
๐๐๐๐๐ฃ๐๐ก ๐๐๐ฆ๐จ๐ก๐ก๐๐๐๐ก ๐ฅ๐จ๐๐จ๐ ๐๐๐๐๐ ๐ ๐๐๐ญ๐๐๐ ๐ฆ๐ฌ๐๐๐'๐
Oleh : KH. Ahmad Syahrin Thoriq
Berikut ini adalah beberapa perkara yang disunnahkan untuk dilakukan saat mengerjakan rukuk di dalam shalat.
๐ญ. ๐ ๐ฒ๐ป๐ด๐๐ฐ๐ฎ๐ฝ๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐ธ๐ฏ๐ถ๐ฟ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐บ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ป๐ด๐ธ๐ฎ๐ ๐ธ๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ ๐๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu beliau berkata :
َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ุฅِุฐَุง َูุงู َ ุฅَِูู ุงูุตََّูุงุฉِ َُููุจِّุฑُ ุญَِูู َُูููู ُ، ุซُู َّ َُููุจِّุฑُ ุญَِูู َูุฑَْูุนُ
“Rasulullah ๏ทบ apabila berdiri untuk shalat, beliau bertakbir ketika berdiri, kemudian bertakbir ketika rukuk...” (HR. Bukhari dan Muslim)
Disebutkan juga dalam hadits Wail bin Hujrin radhiyallahu’anhu beliau berkata :
َูุงุณْุชَْูุจََู ุงِْููุจَْูุฉَ ََููุจَّุฑَ، َูุฑََูุนَ َูุฏَِْูู ุญَุชَّู ุญَุงุฐَุชَุง ุฃُุฐَُِْููู، ุซُู َّ ุฃَุฎَุฐَ ุดِู َุงَُูู ุจَِูู ِِِููู، ََููู َّุง ุฃَุฑَุงุฏَ ุฃَْู َูุฑَْูุนَ ุฑََูุนَُูู َุง ู ِุซَْู ุฐََِูู
“… Lalu beliau ๏ทบ menghadap kiblat, lalu bertakbir dan mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan telinga. Kemudian beliau memegang tangan kiri dengan tangan kanannya. Ketika beliau hendak rukuk beliau mengangkat kedua tangannya sebagaimana sebelumnya..” (HR. Abu Daud)
Hukum mengucap takbir dan mengangkat tangan ini dalam madzhab Syafi’i tidak sampai wajib seperti pendapat kalangan Hanabilah, namun hanya disunnahkan. Berkata al imam Nawawi rahimahullah :
ูุฏููููุง ุนูู ุฃุญู ุฏ ุญุฏูุซ "ุงูู ุณุฆ ุตูุงุชู" ูุฅู ุงููุจู ๏ทบ ูู ูุฃู ุฑู ุจุชูุจูุฑุงุช ุงูุงูุชูุงูุงุช ูุฃู ุฑู ุจุชูุจูุฑุฉ ุงูุฅุญุฑุงู ูุฃู ุง ูุนูู ๏ทบ ูู ุญู ูู ุนูู ุงูุงุณุชุญุจุงุจ ุฌู ุนุง ุจูู ุงูุฃุฏูุฉ
“Dalil kami terhadap pendapat Ahmad (yang mewajibkan) adalah hadits tentang orang yang buruk shalatnya, bahwa Nabi ๏ทบ tidak memerintahkannya untuk bertakbir dalam setiap perpindahan, melainkan hanya memerintahkan takbiratul ihram. Adapun perbuatan Nabi ๏ทบ yang melakukan takbir di setiap gerakan, kami pahami sebagai sunnah, demi menggabungkan antara seluruh dalil.”[1]
Beliau rahimahullah juga berkata :
ุซู ูุฑูุน ุฑุฃุณู ูุณูุชุญุจ ุงู ูููู ุณู ุน ุงููู ูู ู ุญู ุฏู.. ููุณุชุญุจ ุงู ูุฑูุน ูุฏูู ุญุฐู ู ููุจูู ูู ุงูุฑูุน
“Kemudian ia mengangkat kepalanya dari rukuk, dan disunnahkan untuk mengucapkan: “Sami‘allahu liman แธฅamidah”.. Dan disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya ketika bangkit dari rukuk.”[2]
๐ฎ. ๐ ๐ฒ๐น๐ฒ๐๐ฎ๐ธ๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ถ ๐ฎ๐๐ฎ๐ ๐น๐๐๐๐
Abu Humaid radhiyallahu’anhu berkata :
ุฃََูุง ُْููุชُ ุฃَุญَْูุธَُูู ْ ِูุตََูุงุฉِ ุฑَุณُِูู ุงَِّููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ، ุฑَุฃَْูุชُُู ุฅِุฐَุง َูุจَّุฑَ ุฌَุนََู َูุฏَِْูู ุญِุฐَุงุกَ ู َِْููุจَِْูู، َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ ุฃَู ََْูู َูุฏَِْูู ู ِْู ุฑُْูุจَุชَِْูู
“Aku adalah orang yang paling hafal tentang shalat Rasulullah ๏ทบ. Aku melihat beliau, ketika bertakbir, meletakkan kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya. Dan ketika ruku’, beliau meletakkan kedua tangannya dengan kuat di atas kedua lututnya.” (HR. Bukhari)
Sedangkan dalam riwayat Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu :
ََููุฑَّุฌَ ุจََْูู ุฃَุตَุงุจِุนَُู ู ِْู َูุฑَุงุกِ ุฑُْูุจَุชَِْูู..
