Hormat Santri pada Kiai: Antara Adab dan Tuduhan Feodalisme

Hormat Santri pada Kiai: Antara Adab dan Tuduhan Feodalisme

Hormat Santri pada Kiai: Antara Adab dan Tuduhan Feodalisme

_____

Kalau ada santri nunduk hormat ke kiainya, langsung dibilang berlebihan, menyembah, perbudakan, bahkan dituduh feodal.

Tapi kalau ada fans nangis jingkrak-jingkrak sampai pingsan cuma gara-gara ketemu idolanya, kok malah dibilang keren dan totalitas. 🤔 Aneh kan?

Orang miskin sampai ndelosor-ndelosor berterima kasih ke artis atau pejabat karena dikasih uang, dianggap wajar.

Pegawai hormat ke bos, pelayan sopan ke majikan, pejabat sungkem ke sesama pejabat yang lebih tinggi jabatannya juga gak ada yang ribut.

Tapi giliran santri hormat ke kiainya yang ngajarin ilmu, akhlak, bahkan mendidik lahir batinnya langsung dicap perbudakan dan feodalisme.

Lucu gak sih? 😅 Ya lucu, karena yang menuduh itu sering gak tahu apa makna adab dalam tradisi ilmu Islam.

Padahal dalam khazanah keilmuan Islam, adab itu bukan tunduk membuta, tapi cerminan dari akhlak yang tertata.

Muhammad Abdullah Darraz dalam Kalimât fî Mabâdi’i ‘Ilmi al-Akhlâq menjelaskan bahwa:

“Al-khuluq huwa at-thab’u wa as-sajiyah”

Akhlak adalah tabiat dan watak alami manusia.

Beliau juga mengutip kalam Ibnu al-Atsir dalam an-Nihâyah:

“حقيقة الخُلُق أنه لصورة الإنسان الباطنة - وهي النفس وأوصافها ومعانيها - بمنزلة الخَلْق لصورته الظاهرة.”

Hakikat akhlak adalah bentuk batin manusia jiwa dan sifat-sifatnya sebagaimana tubuh adalah bentuk lahirnya.

Lalu Abdullah Darraz menambahkan penjelasan penting:

 “فالخُلُق كما قلنا أمر معنوي وهو صفة النفس وسجيتها. أما السلوك فهو أسلوب الأعمال ونهجها وعادتها، وما هو إلا مظهر الخُلُق ومرآته ودليله.”

Akhlak adalah sifat jiwa yang tersembunyi, sedangkan suluk (perilaku lahir) hanyalah cerminan dan indikator dari akhlak itu sendiri.

Maka, kalau akhlak adalah isi hati, adab adalah wajahnya di dunia nyata.

Ketika santri menunduk di depan kiainya, itu bukan tunduk pada manusia, tapi penghormatan terhadap ilmu dan keberkahan yang Allah titipkan melalui gurunya.

Adab bukan simbol perbudakan, tapi ekspresi dari jiwa yang terdidik  tanda bahwa batinnya hidup dan tahu menempatkan diri.

Soal oknum? Jelas semua sepakat  yang salah ya harus diluruskan dan ditindak.

Gak ada satu pun pesantren yang membenarkan penyimpangan dari syariat atau hukum negara, kecuali pesantren “pesantrenan” yang gak jelas sanad keilmuannya.

Tapi jangan gara-gara satu oknum, lantas seluruh dunia pesantren dituduh feodal.

Kadang memang lucu cara sebagian orang berpikir.

Begitu lihat satu kasus di pesantren, langsung teriak “feodalisme!”, “perbudakan!”, “kultus kiai!”.

Padahal cuma lihat potongan video sepuluh detik di media sosial.

Ini contoh klasik dari hasty generalization kesalahan logika ketika seseorang menarik kesimpulan besar dari contoh kecil yang tidak mewakili keseluruhan.

Coba kalau cara berpikir itu dipakai di tempat lain:

Ada satu polisi korup, berarti semua polisi korup?

Ada satu guru kasar, berarti dunia pendidikan rusak?

Ada satu dokter malpraktik, berarti semua dokter jahat?

Ada satu pejabat suap, berarti semua pejabat pengkhianat rakyat?

Nah, sebelum nyinyir ke dunia pesantren, pahami dulu hakikatnya.

Santri nunduk di depan kiainya itu bukan tanda perbudakan, tapi bentuk adab dan rasa hormat.

Yang ngerti adab, gak bakal gagal paham. 🙏

Dan andaikan kubu sebelah juga ikut-ikutan menilai tanpa paham hakikatnya, saya berikan ibarot dari ulama besar mereka sendiri, Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin رحمه الله yang berkata:

“ومن القواعد المعروفة المقررة عند أهل العلم: الحكم على الشيء فرع عن تصوره؛ فلا تحكمْ على شيء إلا بعد أن تتصوره تصوُّرًا تامًّا؛ حتى يكون الحكم مطابقًا للواقع، وإلا حصل خللٌ كبيرٌ جدًّا.

Artinya:

 “Di antara kaidah yang sudah dikenal dan disepakati para ulama adalah: menetapkan hukum atas sesuatu merupakan cabang dari pemahaman terhadapnya. Jangan menghukumi sesuatu sebelum memahami hakikatnya dengan sempurna, agar hukum itu sesuai dengan kenyataan. Jika tidak, akan terjadi kekeliruan besar sekali.”

Maka, andaikan mereka membaca ibarot ini dengan jujur, mestinya mereka sadar bahwa menilai pesantren sebagai “feodal” tanpa memahami hakikatnya, justru bertentangan dengan prinsip ilmiah dan kaidah fiqih yang diakui oleh ulama besar mereka sendiri.

Yang ngerti adab, gak bakal gagal paham. 

Wallahu A'lam.

✏️ Farodisa. 

Sumber FB : Farodisa

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hormat Santri pada Kiai: Antara Adab dan Tuduhan Feodalisme - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®