Menjaga Kemahatinggian Allah, Membedah Dua Sikap Aswaja, dan Kritik Takwil yang Lemah

Menjaga Kemahatinggian Allah, Membedah Dua Sikap Aswaja, dan Kritik Takwil yang Lemah

Khabariyah dan Tanzih: Menjaga Kemahatinggian Allah, Membedah Dua Sikap Aswaja, dan Kritik Takwil yang Lemah

Memahami Sifat yang Samar

​Isu Sifat Khabariyah adalah ujian terberat bagi teolog Islam. Sifat-sifat ini (seperti istiwa' di atas Arsy, yad [tangan], atau wajh [wajah]) berpotensi disalahpahami oleh awam sebagai penyerupaan Tuhan dengan makhluk (Tajsim). Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) menyajikan dua metode utama untuk memahami Sifat Khabariyah sambil mempertahankan prinsip fundamental Sifat Kemahatinggian Allah (Uluw) yang mutlak.

​Artikel ini akan mengupas tuntas Sifat Kemahatinggian Allah menurut Ahlussunnah wal Jamaah, membedah Dua Sikap Ahlussunnah tentang Sifat Khabariyah Allah, dan membahas kritik terhadap Kelemahan Takwil Allah di Langit Tapi Ilmunya di Mana-Mana.

​1. Kemahatinggian Allah (Uluw) dan Isu Istiwa'

​Aswaja meyakini bahwa Sifat Kemahatinggian Allah (Uluw) adalah sifat yang mutlak, yang berarti Allah Maha Suci dari menyerupai makhluk dan tidak membutuhkan tempat.

  • Pemahaman Uluw: Kemahatinggian Allah bukan berarti Allah berada dalam ruang tertentu di atas langit (seperti keyakinan fisik), melainkan kemahatinggian Dzat, kedudukan, dan kekuasaan-Nya (Uluw ad-Dzât, al-Qadr, wa al-Qahr).
  • Isu Istiwa': Ayat-ayat yang menyebutkan Allah Istawâ di atas Arsy dipahami oleh Aswaja melalui lensa Tanzih (penyucian).
    • Tafwidh: Meyakini Istiwa' terjadi, namun maknanya, bentuknya (kayfiyyah), dan hakikatnya diserahkan sepenuhnya kepada Allah SWT. Ini adalah metode yang paling aman bagi para Salaf.
    • Takwil: Menafsirkan Istawâ sebagai Istaulâ (menguasai/menaklukkan). Ini adalah metode Khalaf (ulama muta'akhirin) untuk menghindari Tajsim bagi umat awam.

​2. Dua Sikap Aswaja: Tafwidh dan Takwil

​Terdapat Dua Sikap Ahlussunnah tentang Sifat Khabariyah Allah yang keduanya sah dan bertujuan untuk menjaga Tanzih (penyucian) Dzat Allah.

​A. Sikap Tafwidh (Menyerahkan)

  • Metode Salaf: Inilah sikap mayoritas Salaf (sahabat dan tabi'in). Mereka menetapkan lafaznya (itsbat)—seperti yad (tangan), wajh (wajah), istiwa'—tetapi menafikan perumpamaan (tasybîh) dan menyerahkan makna hakikatnya kepada Allah (Tafwidh al-Ma'na wa al-Kayfiyyah).
  • Keutamaan: Metode ini dianggap paling aman dari kesalahan karena menahan diri dari berbicara tentang Dzat Allah tanpa pengetahuan.

​B. Sikap Takwil (Menafsirkan)

  • Metode Khalaf: Digunakan oleh ulama Muta'akhirin (belakangan), terutama di mazhab Asy'ariyah dan Maturidiyah, sebagai respons terhadap meningkatnya penyebaran Tajsim dan filsafat.
  • Contoh: Menafsirkan Yad sebagai Qudrah (Kekuasaan) atau Ni’mah (Nikmat), karena ini adalah makna majazi yang dikenal dalam bahasa Arab dan tidak mengarah pada Tajsim.
  • Keutamaan: Metode ini bermanfaat untuk membentengi akidah awam yang mungkin kesulitan menerima Tafwidh dan rentan jatuh pada pemahaman literal.

​3. Kritik Terhadap Takwil yang Lemah

​Meskipun Takwil adalah metode yang sah, ulama juga mengkritik bentuk Takwil yang tidak didukung oleh kaidah bahasa atau yang kontradiktif.

  • Kelemahan Takwil Allah di Langit Tapi Ilmunya di Mana-Mana: Kalimat ini sering digunakan oleh kelompok Salafi-Wahhabi untuk mengkritik Takwil Asy'ariyah. Maksud mereka adalah: jika Aswaja menakwil Istiwa' (bersemayam) dengan Istaulâ (menguasai), mengapa mereka tidak konsisten menakwil sifat-sifat lain? Dan jika Allah diyakini di atas secara Dzat (klaim Wahhabi), mengapa ilmu-Nya di mana-mana?
  • Jawaban Aswaja: Kritik ini lemah karena:
    1. Takwil Aswaja selalu didasarkan pada kaidah bahasa Arab (majâz) dan untuk tujuan Tanzih.
    2. ​Aswaja membedakan antara dzat dan ilmu Allah: Dzat Allah tidak berada di tempat manapun (karena itu mustahil bagi Dzat yang Qadim), tetapi Ilmu dan Kekuasaan-Nya melingkupi segala sesuatu (ini yang disebut Ma'iyyah [kebersamaan]). Tuduhan Kelemahan Takwil ini justru gagal membedakan antara Dzat dan Sifat.

Keseimbangan Mutlak

Dua Sikap Ahlussunnah tentang Sifat Khabariyah Allah (Tafwidh dan Takwil) adalah warisan ijtihad yang kaya, yang tujuan akhirnya adalah Tanzih mutlak. Aswaja mengajarkan kita untuk meyakini Sifat-Sifat Allah dengan sepenuh hati, sambil menjauhi segala pemikiran yang menyerupakan-Nya dengan makhluk.

​Mari kita berpegang pada metode yang diajarkan ulama kita, memastikan bahwa Sifat Kemahatinggian Allah selalu dipahami secara spiritual dan non-fisik.

​Sumber : Kajian Ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Menjaga Kemahatinggian Allah, Membedah Dua Sikap Aswaja, dan Kritik Takwil yang Lemah - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®