“Dan beliau merenggangkan jari-jarinya dari belakang lututnya.” (HR.Ahmad)
Al imam Syafi’i rahimahullah berkata :
ูุฅู ูุงู ุตุญูุญ ุงููุฏูู ููู ูุถุน ูุฏูู ุนูู ุฑูุจุชูู ููุฏ ุฃุณุงุก ููุง ุดูุก
“Jika seseorang sehat kedua tangannya tetapi tidak meletakkan kedua tangannya di atas lutut, maka ia telah berbuat sesuatu yang kurang baik, namun tidak apa-apa (shalatnya sah).”[3]
๐ฏ. ๐ ๐ฒ๐บ๐ฏ๐ฎ๐ฐ๐ฎ ๐ฑ๐๐ถ๐ธ๐ถ๐ฟ
Disunnahkan bagi seseorang untuk membaca dzikir yang ia mampu di dalam rukuknya. Secara umum disunnahkan mengagungkan Allah Ta‘ala dengan tasbih ketika rukuk, sebagaimana sabda Nabi ๏ทบ dalam hadits Ibnu ‘Abbas :
َูุฃَู َّุง ุงูุฑُُّููุนُ َูุนَุธِّู ُูุง ِِููู ุงูุฑَّุจَّ -ุนَุฒَّ َูุฌََّู
“Adapun rukuk, maka agungkanlah Rabb ‘Azza wajalla di dalamnya.” (HR. Muslim)
Dan tentu yang paling utama adalah berpegang pada lafadz-lafadz dzikir yang telah disebutkan dan diajarkan oleh Nabi ๏ทบ, diantaranya adalah :
ุณُุจْุญَุงَู ุฑَุจَِّู ุงْูุนَุธِْูู ِ َูุจِุญَู ْุฏِِู
“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung dan kami memujinya.” (HR. Ibnu Majah)
ุณُุจْุญَุงَู ุฑَุจَِّู ุงْูุนَุธِْูู ِ
“Maha Suci Tuhanku Yang Maha Agung.” (HR. Abu Daud)
ุณُุจْุญَุงََูู ุงَُّูููู َّ ุฑَุจََّูุง َูุจِุญَู ْุฏَِู، ุงَُّูููู َّ ุงุบِْูุฑْ ِูู
“Mahasuci Engkau ya Allah, Tuhan kami. Segala puji bagi Mu wahai Tuhanku. Ampunilah dosaku.” (HR. Ahmad)
ุณُุจُّูุญٌ ُูุฏُّูุณٌ ุฑَุจُّ ุงْูู َูุงَุฆَِูุฉِ َูุงูุฑُّูุญِ
“Maha bersih dan maha suci (Engkau), Tuhan malaikat dan roh (mailakat Jibril).” (HR. Ahmad)
ุงَُّูููู َّ ََูู ุฑََูุนْุชُ َูุจَِู ุขู َْูุชُ َََููู ุฃَุณَْูู ْุชُ ุฎَุดَุนَ ََูู ุณَู ْุนِู َูุจَุตูุฑู َูู ُุฎِّู َูุนَุธْู ِู َูุนَุตَุจِู
“Ya Allah, bagiMu aku rukuk, kepadaMu aku beriman, dan hanya kepadaMu aku berserah. Tunduklah untukMu pendengaranku, penglihatanku, otakku, tulang-tulangku, dan urat-uratku.” (HR. Syafi’i)
ุณُุจْุญَุงََูู َูุจِุญَู ْุฏَِู ุฃَุณْุชَุบِْูุฑَُู َูุฃَุชُูุจُ ุฅََِْููู
“Mahasuci Engkau. Segala puji bagi Mu. Aku memohon ampunan kepada Mu. Aku bertobat kepada Mu.” (HR. Muslim)
