Suwung
Dalam teologi jawa kuno, Tuhan sering digambarkan sebagai suwung atau kekosongan. Mereka mendeskripsikan Tuhan sebagai kekosongan yang memangku dan meliputi seluruh keberadaan (suwung hamengku ana). Dari sana kemudian orang kejawen yang mengenal islam kemudian berkata bahwa hakikat Allah adalah suwung, yakni kekosongan yang meliputi kita semua.
Karena ada yang bertanya tentang ini, maka saya akan membahasnya secara singkat sebagai berikut:
Akidah seperti itu jelas sesat sebab setidaknya empat alasan:
1. Kekosongan tidak dapat mencipta apa pun. Kekosongan adalah wadah bagi keberadaan, bukan pencipta keberadaan sebab kosong itu sendiri adalah ketiadaan yang ada. Ketiadaan mustahil mencipta yang ada.
2. Kekosongan bisa dibuat dan bisa diubah. Anda bisa mengosongkan sesuatu yang berisi dan bisa juga menjadikan yang kosong menjadi berisi. Segala yang bisa dibuat dan diubah mustahil menjadi Tuhan sebab dia sendiri adalah objek.
3. Secara fisika, hakikat kekosongan adalah medan yang berisi quark. Hanya orang bodoh yang menuhankan dan menyembahnya.
4. Dalam khazanah islam, aliran yang paling mirip dengan ini adalah Jahmiyah. Mereka adalah aliran sesat yang menyangka Allah meliputi manusia seperti halnya udara yang meliputi dunia ini. Udara dalam istilah masa lalu sering digunakan untuk menggambarkan kekosongan yang meliputi semua hal. Kesesatan mereka sejelas mentari sebab sama saja dengan berkata bahwa manusia ada di dalam Allah.
- Lalu bagaimana kalau suwung dimaknai kehampaan diri atau kekosongan jiwa dari segala kegelisahan yang mengganggu? Kalau demikian maka yang dibahas bukan lagi Tuhan tapi kondisi psikologis. Pembahasannya menjadi inkoksisten.
- Lalu kalau dimaknai sebagai ketiadaan segala sesuatu selain Tuhan? Kalau dimaknai demikian berarti bukan suwung lagi sebab kalimat itu menunjukkan bahwa Tuhannya sendiri ada, tidak kosong. Yang kosong dalam kalimat ini hanyalah selain Tuhan. Jadinya inkonsisten. Dari perspektif lain, ini adalah halusinasi yang melabrak realitas sebab kita semua jelas ada, bukan kekosongan.
- Lalu bagaimana bila dimaknai sebagai kekosongan kesadaran diri dari melihat selain Tuhan? Makna ini sama seperti sebelumnya hanyalah kondisi psikologis, bukan tentang Tuhan. Lagi-lagi, pembahasannya menjadi inkonsisten.
- Lalu bagaimana kalau suwung dimaknai sebagai sesuatu yang ada dan Maha Kuasa? Kalau ini makna yang dikehendaki, maka jangan memakai kata suwung sebab jelas yang demikian tidak lagi suwung tapi wujud.
Pertanyaan-pertanyaan di atas biasanya muncul dari orang yang mencoba membuat konsep Suwung dapat diterima atau mencoba membuatnya seolah sama dengan beberapa konsep dalam tasawuf. Namun bagi penganut Suwung sendiri, Tuhan bagi mereka bukan entitas yang ada di luar diri, sebagaimana yang diyakini agama, namun sesuatu yang ada dalam diri mereka sendiri. Akhirnya secara teknis mereka tidak merasa perlu menyembah apa pun, hanya perlu meneng (tidak bergerak) dan hening (tidak bersuara) yang tampak dalam meditasi mereka. Salah satu penganutnya menjelaskan ritual mereka sebagai berikut: “Bagi yang mengawali jalan keheningan yang perlu dilakukan adalah mendiamkan tubuh, membuat tubuh rileks. Diri dilatih untuk merasakan setiap gerak yang ada di tubuh melalui napas.”
Karena diri manusia diyakini sebagai sesuatu yang Ilahi, maka mereka merasa bebas tanpa dikendalikan oleh “Tuhan” yang dikenal dalam konsep agama, yang bagi mereka hanya sosok imajiner yang suka mengatur-ngatur. Dari sini tampak bahwa tujuan mereka tidak lebih dari menenangkan diri dalam diam, merasa bebas dari kontrol dan aturan agama, merasa hebat dengan merasa bahwa dalam diri mereka ada kebenaran ilahiah.
Kalau diamati dari perspektif orang luar, konsep suwung ini sebenarnya tidak lebih dari mempertuhankan diri sendiri dan berhalusinasi seolah dirinya adalah sumber segalanya. Tentu saja, pada akhirnya para tuhan (baca: para diri) yang ada banyak sekali ini akan mati semua ketika ajal menjemput mereka. Jangan tanya siapa yang menentukan ajal sebab mereka takkan bisa menjawabnya, apalagi kalau ditanya siapa pencipta semesta. Pada awalnya mereka bicara tentang Tuhan yang menciptakan segalanya, Yang Maha Kuasa, namun pada akhirnya ternyata meniadakan itu semua dan hanya fokus pada "kesadaran" buatan mereka sendiri dan perasaan hebat seolah dirinya Tuhan.
Ini adalah konsep bertuhan paling absurd di dunia sebab semua orang berakal tahu bahwa kita bukan Tuhan dan tidak ada sedikit pun sisi ketuhanan/keilahian dalam diri kita. Mau selama apa pun bermeditasi, hasilnya tidak lebih dari sekedar diam, istirahat, mengosongkan pikiran agar tidak terbebani kesusahan hidup, dan paling banter adalah olah pernafasan, tidak mungkin naik menjadi Tuhan. Apakah bisa bahagia dengan cara ini? Tentu tidak, hanya lari sesaat dari masalah. Ketika meditasi selesai lalu kembali menghadapi berbagai masalah akibat keterbatasan manusiawi, maka bye bye suwung sebab realitas tidak lagi kosong tapi berisi berbagai hal. Kecuali kalau setiap bertemu masalah lalu diam bermeditasi, tapi tentu masalahnya jadi tidak terselesaikan sebab diam adalah tidak melakukan apa pun.
Semoga bermanfaat.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad