
Otoritas Keulamaan: Kriteria Ulama yang Sahih, Makna Gelar Syaikh Ahlussunnah, dan Kritik Pengabaian Ulama Aswaja
Memilih Rujukan yang Sahih
Di tengah arus informasi yang tak terbendung, menjadi sangat penting untuk membedakan antara ulama yang benar-benar otoritatif (rabbani) dengan mereka yang hanya populer. Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) menempatkan kriteria ketat untuk Ulama Yang Diikuti yang bertujuan menjaga sanad keilmuan dan kemurnian Akidah umat. Pemahaman terhadap gelar seperti Laqab Syaikh Ahlissunnah Wal Jamaah menunjukkan pengakuan otoritas teologis tertinggi, yang sangat berbeda dari sekadar popularitas media sosial.
Artikel ini akan mengupas tuntas kriteria keulamaan Aswaja, makna di balik gelar kehormatan, serta mengkritisi fenomena Mengapa Bukan Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Yang Diundang? di beberapa forum publik.
1. Kriteria Ulama yang Diikuti Menurut Aswaja
Kriteria Ulama Yang Diikuti oleh Aswaja tidak hanya didasarkan pada ketakwaan personal, tetapi juga pada aspek akademis dan metodologis yang ketat:
- Sanad yang Jelas (Muttasil): Ulama harus memiliki mata rantai keilmuan yang bersambung (ittishâl al-sanad) dalam Akidah, Fikih, dan Tasawuf. Akidah harus bersanad kepada Asy'ari/Maturidi, dan Fikih kepada salah satu dari empat mazhab. Sanad adalah jaminan bahwa ilmu tersebut bukan ijtihad pribadi yang baru muncul.
- Keseimbangan (Tawazun): Ulama harus mampu menggabungkan tiga pilar agama: Syariat (Fikih), Hakikat (Akidah), dan Thariqat (Tasawuf/Akhlak). Mereka menolak ulama yang hanya fokus pada Fikih (tanpa spiritualitas) atau hanya fokus pada Akidah (tanpa adab).
- Pemahaman Konteks (Fiqh al-Waqi'): Selain menguasai ilmu turats (kitab klasik), ulama harus mampu menerapkan hukum dan Akidah secara moderat (tawassuth) dan sesuai dengan konteks zaman, tanpa melanggar ushul (pokok) agama.
- Adab dan Toleransi: Ulama yang sahih tidak mudah mengkafirkan (takfir), menjaga adab kritik, dan menghormati ulama lain. Mereka mengutamakan persatuan umat (wahdatul ummah) daripada perbedaan furu' (cabang).
Mengikuti ulama yang memenuhi kriteria ini adalah mengikuti Manhaj yang otoritatif dan teruji, menjamin keselamatan Akidah.
2. Makna Gelar Syaikh Ahlussunnah Wal Jamaah
Dalam tradisi keilmuan Islam, gelar kehormatan seperti Laqab Syaikh Ahlissunnah Wal Jamaah tidak diberikan secara sembarangan, tetapi melalui pengakuan ulama sezaman dan murid-murid atas kontribusi teologis yang luar biasa.
-
Makna Gelar: Gelar "Syaikh Ahlissunnah Wal Jamaah" atau "Imam Ahlussunnah" diberikan kepada ulama yang:
- Memiliki penguasaan mendalam atas ilmu Kalam Asy'ariyah atau Maturidiyah.
- Telah mendedikasikan hidupnya untuk membela Akidah Aswaja dari serangan sekte-sekte yang menyimpang (seperti Mu'tazilah di masa lalu, atau kelompok literalitas di masa kini).
- Memiliki pengaruh luas dalam menyebarkan Akidah yang benar.
- Contoh Figur: Gelar ini secara historis melekat pada figur-figur seperti Imam Abu Hasan al-Asy'ari sendiri, dan ulama-ulama besar yang melanjutkannya (seperti Imam Abu Bakar al-Baqillani, Imam al-Juwaini, dan Imam al-Ghazali). Di era modern, gelar ini dapat diberikan kepada ulama yang secara konsisten mempertahankan Akidah dan manhaj ini.
Pengakuan gelar ini adalah pengakuan atas otoritas teologis seorang figur yang wajib dijadikan rujukan dalam masalah Akidah.
3. Kritik Fenomena: Mengapa Bukan Ulama Aswaja yang Diundang?
Fenomena Mengapa Bukan Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah Yang Diundang? di beberapa forum, media, dan kegiatan pemerintahan seringkali menjadi kritik umat Aswaja. Ini mencerminkan pengabaian otoritas dan dominasi narasi kelompok non-Aswaja.
-
Sebab Pengabaian: Pengabaian ini seringkali disebabkan oleh:
- Dominasi Narasi Tunggal: Di beberapa media atau institusi, narasi Salafi/Wahhabi yang cenderung literalistik berhasil mendominasi dan menganggap diri mereka sebagai satu-satunya representasi Salaf.
- Anti-Tradisi: Adanya pandangan yang menolak Tasawuf dan Kalam (ilmu teologi), sehingga mengesampingkan ulama Aswaja yang merupakan pakar di bidang tersebut.
- Politik dan Pendanaan: Beberapa ulama Aswaja dianggap kurang populer karena fokus pada ilmu turats (kitab klasik), sementara ulama populis (yang seringkali non-Aswaja) didukung oleh pendanaan yang besar.
- Dampak: Pengabaian ini berbahaya karena menjauhkan umat dari rujukan Akidah yang sahih dan moderat, serta merusak Sanad Keilmuan yang telah dijaga selama berabad-abad.
Menjaga Otoritas Rujukan
Memahami Kriteria Ulama Yang Diikuti adalah kewajiban Akidah. Kita harus selektif dalam memilih rujukan, memastikan ulama tersebut memenuhi syarat sanad, metodologi, dan adab keulamaan. Dengan menghormati dan merujuk kepada ulama yang benar-benar bergelar Syaikh Ahlussunnah Wal Jamaah dalam pengertian yang sesungguhnya, kita menjaga kemurnian Akidah dan menghindari fitnah.
Sumber : Kajian Ulama