ุณุจุญุงَู ุฐِู ุงูุฌَุจَุฑُูุชِ َูุงูู ََูููุชِ َูุงِููุจْุฑِูุงุกِ َูุงูุนَุธَู َุฉِ
“Maha Suci Pemilik Kekuasaan yang Agung, Kerajaan, Keagungan, dan Kebesaran.” (HR. Ahmad)
Dalam madzhab Syafi’i bacaan yang paling afdhal ketika rukuk adalah dengan membaca tasbih subahanarabbiyal ‘adzimi” atau ditambah lagi dengan lafadz “wabihamdih” sebanyak tiga kali. Bahkan itu dianggap lebih utama dari seseorang yang menggabungkan dua bacaan dengan meninggalkan membaca tasbih tiga kali ini. Dan bagi imam tidak disunnahkan untuk memperbanyak bacaan tasbih, ia cukup membacanya sebanyak tiga kali.[4]
๐ฐ. ๐ ๐ฒ๐ป๐ท๐ฎ๐๐ต๐ธ๐ฎ๐ป ๐ธ๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ ๐๐ถ๐ธ๐๐ป๐๐ฎ ๐ฑ๐ฎ๐ฟ๐ถ ๐น๐ฎ๐บ๐ฏ๐๐ป๐ด๐ป๐๐ฎ
Maksudnya adalah menjauhkan kedua tangannya dari kedua sisi tubuhnya, sebagaimana hal ini disebutkan dalam sebuah hadits:
ุซُู َّ ุฑََูุนَ َูุฌَุงَูู َูุฏَِْูู ََููุถَุนَ َูุฏَِْูู ุนََูู ุฑُْูุจَุชَِْูู ََููุฑَّุฌَ ุจََْูู ุฃَุตَุงุจِุนَُู... ููุงู: ََููุฐَุง ุฑَุฃَْูุชُ ุฑَุณُُْูู ุงِููู ๏ทบ ُูุตَِّูู
“Kemudian beliau ruku’, menjauhkan kedua tangannya (dari badannya), meletakkan kedua tangannya di atas lututnya, dan merenggangkan jari-jarinya… lalu ia berkata: ‘Demikianlah aku melihat Rasulullah ๏ทบ shalat.’” (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Al imam Nawawi rahimahullah berkata :
ููุง ุฃุนูู ูู ุงุณุชุญุจุงุจูุง ุฎูุงูุง ูุฃุญุฏ ู ู ุงูุนูู ุงุก ููุฏ ููู ุงูุชุฑู ุฐู ุงุณุชุญุจุงุจูุง ูู ุงูุฑููุน ูุงูุณุฌูุฏ ุนู ุฃูู ุงูุนูู ู ุทููุง
“Aku tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tentang kesunnahan hal ini. At Tirmidzi telah menukil bahwa para ulama secara umum menganjurkan dalam rukuk dan sujud.”[5]
Al imam ar Ruyani rahimahullah berkata :
ูุงูุฑุฌู ูุฌุงูู ู ุฑูููู ุนู ุฌูุจูู ุฑุงูุนًุง ูุณุงุฌุฏًุง، ูููู ุจุทูู ุนู ูุฎุฐูู ุณุงุฌุฏًุง، ูุงูู ุฑุฃุฉ ุชุถู ู ุฑููููุง ุฅูู ุฌูุจููุง، ููุง ุชูู ุจุทููุง ุนู ูุฎุฐููุง ูุฃููุง ุนูุฑุฉ، ููุฐุง ุฃุณุชุฑ ููุง.
“Maka bagi laki-laki ia menjauhkan kedua sikunya dari kedua sisi tubuhnya ketika rukuk dan sujud, dan ia mengangkat (menjauhkan) perutnya dari kedua pahanya ketika sujud.
