
Fikih Furu'iyyah Shalat: Qunut Subuh, Hukum Mengangkat Tangan, dan Imamah
Kerahmatan dalam Perbedaan Shalat
Shalat adalah tiang agama, namun detail pelaksanaannya seringkali menjadi titik perbedaan (khilaf) di antara mazhab. Perbedaan ini, yang dikenal sebagai masalah furu'iyyah (cabang), adalah bukti kerahmatan dan keluasan fikih Islam. Bagi seorang Muslim, penting untuk memahami dasar perbedaan ini agar dapat beribadah dengan penuh keyakinan dan tetap menjaga toleransi.
Artikel ini akan mengupas tuntas tiga isu utama dalam shalat: perdebatan mengenai Fikih Qunut dalam Shalat Subuh, pandangan ulama tentang Hukum Mengangkat Tangan Setelah Shalat, serta Hukum Berjamaah dengan Imam yang Melakukan Bid’ah.
1. Qunut dan Khilaf dalam Shalat Subuh
Qunut adalah doa yang dibaca saat berdiri i'tidal (bangun dari rukuk) pada rakaat terakhir. Fikih Qunut dalam Shalat Subuh adalah salah satu khilaf yang paling sering ditemui:
- Mazhab Syafi'i: Berpendapat bahwa Qunut Subuh adalah Sunnah Ab'adh (sunnah yang sangat dianjurkan) yang jika ditinggalkan disempurnakan dengan sujud sahwi. Mereka mendasarkan pandangan pada Hadis dari Anas bin Malik dan praktik ulama Madinah.
- Mazhab Hanafi dan Hanbali: Berpendapat Qunut Subuh tidak disunnahkan, dan sebagian menganggapnya makruh, karena berpandangan Hadis mengenai Qunut Subuh telah dinasakh (dihapus).
- Pentingnya Toleransi: Perbedaan ini adalah perbedaan yang sah. Ulama mengajarkan bahwa seorang yang bermazhab Syafi'i boleh bermakmum kepada imam yang tidak berqunut (dan sebaliknya), menunjukkan bahwa perbedaan furu' tidak boleh membatalkan shalat atau memecah belah persatuan.
2. Praktik Setelah Shalat: Mengangkat Tangan dan Bid’ah
Setelah shalat wajib, praktik dzikir (mengingat Allah) sangat dianjurkan, namun detail praktiknya juga memicu perdebatan:
- Hukum Mengangkat Tangan Setelah Shalat: Mayoritas ulama Jumhur membolehkan (sunnah) mengangkat tangan saat berdoa setelah shalat. Mereka mendasarkan pandangan ini pada keumuman dalil tentang adab berdoa, di mana mengangkat tangan adalah salah satu adab yang dianjurkan.
- Kritik Bid’ah: Sebagian ulama (terutama dari kalangan Salafiyyah) menganggapnya bid'ah jika dilakukan secara rutin dan berjamaah (dipimpin imam), karena tidak ada nash spesifik yang memerintahkan praktik ini setelah shalat wajib.
- Konsensus: Konsensus yang paling kuat adalah bahwa berdoa adalah sunnah, dan mengangkat tangan adalah adab. Jika seseorang melakukannya sendiri-sendiri atau secara sporadis, itu termasuk amal yang masyru' (disyariatkan).
3. Fikih Imamah: Berjamaah dengan Imam yang Melakukan Bid’ah
Isu Hukum Berjamaah dengan Imam yang Melakukan Bid’ah adalah masalah yang sangat penting untuk menjaga shalat jamaah di tengah perbedaan:
- Prinsip Dasar: Selama imam tersebut bukan kafir dan shalatnya sah secara rukun dan syarat (misalnya, bacaan Fatihahnya benar, rukuk, dan sujudnya sempurna), maka shalat makmum di belakangnya adalah sah menurut mayoritas ulama.
- Batasan Bid’ah: Bid’ah yang dilakukan imam harus dibedakan. Jika bid'ah tersebut tidak mengarah pada kekufuran (syirik), shalat makmum tetap sah meskipun bid'ah imam adalah sayyi’ah (tercela). Makmum dianjurkan tetap shalat berjamaah untuk menjaga persatuan.
- Syarat Taharah: Keputusan ini juga sejalan dengan prinsip Hukum Shalat di Tempat Pemotongan Hewan (seperti yang dibahas di Artikel 2). Fokus utama syarat sahnya shalat adalah kesucian (taharah) tempat, pakaian, dan badan dari najis, bukan pada keyakinan (akidah) atau bid’ah sang imam. Jika syarat sah shalat terpenuhi, maka shalat jamaah sah.
Shalat Sebagai Aksi Persatuan
Fikih Qunut dalam Shalat Subuh dan masalah imamah mengajarkan kita bahwa Islam mengutamakan persatuan (wahdah) di atas perbedaan furu' (cabang). Perbedaan adalah rahmat, asalkan tetap didasarkan pada Hadis dan metodologi ulama yang otoritatif.
Mari kita beribadah dengan ilmu, menghargai perbedaan praktik furu'iyyah mazhab, dan memastikan bahwa shalat jamaah kita menjadi simbol persatuan dan ukhuwah.
Sumber : Kajian Ulama