
Perbandingan Manhaj dan Akidah Ulama: Mengurai Perbedaan Mazhab, Salaf, dan Ahlussunnah
Mengurai Dikotomi Mazhab, Salaf, dan Ahlussunnah dalam Khazanah Teologis.
Perpecahan yang sering terjadi di kalangan umat Islam bukanlah soal perbedaan keyakinan dasar (seperti keesaan Allah), melainkan pada metode memahami teks suci (Manhaj) dan cara menafsirkan sifat-sifat Tuhan (Akidah). Memahami dikotomi antara Manhaj dan Akidah adalah kunci untuk memelihara kedewasaan beragama.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh ulama, Manhaj lebih luas dan mencakup Akidah. Akidah adalah pondasi keimanan yang wajib diyakini hati (ushul), sementara Manhaj adalah metodologi menyeluruh yang mengatur cara seseorang berdalil, beribadah, berinteraksi sosial, dan bersikap terhadap keragaman.
Melalui ulasan mendalam ini, akan dibedah perbandingan pandangan ulama dalam Akidah dan Manhaj, sekaligus menyoroti etika perbedaan yang wajib dijunjung tinggi.
Perbedaan Mendasar dalam Akidah (Pokok Keyakinan)
Perdebatan paling krusial dalam sejarah Islam adalah mengenai Tauhid Asma wa Sifat (keyakinan terhadap Nama dan Sifat Allah), terutama terkait Sifat Mutasyabihat (sifat yang samar) seperti Tangan Allah (Yad), Wajah Allah (Wajh), atau Bersemayam di atas Arsy (Istiwa').
A. Klasifikasi Tauhid: Perbedaan Sudut Pandang
Mayoritas ulama kontemporer membagi Tauhid menjadi tiga jenis (Rububiyah, Uluhiyah, dan Asma wa Sifat) untuk memudahkan pemahaman dan bantahan terhadap syirik. Perbedaan terletak pada penekanan.
- Tauhid Rububiyah: Keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Pencipta, Pengatur, dan Pemberi Rezeki. Ini adalah ranah yang hampir disepakati oleh semua aliran Islam.
- Tauhid Uluhiyah: Keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya yang berhak disembah (Ma'bud). Perbedaan muncul ketika Tauhid Uluhiyah dikaitkan dengan amalan di luar ibadah formal.
- Tauhid Asma wa Sifat: Keyakinan terhadap Nama dan Sifat Allah. Inilah area utama perdebatan Akidah.
B. Pendekatan Tanzih (Mazhab Asy'ariyyah & Maturidiyyah)
Pendekatan ini dianut oleh mayoritas ulama Ahlussunnah Wal Jamaah (Aswaja) dari kalangan Khalaf (generasi belakangan).
- Prinsip Inti: Menyucikan Allah (Tanzih) dari segala penyerupaan dengan makhluk (tasybih) secara mutlak. Prinsipnya adalah menjaga keimanan berdasarkan firman-Nya: "Laysa ka mitslihi shay’un" (Tidak ada sesuatu pun yang menyerupai-Nya – QS. Asy-Syura: 11).
-
Metode Implementasi:
- Ta'wil (Interpretasi): Menafsirkan secara majas sifat-sifat yang ambigu. Contoh: Menafsirkan Yadullah (Tangan Allah) sebagai Kekuatan atau Kekuasaan.
- Tafwidh (Menyerahkan Hakikat): Mengimani lafaz sifat tersebut apa adanya, namun menyerahkan hakikat dan kaifiat (bagaimana wujudnya) sepenuhnya kepada Allah. Ini adalah metode yang juga diakui dan diamalkan oleh sebagian ulama Salaf terdahulu.
C. Pendekatan Itsbat (Mazhab Salaf/Atsariyyah)
Pendekatan ini didasarkan pada pemahaman literal teks dengan penegasan bahwa Sifat Allah wajib ditetapkan (itsbat) tanpa menyerupakan.
- Prinsip Inti: Mengimani sifat Allah sesuai dengan teks Al-Qur'an dan Hadis, bi laa kayf wa laa tasybih (tanpa mempertanyakan bagaimana wujudnya dan tanpa menyerupakannya dengan makhluk). Hal ini sejalan dengan Definisi Iman Menurut Asyariyah dan Kaitannya Dengan Definisi Ulama Salaf.
- Isu Ta'wil di Kalangan Salaf: Meskipun pendekatan ini menolak Ta'wil, penelitian terhadap kitab klasik, termasuk pembahasan Akidah Tanzih Ulama Hanabilah Sebelum Ibnu Taymiyah dan Seri Takwil yang Dilakukan Ulama Salaf, menunjukkan bahwa praktik Ta'wil Ijmali (interpretasi ringkas) atau Tafwidh adalah sikap kehati-hatian yang juga dianut oleh ulama Salaf. Intinya, penolakan pada Ta'wil yang berlebihan yang dianggap menyalahi kaidah.
Inti perdebatan di sini bukanlah mengenai keyakinan dasar, melainkan pada metode yang paling selamat dalam memahami Sifat Allah yang mutasyabihat.
Perbedaan Mendasar dalam Manhaj (Metodologi Beragama)
Manhaj berfokus pada bagaimana ulama melakukan istinbath (menarik hukum) dan bagaimana mereka menyikapi inovasi dalam agama (bid'ah) serta perbedaan pendapat (khilafiyah).
A. Manhaj Ijtihad Mazhab (Fiqh Tradisional)
Ini adalah metodologi yang dianut oleh Mazhab Fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi'i, Hanbali) dan ulama Aswaja.