Adapun perempuan, ia merapatkan kedua sikunya ke kedua sisi tubuhnya, dan ia tidak mengangkat perutnya dari kedua pahanya, karena (tubuhnya) adalah aurat, dan demikian itu lebih menjaga kehormatannya.”[6]
Demikian juga disebutkan :
ููุณู ูุฐูุฑ ุงู ูุฌุงูู ู ุฑูููู ุนู ุฌูุจูู، ูุจุทูู ุนู ูุฎุฐูู، ูู ุงูุฑููุน ูุงูุณุฌูุฏ. ููุบูุฑู ุงู ูุถู ูููู ุง ุจุนุถู ูุจุนุถ
“Dan disunahkan bagi laki-laki untuk menjauhkan kedua sikunya dari kedua sisi tubuhnya, dan menjauhkan perutnya dari kedua pahanya dalam rukuk dan sujud. Sedangkan bagi selain laki-laki (yakni perempuan), disunahkan untuk merapatkan anggota tubuhnya dalam keduanya.”[7]
Dalil untuk kalangan wanita agar merapatkan tangannya ini dalam beberapa gerakan shalat termasuk rukuk adalah adanya sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah ๏ทบ pernah melewati dua orang wanita yang sedang sujud kemudian beliau mengatakan:
ุฅِุฐَุง ุณَุฌَุฏْุชُู َุง َูุถُู َّุง ุจَุนْุถَ ุงَّููุญْู ِ ุฅَِูู ุงْูุฃَุฑْุถِ َูุฅَِّู ุงْูู َุฑْุฃَุฉَ َْููุณَุชْ ِูู ุฐََِูู َูุงูุฑَّุฌُِู
“Apabila kalian berdua sujud maka tempelkanlah bagian tubuh satu sama lainnya ke tanah, karena dalam masalah itu (sujud) wanita berbeda dengan laki-laki.” (HR. Abu Dawud)
๐ฑ. ๐ ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ฟ๐ฎ๐ต๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฝ๐ฎ๐ป๐ฑ๐ฎ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ธ๐ฒ ๐๐ฒ๐บ๐ฝ๐ฎ๐ ๐๐๐ท๐๐ฑ
Posisi ini didapatkan dengan tidak terlalu mengangkat kepala dan tidak pula menundukkannya. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits riwayat ummul mukminin Aisyah radhiyallahu’anha :
َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงَِّููู ุตูู ุงููู ุนููู ูุณูู ุฅุฐَุง ุฑََูุนَ َูู ْ َูุฑَْูุนْ ุฑَุฃْุณَُู، ََููู ْ ُูุตَِّูุจُْู ََِْูููู ุจََْูู ุฐََِูู
“Ketika Rasulullah ๏ทบ rukuk, beliau tidak mengangkat kepala, dan tidak menundukkan sepenuhnya, tetapi berada di antara keduanya.”(Muttafaqun ‘alaih)
Kesunnahan mengarahkan pandangan mata ke tempat sujud ini juga bisa dipahami dari keumuman dalil riwayat sayidina Anas bin Malik saat bertanya kepada Nabi ๏ทบ :
َูุง ุฑَุณَُูู ุงِููู، ุฃََْูู ุฃَุถَุนُ ุจَุตَุฑِู ِูู ุงูุตََّูุงุฉِ؟ َูุงَู ุนِْูุฏَ ู َْูุถِุนِ ุณُุฌُูุฏَِู َูุง ุฃََูุณُ
“Anas berkata: Wahai Rasulullah, kemana aku arahkan pandanganku ketika shalat? Rasulullah menjawab: ke arah tempat sujudmu wahai Anas.” (HR. Baihaqi)
Al imam Ibnu Rif’ah rahimahullah berkata :
ุซู ุธุงูุฑ ูุฐุง ุฃูู ูุง ูุฑู ููู ุจูู ุญุงู ุงูููุงู ูุงูุฑููุน ูุงูุณุฌูุฏ ูุงูุฌููุณ، ููู ุงูู ุฐูุจ.
