Memahami Manhaj Fikih Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Isu Istighotsah, Bid'ah, dan Kekuatan Tradisi Bermadzhab

Memahami Manhaj Fikih Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Isu Istighotsah, Bid'ah, dan Kekuatan Tradisi Bermadzhab

​Melindungi Amaliah Mayoritas: Memahami Manhaj Fikih Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Isu Istighotsah, Bid'ah, dan Kekuatan Tradisi Bermadzhab 🤲

​Jika Artikel #1, #2, dan #3 berfokus pada Akidah, Perbandingan Manhaj, dan Kredibilitas Keilmuan, maka Artikel Gabungan #4 ini mengupas dimensi Fikih dan Amaliah dalam tradisi Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja). Manhaj Aswaja dalam ibadah dan muamalah ditandai dengan moderasi, penghormatan terhadap Empat Mazhab Fikih, dan sikap terbuka terhadap tradisi yang tidak bertentangan dengan syariat (bid'ah hasanah).

​Fokus utama artikel ini adalah bagaimana Aswaja menghadapi kontroversi terkait ibadah seperti tawasul dan amalan tahunan, serta pentingnya Bermadzhab sebagai perisai dari ekstremitas.

​Keharusan Bermadzhab dan Kekuatan Fikih

​Salah satu ciri khas utama Aswaja adalah ketaatan pada metodologi fikih yang terstruktur. Bermadzhab, Ciri Pertama Salafi Menurut Hadlrotus Syaikh Muhammad Hasyim Asyari, menggarisbawahi pentingnya mengikuti salah satu dari Empat Mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali). Manhaj ini adalah benteng yang menjaga umat dari pemahaman hukum secara sembarangan (fatwa liwa'iyyah) dan memastikan praktik ibadah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu fikih yang telah diverifikasi selama berabad-abad.

​Manhaj Dalil Amaliah

​Aswaja memiliki kriteria yang lebih luas dalam menerima dalil untuk amaliah (ibadah non-pokok) dibandingkan kelompok literalistik, yang mana hal ini mencerminkan manhaj fikih yang lebih fleksibel:

  1. Penggunaan Hadits Dha'if (Lemah): Aswaja, melalui ulama fikihnya, menerima penggunaan hadith dha'if (yang tidak terlalu parah/tidak palsu) dalam konteks fadha'il al-a'mal (keutamaan amal). Namun, Aswaja tetap memegang etika ilmiah yang ketat. Peringatan Jangan Pakai Dalil Hadits Palsu Bila Membela Amaliah Aswaja adalah panduan etika; bahwa meskipun menerima dha'if yang ringan, Aswaja tetap menolak hadits maudhu' (palsu).
  2. Kompilasi Kitab Hujjah: Tradisi Aswaja melahirkan karya-karya komprehensif, seperti Kitab Hujjah Ahlissunah yang Dilengkapi Takhrij Hadis, yang secara sistematis memberikan dalil-dalil kuat dari Al-Qur'an, Sunnah, dan konsensus ulama untuk setiap amaliah yang sering dituduh bid'ah.

​Amaliah Kontroversial: Istighotsah, Tawasul, dan Ziarah

​Isu yang paling sering memicu konflik antara Aswaja dan kelompok literalistik adalah praktik yang melibatkan perantara kepada Allah ﷻ.

​Istighotsah dan Tawasul

  • Aswaja: Membolehkan Istighotsah Antara Ibn Taimiyah, Salafi Wahabi dan Ulama Aswaja Lain. Dalam pandangan Aswaja, meminta bantuan (Istighotsah) atau berdoa menggunakan perantara (Tawasul) kepada makhluk yang telah wafat (seperti Nabi atau Wali) adalah boleh, asalkan diyakini bahwa hanya Allah yang menciptakan pertolongan itu. Makhluk hanyalah wasilah (perantara) dan asbab (sebab).
  • Kelompok Literalistik/Salafi Wahabi: Mereka menganggap praktik ini sebagai Syirik Akbar (Syirik Besar) dan menuduh pelakunya telah menyamakan makhluk dengan Tuhan, meskipun dalam hati penganut Aswaja, keyakinan Tauhid tetap utuh. Manhaj Aswaja bersandar pada tradisi yang kuat, seperti praktik Dari Kisah Sahabat Yang Diamalkan Aswaja dalam hal tawasul.

​Amalan Tradisi Tahunan

​Aswaja merangkul tradisi-tradisi yang bertujuan baik (bid'ah hasanah), yang bertujuan mendekatkan diri kepada Allah ﷻ:

  • Amalan Malam Nisfu Sya’ban: Aswaja meyakini keutamaan amalan di malam Nisfu Sya'ban, didukung oleh Hadith Sahih Amalan-Amalan Malam Nisfu Sya’ban Yang Disahihkan Oleh Albani dan Para Ulama Aswaja (di mana perbedaan terletak pada status hadits bukan pada amalan dasarnya, tetapi amalan itu sendiri dibolehkan).
  • Amalan Menghidupkan Malam Raya: Peringatan dan penghidupan malam-malam besar Islam, seperti Maulid Nabi dan Isra' Mi'raj, juga dianggap sebagai bid'ah hasanah yang dianjurkan.

​Kelompok literalistik cenderung menolak amalan-amalan ini secara mutlak karena dianggap tidak dilakukan secara eksplisit oleh Nabi ﷺ, padahal kaidah fikih Aswaja memungkinkan adanya inovasi baik dalam ibadah non-pokok.

​Ciri Khas Amaliah Aswaja dan Komitmen pada Fikih

​Amaliah Aswaja yang merupakan warisan dari tradisi ulama salaf juga terlihat dalam hal-hal yang sering dipersoalkan oleh kelompok lain:

  • Shalat Jenazah di Kuburan: Shalat Janazah di Kuburan Tidak Pernah Dipermasalahkan Aswaja karena adanya hadits dan pendapat ulama fikih yang membolehkannya. Penolakan terhadap praktik ini seringkali datang dari penafsiran literal yang sempit yang mengabaikan kaidah fikih mazhab.
  • Ciri Khas Masjid NU Dari Sisi Amaliah: Masjid-masjid Aswaja diidentifikasi dengan amaliah-amaliah seperti Dzikir Jahr (bersuara keras), pembacaan Ratib, dan tradisi dalam manasik yang disepakati oleh jumhur ulama.

​Secara keseluruhan, manhaj fikih Aswaja adalah manhaj yang moderat, fleksibel dalam fadha'il al-a'mal, dan sangat komitmen pada kaidah Bermadzhab. Manhaj ini berupaya melindungi praktik keagamaan mayoritas umat, membedakan antara syirik yang sebenarnya dengan praktik wasilah, dan menegaskan bahwa Istighotsah dan Tawasul yang berlandaskan Tauhid adalah amaliah yang sah secara syar'i. Inilah cara Aswaja menjalankan agama secara amanah, ilmiah, dan sesuai dengan tradisi para ulama salaf.

Sumber : Kajian Ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Memahami Manhaj Fikih Ahlussunnah wal Jama'ah dalam Isu Istighotsah, Bid'ah, dan Kekuatan Tradisi Bermadzhab - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®