
Perbedaan Faktual Akidah dan Manhaj: Mengurai Batasan Ahlussunnah wal Jama'ah Melawan Literalitas Ekstrem dan Tuduhan Takfir (Aswaja vs Wahhabi/Mujassimah) ⚔️
Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) telah lama menghadapi tantangan dan kontroversi, terutama dari kelompok-kelompok yang mengadopsi metodologi yang sangat literalistik dan ekstrem. Perdebatan paling menonjol saat ini adalah Perbedaan Mendasar Antara Ahlussunnah dan Mujassimah serta antara Cara Beragama Aswaja VS Wahhabi. Perbedaan ini bukanlah sekadar masalah furuiyyah (cabang fikih), melainkan menyentuh akar akidah, manhaj, dan etika bermuamalah.
Artikel ini akan mengupas tuntas perbedaan faktual antara Aswaja dengan kelompok yang menerapkan literalitas ekstrem (sering dikaitkan dengan Salafi Wahabi dan Mujassimah) yang tercermin dalam isu sifat Allah, definisi syirik, dan tuduhan terhadap ulama mayoritas.
Konflik Sentral Akidah: Tanzih vs Literalitas
Jantung dari perbedaan akidah terletak pada pemahaman Sifat Allah ﷻ, terutama terhadap ayat-ayat mutasyabihat. Aswaja berpegang pada Prinsip Tanzih (mensucikan Allah dari keserupaan makhluk), sedangkan kelompok literalistik sering tergelincir ke dalam Tasybih (penyerupaan) atau Mujassimah (meyakini Allah memiliki anggota tubuh).
Sifat Allah dan Posisi di Arsy
Perbedaan ini paling jelas terlihat dalam metodologi akidah:
- Aswaja (Asy'ariyah/Maturidiyah): Akidah difokuskan pada Sifat 20 sebagai kerangka untuk menjaga Tanzih. Aswaja meyakini bahwa Allah Maha Suci dari tempat, arah, dan waktu. Ketika berbicara tentang Istiwa (bersemayam) di Arsy, Aswaja menggunakan metode Takwil (menjadi Istaula/Menguasai) atau Tafwidh (menyerahkan maknanya kepada Allah) untuk menegaskan bahwa Allah tidak membutuhkan Arsy sebagai tempat duduk.
- Kelompok Literalistik/Mujassimah: Mereka cenderung menolak kerangka Sifat 20 dan menggantinya dengan konsep Tauhid Asma wa Sifat. Mereka memaknai sifat Allah secara literal (dzahir) dan menetapkan bahwa Allah berada "di atas" Arsy secara hakiki (sebagaimana klaim mereka), yang secara implisit menetapkan arah dan tempat bagi Allah. Ini melahirkan kritik yang kuat, seperti yang terkandung dalam Kelemahan Takwil Allah di Langit Tapi Ilmunya di Mana-Mana, yang menyoroti kontradiksi dalam argumen mereka.
Perdebatan ini begitu mendasar hingga melahirkan kesimpulan bahwa Antara Ahlussunnah dan Mujassimah terdapat jurang perbedaan yang sangat lebar dalam konsep Ketuhanan.
Perbedaan Konsep Syirik dan Bid'ah: Pintu Takfir
Perbedaan paling destruktif antara kedua manhaj ini terletak pada perluasan definisi Syirik yang digunakan oleh kelompok literalistik.
Definisi Syirik
Perbedaan Konsep Syirik Menurut Aswaja dan Wahabi sangat fundamental:
- Aswaja: Syirik adalah meyakini adanya sekutu dalam ketuhanan Allah (rububiyah dan uluhiyah). Amaliah seperti Istighotsah (memohon bantuan) dan Tawasul (berdoa dengan perantara) kepada orang saleh dianggap sebagai wasilah (perantara) yang diperbolehkan dan bukan syirik, asalkan keyakinan mutlak bahwa Allah adalah pemberi manfaat dan mudarat tetap teguh. Contoh Kaidah Syirik Menurut Ulama Aswaja selalu diletakkan pada pengakuan adanya Tuhan selain Allah.