“Dari dzahir hadits ini tampak bahwa tidak ada perbedaan dalam arah pandangan itu antara keadaan berdiri, rukuk, sujud, maupun duduk, dan itulah pendapat yang menjadi madzhab (Syafi‘i)."[8]
๐ฒ. ๐ ๐ฒ๐น๐๐ฟ๐๐๐ธ๐ฎ๐ป ๐ฝ๐๐ป๐ด๐ด๐๐ป๐ด
Telah diriwayatkan dari Abu Humaid as Sa‘di radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah ๏ทบ :
َูุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ ุฃَู ََْูู َูุฏَِْูู ู ِْู ุฑُْูุจَุชَِْูู، ุซُู َّ َูุตุฑ ุธَْูุฑَُู
“Ketika rukuk, beliau meletakkan tangannya dengan kuat di atas lututnya, kemudian meluruskan punggungnya.” (HR. Bukhari)
Makna “meluruskan punggungnya” adalah menegakkan punggung dalam keadaan rata tanpa membungkuk berlebihan.[9] Hingga disebutkan dalam hadits :
َูุงَู ุงَّููุจُِّู ๏ทบ ุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ َْูู ُูุถِุนَ َูุฏَุญٌ ู ِْู ู َุงุกٍ ุนََูู ุธَْูุฑِِู َูู ْ َُููุฑَุงْู
“Jika Rasulullah ๏ทบ sedang rukuk, andaikan diletakkan wadah berisi air di atas punggungnya, tidak akan tumpah.” (HR. Ahmad)
Al imam Nawawi rahimahullah berkata :
ูุฃูู ูู ุชุณููุฉ ุธูุฑู ูุนููู ููุตุจ ุณุงููู ูุฃุฎุฐ ุฑูุจุชูู ุจูุฏูู
“Kesempurnaan rukuk adalah dengan meluruskan punggung dan leher, menegakkan kedua kakinya, memegang lutut dengan tangannya.”[10]
๐ณ. ๐๐ฒ๐ฟ๐๐ถ๐ธ๐ฎ๐ฝ ๐๐ฒ๐ป๐ฎ๐ป๐ด
Kesunnahan ini dipahami dari hadits sebelumnya, “Jika Rasulullah ๏ทบ sedang rukuk, andaikan diletakkan wadah berisi air di atas punggungnya, tidak akan tumpah.” (HR. Ahmad)
Karena hal tersebut hanya mungkin diraih selain punggung beliau yang datar badan beliau juga tidak bergerak-gerak dan tidak melakukan gerakan yang terburu-buru.
๐ด. ๐๐ฒ๐๐ถ๐ธ๐ฎ ๐ฏ๐ฎ๐ป๐ด๐ธ๐ถ๐ ๐บ๐ฒ๐ด๐๐ฐ๐ฎ๐ฝ๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐ฎ๐บ๐ถ’๐ฎ๐น๐น๐ฎ๐ต
Dari Ibnu Abi Aufa radhiyallahu’anhu ia berkata :
َูุงَู ุฑَุณُُูู ุงِููู ๏ทบุฅِุฐَุง ุฑََูุนَ ุธَْูุฑَُู ู َِู ุงูุฑُُّููุนِ َูุงَู: ุณَู ِุนَ ุงُููู ِูู َْู ุญَู ِุฏَُู
“Adalah Rasulullah ๏ทบ jika beliau bangkit dari rukuk beliau membaca : Sami’allahu liman Hamidah.” (HR. Muslim)
Al imam Nawawi rahimahullah berkata :
ุซู ูุฑูุน ุฑุฃุณู ูุณูุชุญุจ ุงู ูููู ุณู ุน ุงููู ูู ู ุญู ุฏู.. ููุณุชุญุจ ุงู ูุฑูุน ูุฏูู ุญุฐู ู ููุจูู ูู ุงูุฑูุน.. ูุฅุฐุง ุงุณุชูู ูุงุฆู ุง ุงุณุชุญุจ ุฃู ูููู ุฑุจูุง ูู ุงูุญู ุฏ ู ูุก ุงูุณู ูุงุช ูู ูุก ุงูุงุฑุถ ู ูุก ู ุง ุดุฆุช ู ู ุดุฆ ุจุนุฏ
“Kemudian ia mengangkat kepalanya dari rukuk, dan disunnahkan untuk mengucapkan: “Sami‘allahu liman แธฅamidah”.. Dan disunnahkan pula untuk mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya ketika bangkit dari rukuk.
Dan setelah berdiri tegak, disunnahkan untuk mengucapkan: “Rabbana laka al แธฅamd, mil’u us samawati wa mil’u ul arแธ, wa mil’u ma shi’ta min syai’in ba‘d.”[11]
SIlahkan untuk membaca tulisan lengkapnya di tulisan kami : ๐ ๐ฒ๐บ๐ฎ๐ต๐ฎ๐บ๐ถ ๐ฟ๐๐ธ๐๐ป ๐ฆ๐ต๐ฎ๐น๐ฎ๐ ๐บ๐ฎ๐ฑ๐๐ต๐ฎ๐ฏ ๐ฆ๐๐ฎ๐ณ๐ถ’๐ถ di AST Official.
Wallahu a’lam.
________________
[1] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/397)
[2] Majmu’Syarh al Muhadzdzab (3/450)
[3] Al Umm (1/134)
[4] Nihayatul Mathlab (6/159), I’anah ath Thalibin (1/183).
[5] Majmu’ Syarh al Muhadzdzab (3/410)
[6] Bahrul Madzhab (2/84)
[7] I’anah ath Thalibin (1/183)
[8] Kifayatun Nabih (3/99)
[9] Al Mughni (1/360)
[10] Minhaj ath Thalibin hlm. 26
[11] Majmu’Syarh al Muhadzdzab (3/450)
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq