Pondasi Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Menjaga Kesucian dan Kesempurnaan Allah

Pondasi Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Menjaga Kesucian dan Kesempurnaan Allah

Prinsip Tanzih dan Sifat 20: Pondasi Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Menjaga Kesucian dan Kesempurnaan Allah 🕌

Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) adalah corak akidah mayoritas umat Islam yang tegak di atas dua prinsip utama: keteguhan mengikuti Sunnah Nabi ï·º dan pemahaman yang diwarisi oleh al-Jama'ah (para sahabat dan jumhur ulama). Inti dari akidah ini adalah mensucikan Allah ï·» dari segala kekurangan dan kesamaan dengan makhluk, sebuah prinsip yang dikenal sebagai Tanzih.

​Akidah Aswaja dikodifikasi untuk melindungi umat dari dua ekstremitas: rasionalisme mutlak (seperti Mu'tazilah) dan literalisme ekstrem (seperti Mujassimah). Keutuhan akidah ini dijaga melalui sistematika Sifat 20 dan manhaj yang fleksibel namun ketat dalam menyikapi ayat-ayat mutasyabihat (ayat-ayat tentang sifat Allah yang samar maknanya).

​Prinsip Tanzih: Fondasi Kesucian Allah

​Prinsip Tanzih adalah keyakinan bahwa Allah Maha Sempurna dan suci dari segala sifat makhluk. Aswaja secara tegas menolak pemahaman yang menyiratkan Allah membutuhkan tempat, arah, atau memiliki anggota tubuh seperti manusia (antropomorfisme).

​Akidah Aswaja menegaskan Pembahasan Dalil-Dalil Ahlussunnah wal Jama'ah Tentang Kesucian Allah, berlandaskan ayat:

​"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat." (QS Asy-Syura: 11).

​Inilah kaidah mutlak yang menjadi filter bagi semua pemahaman tentang sifat Allah. Oleh karena itu, Aswaja menyimpulkan bahwa Allah Maha Suci dari tempat (seperti Arsy atau langit), karena tempat adalah ciptaan, dan Allah sudah ada sebelum adanya tempat.

​Sifat 20: Kerangka Sistematis Tanzih

​Untuk mempermudah pemahaman umat tentang kesempurnaan Allah dan menghindari tasybih (penyerupaan), ulama Ahlussunnah, terutama dari mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah, menyusun ringkasan sifat wajib bagi Allah yang dikenal sebagai Sifat 20. Ringkasan ini merupakan representasi dari Aqidah Ahlussunnah: Allah Maha Sempurna dan menjadi panduan yang paling luas diterima oleh mayoritas umat.

​Pembahasan Klasifikasi Sifat Allah dalam Sifat 20 dibagi menjadi empat kelompok:

  1. Sifat Nafsiyah (Dzat): Hanya satu, yaitu Wujud (Ada). Adanya Allah adalah wajib.
  2. Sifat Salbiyah (Menolak): Sifat-sifat ini secara negatif menegaskan Prinsip Tanzih Dalam Ahlussunnah wal Jama'ah dengan menolak sifat makhluk pada Allah. Sifat tersebut meliputi Qidam (Terdahulu), Baqa' (Kekal), Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi (Berbeda dengan Makhluk), dan Qiyamuhu bi Nafsihi (Berdiri Sendiri).
  3. Sifat Ma'ani (Makna): Sifat-sifat yang wajib ada pada Dzat Allah yang menunjukkan kesempurnaan-Nya, yaitu Qudrat (Kuasa), Iradat (Berkehendak), Ilmu (Mengetahui), Hayat (Hidup), Sama' (Mendengar), Bashar (Melihat), dan Kalam (Berbicara).
  4. Sifat Ma'nawiyah: Keadaan Dzat yang disifati dengan Sifat Ma'ani (seperti Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, dst.).

​Konsep Sifat 20 ini bukanlah berarti Sifat 20 Membatasi Kesempurnaan Allah? justru sebaliknya. Sifat 20 adalah pintu gerbang menuju pemahaman bahwa kesempurnaan-Nya tak terbatas, sementara 20 sifat tersebut adalah yang wajib diketahui.