- Salafi Wahabi: Mereka cenderung menggunakan definisi Syirik yang sangat luas (Syirik Akbar) untuk amaliah yang bersifat tradisional (seperti ziarah, tawasul, istighotsah), dan menjadikannya dasar untuk menuduh Muslim Aswaja Musuh-Musuh Tauhid?. Tuduhan ini, yang merupakan salah satu inti dari Ajaran Wahabi MERUSAK Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah, telah menyebabkan perpecahan dan konflik.
Dampak Faktual: Tuduhan, Vonis, dan Kesaksian Ulama
Sikap literalistik dan perluasan definisi syirik ini menghasilkan sebuah lingkungan keagamaan di mana Parade Ucapan Buruk Ulama Salafi Wahabi Kepada Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah menjadi hal yang lumrah.
Vonis Terhadap Ulama Aswaja
Sejarah mencatat bahwa tokoh-tokoh yang mengadopsi literalitas ekstrem telah memberikan vonis buruk kepada para ulama Aswaja, dengan tuduhan:
- Tuduhan Wahhabi Atas Akidah Asyari: Para ulama Asy'ariyah dan Maturidiyah dituduh sebagai Ahlul Bid'ah atau bahkan yang lebih parah, hanya karena mereka menggunakan metode Takwil untuk menjaga Tanzih.
- Kesaksian Ulama Ahlussunnah wal Jama'ah tentang Ibn Abdul Wahhab dan pengikutnya: Banyak ulama kontemporer dan sezaman yang bersaksi tentang ekstremitas paham yang dibawa, terutama karena mudahnya mereka mengkafirkan kaum Muslimin atas perbedaan amaliah dan akidah.
Kontroversi ini bahkan meluas ke wilayah perbandingan yang tidak masuk akal, yang dicerminkan dalam respons terhadap retorika ekstremis, seperti Yahudi Nashrani Lebih Baik dari Asy'ariah?, yang bertujuan merendahkan mazhab akidah mayoritas.
Manhaj dalam Memahami Dalil dan Sikap Bermuamalah
Perbedaan manhaj ini juga terlihat jelas dalam cara penggunaan dalil dan sikap bermuamalah:
Manhaj Dalil
Kelompok Aswaja lebih moderat dalam penggunaan dalil:
- Aswaja: Menggunakan Dalil mutawatir, masyhur, ahad, dan bahkan hadits dha'if (yang tidak terlalu parah) untuk fadha'il al-a'mal (keutamaan amal). Aswaja juga memperhatikan kaidah Empat Orang Imam Besar Hidup Sezaman (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) dalam menetapkan fikih.
- Literalistik: Cenderung menolak penggunaan hadits dha'if secara mutlak, bahkan untuk fadha'il al-a'mal.
Iman dan Amal
Perbedaan akidah juga terlihat dalam definisi Iman, di mana Aswaja (Asy'ariyyah) mengambil posisi tengah:
- Iman Menurut Ahlussunnah Asyariyyah, Khowarij Mutazilah dan Murjiah: Aswaja meyakini bahwa amal adalah syarat kesempurnaan iman, tetapi bukan bagian dari hakikat iman itu sendiri. Dengan ini, Aswaja berada di tengah, berbeda dengan Khawarij (yang mengkafirkan pelaku dosa besar) dan Murji'ah (yang menganggap amal tidak penting). Definisi Iman ini sangat esensial untuk mencegah takfir (pengkafiran) terhadap sesama Muslim dan menjaga persatuan umat.
Secara ringkas, kontroversi akidah antara Aswaja dan kelompok literalistik/Mujassimah bukanlah sekadar perdebatan akademis, melainkan konflik manhaj yang mendasar. Aswaja membela Prinsip Tanzih dan kerangka Sifat 20 untuk melindungi Tauhid dari Tasybih, sementara kelompok lain menggunakan pemahaman literal yang ekstrem untuk menyerang akidah mayoritas. Dengan mempelajari Perbedaan Faktual Akidah dan Manhaj ini, umat dapat membedakan antara manhaj moderasi yang membawa persatuan dan manhaj ekstremitas yang membawa perpecahan dan tuduhan takfir.
Sumber : Kajian Ulama