
Konflik Teologis: Mengurai Akar Masalah Asy'ariyah, Hanabilah, Taimiyah, dan Etika Kritik dalam Manhaj
Perbedaan Manhaj yang Melahirkan Konflik
Sejak abad pertengahan, konflik teologis antara mazhab Kalam (Asy'ariyah) dan Atsar (Hanabilah) selalu ada, namun umumnya diselesaikan dengan adab dan saling menghormati. Namun, konflik ini memuncak dengan munculnya pandangan-pandangan kontroversial yang diasosiasikan dengan Ibnu Taimiyah dan kemudian dihidupkan kembali oleh gerakan Wahhabiyah. Perbedaan ini bukan hanya tentang Sifat Allah, tetapi juga tentang metodologi (manhaj) dan etika (adab) kritik.
Artikel ini akan mengupas tuntas Mengurai Akar Masalah Antara Asy'ariyah, Hanabilah, dan Taimiyah (Wahhabiyah), membandingkan posisi Hanabilah, Asy'ariyah, dan Salafi Wahabi, serta meninjau Parade Ucapan Buruk Ulama Salafi Wahabi Kepada Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah.
1. Mengurai Akar Masalah: Tiga Kutub Pemikiran
Perbedaan antara Asy'ariyah, Hanabilah (Atsariyah Klasik), dan Wahhabiyah terletak pada cara mereka menangani Sifat Khabariyah (Sifat Mutasyabihat):
|
Kelompok |
Metodologi Utama |
Sikap terhadap Sifat Allah |
|---|---|---|
|
Asy'ariyah (Kalam) |
Tanzih Mutlak. Metode Takwil (Khalaf) atau Tafwidh (Salaf). |
Menetapkan Sifat, menolak penyerupaan (Tajsim). |
|
Hanabilah/Atsariyah Klasik |
Tafwidh al-Makna (Menyerahkan makna hakikat). |
Menetapkan lafaz Sifat sebagaimana adanya tanpa bertanya bagaimana (Bila Kayf). Mengutamakan Atsar (teks). |
|
Taimiyah/Wahhabiyah |
Itsbat al-Sifat al-Khabariyyah secara literal. |
Menetapkan Sifat secara literal, menolak Tafwidh dan Takwil. Pandangan mereka sering dianggap mengarah pada Tajsim oleh ulama lain. |
Akar Masalah: Perbedaan utama terletak pada apakah ulama boleh melakukan Takwil untuk melindungi Akidah awam dari Tajsim (Asy'ariyah), ataukah harus bersikap diam (Tafwidh) (Hanabilah Klasik), ataukah harus menetapkan makna lahir Sifat tanpa Takwil (Taimiyah/Wahhabiyah).
2. Hanabilah Klasik vs. Wahhabiyah Kontemporer
Penting untuk membedakan antara Hanabilah Klasik dan Salafi Wahabi kontemporer, meskipun keduanya mengklaim mengikuti Manhaj Salaf.
- Hanabilah dan Asy'ariyah: Meskipun Hanabilah Klasik (seperti Imam Ahmad dan ulama Hanbali setelahnya) memiliki khilaf dengan Asy'ariyah dalam metodologi Kalam, mereka tetap saling menghormati. Banyak ulama Hanbali yang mengakui bahwa Asy'ariyah adalah bagian dari Ahlussunnah wal Jama'ah dan mempraktikkan Tafwidh yang jauh dari Tajsim.
- Salafi Wahabi: Gerakan ini seringkali dicirikan oleh penolakan total terhadap semua ilmu Kalam, Taqlid Mazhab Fikih, dan Tasawuf. Mereka secara terang-terangan menuduh Asy'ariyah sesat (mubtadi') karena metodologi Takwil mereka, dan menganggap Manhaj mereka sendiri adalah satu-satunya Manhaj Salaf yang benar.
- Perbedaan Fikih: Perlu dicatat, banyak Hanabilah terdahulu (seperti Abdul Qadir Al-Jilani) sangat menekankan pentingnya Taqlid (mengikuti Mazhab Fikih), sementara Wahhabiyah umumnya menganjurkan meninggalkan Taqlid demi ijtihad personal.
3. Etika Kritik dan Tuduhan
Konflik ini seringkali melampaui batas ilmu hingga ke masalah etika. Parade Ucapan Buruk Ulama Salafi Wahabi Kepada Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah menjadi bukti nyata kurangnya adab dalam Manhaj mereka.
- Tuduhan Ta'til: Ulama Asy'ariyah dituduh sebagai Mu'attilah (penolak Sifat Allah) atau Jahmiyyah karena praktik Takwil mereka. Tuduhan ini sangat keji karena mengaitkan mereka dengan sekte sesat, padahal tujuan Asy'ariyah adalah Tanzih.
- Tuduhan Kuburiyyun: Ulama Aswaja dituduh sebagai Kuburiyyun (penyembah kuburan) karena mereka membolehkan ziarah kubur, tawassul, dan istighotsah (seperti yang dibahas di Artikel 11).
- Konsekuensi Etika: Sikap yang keras dan mudah mengkafirkan atau menyesatkan ini merusak persatuan umat dan bertentangan dengan adab ulama Salaf yang sangat berhati-hati dalam mengkritik sesama Ahlussunnah. Aswaja menekankan bahwa perbedaan dalam furu' (cabang) Akidah tidak boleh merusak persaudaraan Islam.
Menjaga Moderatisme
Mengurai Akar Masalah teologis ini menunjukkan bahwa Ahlussunnah wal Jama'ah yang sejati adalah mereka yang mampu bersikap moderat.
Aswaja berdiri di tengah: menetapkan Sifat Allah tanpa jatuh ke dalam Tajsim, menghormati Atsar tanpa mengabaikan nalar, dan mengkritik penyimpangan dengan ilmu dan adab.
Sumber : Kajian Ulama