​Manhaj Menyikapi Sifat Mutasyabihat: Takwil dan Tafwidh

​Dalam menghadapi ayat atau hadits yang bersifat mutasyabihat (misalnya lafazh Istiwa, Yad [tangan], Nuzul [turun]), ulama Aswaja menggunakan dua metode utama, yang keduanya diakui sebagai bagian dari manhaj Ahlussunnah:

​1. Tafwidh (Penyerahan Makna)

​Tafwidh adalah metode yang dipilih oleh mayoritas Salaf (generasi awal Islam). Dalam metode ini, ulama menetapkan lafazh mutasyabihat sebagaimana adanya dalam teks, namun menyerahkan hakikat dan maknanya hanya kepada Allah, sambil meyakini bahwa makna tersebut pasti berbeda dengan sifat makhluk. Imam-imam besar seperti Imam Malik menyatakan: “Istiwa sudah diketahui maknanya secara bahasa, tetapi kaifiyah (caranya) tidak diketahui, dan bertanya tentangnya adalah bid'ah.”

​Para ulama Atsariyah dan Hanbali sejati (yang berbeda dari Salafi/Wahabi kontemporer) cenderung menggunakan metode ini, sambil memegang teguh Tanzih: Allah tidak membutuhkan tempat.

​2. Takwil (Interpretasi Majazi)

​Takwil adalah metode yang banyak digunakan oleh ulama Khalaf (generasi belakangan), khususnya mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah, terutama ketika fitnah Mujassimah dan pemahaman literal yang ekstrem mulai menyebar. Takwil dilakukan untuk mengalihkan makna literal yang dapat menyesatkan (yang mengarah pada penyerupaan/tasybih) ke makna majazi yang sesuai dengan keagungan Allah.

​Contoh Takwil: Kata Istiwa (bersemayam) ditakwil menjadi Istaula (menguasai), seperti yang dilakukan oleh Ulama Ahlussunnah yang Mentakwil Istiwa dengan Istaula. Contoh lain: Yad (tangan) ditakwil menjadi qudrah (kekuasaan) atau ni'mah (nikmat).

​Pilihan menggunakan Takwil merupakan upaya defensif untuk menjaga akidah umat awam. Posisi Tengah Asyariyah Dalam Memahami Sifat Khabariyah adalah meletakkan batas; Takwil dilakukan bukan untuk menolak sifat, melainkan untuk menegaskan Tanzih, dengan kaidah yang ketat, dan menjadikannya jauh dari pemahaman literalis yang primitif. Inilah salah satu Kelebihan Aqidah Asyairoh Maturidiyyah yang menjadikannya diterima luas di dunia Islam, karena mereka berada di Jalan Tengah (Wasathiyyah).

​Tiga Pilar Representasi Ahlussunnah wal Jama'ah

​Meskipun terdapat perbedaan minor dalam metode (Tafwidh vs Takwil), ketiga pilar ini sepakat dalam tujuan akhir: menjaga akidah tauhid dan Tanzih. Mereka adalah Tiga Kelompok Representasi Ahlussunnah wal Jama'ah yang diakui:

  1. Asy'ariyah: Didirikan oleh Imam Abul Hasan Al-Asy'ari. Mazhab ini dominan di kalangan ulama mazhab Syafi'i dan Maliki. Tokoh seperti Akidah Imam Nawawi adalah Asy'ariyah Tulen menegaskan bahwa ulama-ulama mu'tabar (terpercaya) yang karyanya menjadi rujukan utama umat adalah penganut akidah ini.
  2. Maturidiyah: Didirikan oleh Imam Abu Mansur Al-Maturidi. Mazhab ini dominan di kalangan mazhab Hanafi.
  3. Atsariyah/Salafiyyah Hakikiyah: Mazhab ulama hadits yang berpegang pada Tafwidh tanpa Takwil, tetapi tetap menjunjung tinggi Tanzih yang sama dengan Asy'ariyah/Maturidiyah.

​Kesamaan akidah antara ketiganya sangatlah mendasar, terutama dalam menolak sifat jisim (anggota tubuh), tempat, dan arah bagi Allah. Kritik yang diarahkan pada Memahami Perbuatan Allah Dalam Perspektif Asy'ariyah dan Maturidiyah oleh pihak lain hanyalah perbedaan metodologis, bukan perbedaan akidah pokok.

​Dengan kerangka ini, Aswaja memberikan Penjelasan Aqidah Islam, Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah yang kokoh, menyeluruh, dan konsisten dengan ajaran Nabi ï·º dan para sahabat. Akidah ini telah teruji oleh zaman dan tetap menjadi landasan bagi jutaan Muslim yang mencari keselamatan akidah.

Sumber : Kajian Ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Pondasi Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Menjaga Kesucian dan Kesempurnaan Allah - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®