- Keterikatan pada Kaidah: Manhaj ini fokus pada Taqlid (mengikuti) kaidah yang sudah terstruktur. Ulama Mazhab memahami Al-Qur'an dan Sunnah melalui kaidah Ushul Fiqh yang telah distandarisasi dan teruji ribuan tahun.
- Sikap terhadap Bid'ah: Menggunakan konsep Pembagian Bid'ah, yaitu membedakan Bid'ah Dhalalah (sesat) dari Bid'ah Hasana (baik, yang memiliki dasar syariat umum atau manfaat). Ini memungkinkan adanya Amalan Nisfu Sya'ban atau Maulid yang memiliki pijakan dalil meskipun tidak dilakukan Nabi secara eksplisit.
- Filosofi: Menekankan stabilitas hukum. Ulama Muslim Indonesia Pengikut Ulama Syafiiyah, Bukan Imam Syafi’i? berprinsip bahwa mengikuti metodologi Mazhab lebih menjaga umat dari talfiq (mencampur aduk) pendapat tanpa kaidah yang benar.
B. Manhaj Tarjih/Kaidah (Fiqh Modernis/Salafiyyah)
Metode ini cenderung mendorong ijtihad independen dan langsung melakukan tarjih (memilih dalil terkuat) dari berbagai pandangan, tanpa terikat pada satu Mazhab tunggal.
- Akurasi Dalil: Fokus utama adalah shahihnya dalil (hadis). Manhaj ini dicirikan oleh Perbedaan Pengambilan Dalil Di Internal Ulama Salafi itu sendiri, di mana setiap ulama dapat melakukan tarjih yang berbeda, bahkan terhadap sesama ulama dalam aliran yang sama.
- Sikap terhadap Bid'ah: Cenderung menggunakan kaidah "Kullu bid'atin dhalalah" (setiap bid'ah adalah sesat) secara literal dan menolak pembagian bid'ah, sehingga amaliyah yang tidak dilakukan Nabi dan Sahabat secara eksplisit dianggap bid'ah.
Etika Perbedaan Ulama dan Konsolidasi Umat
Perbedaan Akidah dan Manhaj adalah sunnatullah dalam khazanah Islam. Namun, yang merusak adalah etika berdebat yang buruk.
A. Menjauhi Fanatisme dan Saling Mencela
Sikap seorang Muslim haruslah menjauhi fanatisme buta yang mengarah pada pengkafiran. Fenomena seperti Parade Ucapan Buruk Ulama Salafi Wahabi Kepada Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah adalah contoh ekstrem etika yang melanggar adab ikhtilaf. Kita wajib menghormati ulama dari semua mazhab yang memiliki integritas dan kedalaman ilmu. Umat dianjurkan untuk mengikuti Sikap Umat Ketika Ulama Berbeda Gaya dan Pendapat dengan memuliakan ilmu, tanpa harus menanggapi setiap kritik pedas satu ulama ke ulama lainnya.
B. Waspada Klaim Konsensus (Ijma')
Dalam menghadapi isu-isu yang sulit, sering muncul klaim bahwa "semua ulama sepakat" atau "Ijma' Ulama." Penggunaan ide Klaim Ulama Sepakat, Semudah Itukah? harus diterapkan. Mayoritas perbedaan pendapat (khilafiyah) fiqh, seperti masalah hukum Hutang Berbunga atau Ziarah Wali, sesungguhnya memiliki landasan dalil yang diakui dan telah diperdebatkan selama berabad-abad. Oleh karena itu, klaim Ijma' (konsensus) pada masalah furu' (cabang) harus diteliti secara ketat.
C. Prioritas: Mengikuti Ulama Lurus (Ulama Akhirat)
Perdebatan tentang Akidah dan Manhaj akan selalu ada. Tugas umat adalah membedakan antara Ulama Akhirat dan Ulama Dunia (sebagaimana tersirat dalam judul Kriteria Ulama Yang Diikuti).
- Ulama Akhirat: Fokus pada ilmu yang murni, ketaqwaan, dan kehati-hatian. Mereka berfungsi sebagai penerjemah dalil (Manhaj) dan pemandu Akidah agar umat tidak terjerumus pada ekstremitas.
- Ulama Dunia: Menggunakan ilmu untuk kepentingan duniawi, kekuasaan, atau membenarkan penguasa yang zalim.
Ketaatan kepada Ulama adalah ketaatan bersyarat yang berada di bawah ketaatan mutlak kepada Allah dan Rasul-Nya. Umat harus berpegang pada prinsip Pilih Hadis Nabi Apa Pendapat Ulama? dengan pemahaman bahwa pendapat ulama adalah alat untuk memahami hadis Nabi secara benar dan kontekstual.
Kesimpulan:
Memahami perbandingan Manhaj dan Akidah mengajarkan kita bahwa Islam memiliki keluasan dalam metodologi (Manhaj) dan ketegasan dalam pokok keyakinan (Akidah). Pilar persatuan umat terletak pada pengakuan terhadap keragaman mazhab teologi (Aswaja, Salaf) selama mereka berpegang teguh pada ushul yang disepakati. Dengan menjadikan pemahaman yang mendalam dan objektif sebagai landasan, umat Islam dapat mengapresiasi keragaman pandangan ulama, sambil tetap bersatu di atas kalimat tauhid yang sama. Inilah kunci untuk menciptakan umat yang kuat, kritis, dan dewasa dalam beragama.
Sumber : Kajian Ulama kategori ulama