Mengapa Ulama Berbeda dalam Menentukan Bid'ah dan Perkara Kontroversial?

Membedah Polemik Fikih: Mengapa Ulama Berbeda dalam Menentukan Bid'ah dan Perkara Kontroversial?

Memahami Konsep Bid'ah dalam Kacamata Fikih

​Diskusi mengenai Bid'ah (inovasi dalam urusan agama) seringkali menjadi salah satu sumber konflik terpanas di kalangan umat Islam. Namun, di balik perdebatan yang intens, ada perbedaan mendasar dalam metodologi para ulama dalam mendefinisikan, mengklasifikasikan, dan menyikapi sebuah praktik baru.

​Artikel ini bertujuan memberikan kejelasan dan otoritas (E-A-T) dengan mengupas pandangan Jumhur Ulama (mayoritas ulama) mengenai klasifikasi bid'ah. Kita akan menelaah bagaimana perbedaan metodologis, termasuk dalam penggunaan Hadits Dhaif dan penetapan dalil, melahirkan pandangan yang beragam dalam masalah kontroversial seperti perayaan Maulid Nabi atau hukum alat musik.

​1. Pembagian Bid'ah Menurut Jumhur Ulama

​Para ulama, terutama dari kalangan Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja), membagi bid'ah berdasarkan dampaknya terhadap syariat, berbeda dengan pandangan literal yang menganggap semua inovasi adalah sesat.

Jumhur Ulama (termasuk Imam Syafi'i dan murid-muridnya) cenderung mengklasifikasikan bid'ah ke dalam hukum-hukum fikih yang lima (al-ahkam al-khamsah).

  1. Bid'ah Wajibah: Inovasi yang wajib dilakukan untuk menjaga syariat (misalnya, pembukuan ilmu Ushul Fiqih atau penyusunan Mushaf Al-Qur'an secara formal).
  2. Bid'ah Mandubah: Inovasi yang dianjurkan (sunnah) karena membawa kebaikan (maslahah) bagi umat (misalnya, shalat Tarawih berjamaah secara kontinu yang dimulai di masa Khalifah Umar).
  3. Bid'ah Mubahah: Inovasi yang diperbolehkan (misalnya, membuat mihrab di masjid, variasi dalam desain mimbar).
  4. Bid'ah Makruhah: Inovasi yang dibenci namun tidak haram (misalnya, berlebihan dalam ornamen masjid atau berpuasa berlebihan hingga menyiksa diri).
  5. Bid'ah Muharramah: Inovasi yang diharamkan dan menyesatkan, yaitu hal yang bertentangan secara frontal dengan nash (dalil) Al-Qur'an atau Sunnah yang qath'i (pasti) (misalnya, ajaran sesat yang mengingkari rukun iman).

​Pembagian ini menunjukkan bahwa ulama menggunakan kaidah Ushul Fiqih untuk menilai Bid'ah, bukan hanya sekadar absennya praktik tersebut di masa Nabi Muhammad ﷺ.

​2. Perbedaan Metodologi Dalam Penentuan Hukum

​Perbedaan pendapat ulama dalam menentukan apakah suatu praktik adalah bid'ah atau bukan seringkali berakar pada dua perbedaan metodologi kunci:

​A. Pengamalan Hadits Dhaif (Lemah)

  • Pandangan Jumhur: Mayoritas ulama (Jumhur) memperbolehkan mengamalkan Hadits Dhaif dalam masalah fadhail al-a’mal (keutamaan amal), selama hadis tersebut tidak berkaitan dengan masalah akidah atau hukum qath'i (pasti), dan selama amalan tersebut memiliki dasar umum dalam syariat.
  • Dampaknya pada Bid'ah: Ketika suatu amalan didukung oleh Hadits Dhaif, sebagian ulama memasukkannya ke dalam Bid'ah Mandubah (dianjurkan) atau Mubahah (dibolehkan) karena adanya unsur fadhail (keutamaan), sementara ulama lain yang menolak semua Hadits Dhaif akan menganggapnya sebagai Bid'ah Muharramah karena tidak memiliki sandaran shahih.

​B. Dalil Zhanni (Spekulatif) dan Kaidah Maslahah

​Ketika suatu praktik hukumnya tidak jelas (zhanni), ulama berpegangan pada kaidah Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum). Perbedaan dalam menilai kemaslahatan inilah yang melahirkan perbedaan hukum pada isu-isu kontroversial.

​3. Penerapan: Polemik Maulid Nabi dan Musik

​Konsep metodologis di atas menjadi kunci untuk mencari titik temu perbedaan dalam isu-isu kontroversial:

  • Perayaan Maulid Nabi: Sebagian ulama mengumpulkan Dalil dan Kumpulan Fatwa Ulama atas Kebolehannya Merayakan Maulid Nabi sebagai Bid'ah Hasanah (terpuji). Mereka berargumen bahwa meskipun tidak ada pada masa Nabi, praktik ini mengandung maslahah (kemaslahatan) besar dalam menghidupkan kecintaan pada Nabi dan memiliki dasar umum dalam syariat (yaitu mencintai Nabi). Ulama yang melarangnya melihatnya sebagai inovasi yang tidak ada contohnya di masa Salaf.
  • Hukum Alat Musik: Perbedaan pendapat dalam masalah permainan alat musik juga muncul dari perbedaan interpretasi teks Hadis yang terkesan bertentangan. Sebagian ulama memandang musik secara umum haram karena Hadis yang melarangnya, sementara ulama lain (berdasarkan Hadis lain) membedakan jenis-jenis alat musik dan niat penggunaannya (termasuk Ulama yang Gemar Musik), sehingga menetapkan hukumnya sebagai Mubah (boleh) atau Makruh (dibenci) untuk jenis tertentu.

Prioritas Umat Islam

​Perbedaan dalam masalah bid'ah dan furu' lainnya adalah bagian tak terpisahkan dari ilmu fikih. Daripada menghabiskan energi untuk saling menyalahkan, kita harus merujuk pada Jumhur Ulama dan otoritas mazhab yang terpercaya.

Adab terbaik kita adalah:

  1. Hormati Metodologi: Akui bahwa setiap pendapat, baik yang melarang Maulid atau membolehkannya, memiliki sandaran ilmiah.
  2. Fokus pada Akidah: Jadikan Bid'ah Muharramah (yang merusak akidah) sebagai fokus utama yang harus dihindari, bukan Bid'ah Fikih yang masih diperdebatkan.

​Dengan mendahulukan pemahaman dan adab, kita akan mampu menjaga persatuan umat di tengah keragaman metodologi fikih.

Sumber Artikel :

Sumber : Kajian Ulama kategori ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mengapa Ulama Berbeda dalam Menentukan Bid'ah dan Perkara Kontroversial? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®