajak orang kepada ketaatan dan mencegah mereka dari kemaksiatan — yang manfaatnya lebih besar daripada manfaat materi. Termasuk juga di dalamnya mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan mengajarkan Al-Qur’an.

Para kiai dan ulama telah banyak bersedekah kepada umat dengan ilmu, waktu, dan pengorbanan mereka.

Lalu apa salahnya bila para santri, wali santri, dan masyarakat membalasnya dengan memberikan bisyaroh atau amplop?

Bahkan, pemberian itu tidak sebanding dengan ilmu dan pengabdian yang telah diberikan oleh para kiai demi menjaga agama.

Dalam Irsyād al-Qulūb disebutkan:

“من أعان طالب العلم فقد أحب الأنبياء وكان معهم، ومن أبغض طالب العلم فقد أبغض الأنبياء فجزاؤه جهنم”

Barang siapa menolong ahli ilmu atau pencari ilmu, maka ia telah mencintai para nabi dan kelak akan bersama mereka.

Dan barang siapa membenci pencari ilmu, maka ia telah membenci para nabi, dan balasannya adalah neraka Jahannam.

Apakah juga salah bila umat menunjukkan cintanya kepada Nabi ﷺ dengan membantu ulama dan kiainya — baik dengan tenaga, materi, maupun dukungan lainnya?

Ataukah mereka ingin mengambil risiko kebencian yang justru bisa menyeret pada ancaman neraka?

Maka dari itu, jangan mengeneralisasi dan jangan terburu-buru menghukumi.

Memberi kepada kiai bukanlah bentuk pemanfaatan agama, melainkan bagian dari tradisi Islam yang luhur dalam menghormati ilmu dan penjaganya.

Ulama telah bersedekah kepada umat dengan ilmu, bimbingan, dan pengorbanan mereka.

Sedangkan umat, dengan memberikan hadiah, amplop, atau bisyaroh, hanya sedang membalas sebagian kecil dari kebaikan itu.

Jadilah manusia yang cerdas dan bijak!!!

Wallahu A'lam.

✏️ Farodisa. 

Sumber FB : Farodisa

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Apakah Kiai dan Pesantren Memanfaatkan Agama untuk Amplop dan Hadiah? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®