Mazhab Fiqih: Bukan Perpecahan, Melainkan Upaya Memahami Syariat

Mazhab Fiqih: Bukan Perpecahan, Melainkan Upaya Memahami Syariat

Adanya mazhab fiqih (seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) bukan muncul karena Islam “terpecah”, tapi justru karena umat Islam berusaha memahami Al-Qur’an dan Sunnah dengan sebaik-baiknya di berbagai tempat dan zaman.

Awal Mula: Zaman Nabi ﷺ

Pada masa Rasulullah ﷺ, tidak ada mazhab. Semua hukum langsung dijelaskan oleh beliau. Kalau ada masalah, umat datang langsung bertanya, dan Nabi menjawab berdasarkan wahyu.

Contohnya:

> “Ya Rasulullah, kami menemukan air, bolehkah kami tayammum?”

Rasulullah menjelaskan langsung. Jadi tidak ada perbedaan pendapat, karena sumbernya satu: Rasulullah ﷺ.

Ketika Rasulullah  ﷺ wafat, sahabat-sahabat beliau berpencar ke berbagai wilayah untuk berdakwah dan mengajarkan Islam:

~ Umar bin Khattab di Madinah,

~ Abdullah bin Mas’ud ke Kufah (Irak),

~ Abdullah bin Abbas ke Makkah,

~ Anas bin Malik ke Basrah, dan lain-lain.

Nah, di sinilah mulai muncul perbedaan cara memahami teks Al-Qur’an dan hadits, karena:

Kondisi sosial dan budaya di tiap wilayah berbeda,

Tidak semua hadits tersebar merata,

Beberapa sahabat menggunakan ijtihad (penalaran hukum) ketika tidak menemukan nash yang jelas.

#Lahirnya Mazhab

Dari hasil ijtihad para ulama besar inilah, muncullah mazhab-mazhab fiqih:

1. Mazhab Hanafi – didirikan oleh Imam Abu Hanifah (80–150 H) di Kufah (Irak).

Ciri khasnya: logis, rasional, banyak menggunakan qiyas (analogi).

2. Mazhab Maliki – oleh Imam Malik bin Anas (93–179 H) di Madinah.

Ciri khasnya: kuat bersandar pada ‘amal ahlul Madinah (tradisi masyarakat Madinah di masa Nabi).

3. Mazhab Syafi’i – oleh Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150–204 H).

Beliau menyusun metode ushul fiqih yang sistematis, menyeimbangkan antara nash dan logika.

4. Mazhab Hanbali – oleh Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H) di Baghdad.

Ciri khasnya: sangat ketat berpegang pada hadits, dan berhati-hati dalam menggunakan rasio.

Kenapa Banyak Mazhab?

Karena umat Islam tersebar luas — dari Andalusia (Spanyol) sampai India — dan masing-masing daerah punya realitas sosial yang berbeda, maka perbedaan pendapat ini alami dan wajar.

Yang penting: semua mazhab berangkat dari Al-Qur’an dan Sunnah, hanya berbeda dalam cara memahami dan menafsirkan dalil.

Bagaimana Sikap Kita Sekarang? 

Kita tidak perlu fanatik buta pada satu mazhab, tapi menghormati semuanya, karena semuanya adalah warisan intelektual umat Islam.

Imam asy-Syafi’i pernah berkata:

 “Pendapatku benar tapi mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.”

#bagaimana empat mazhab besar fiqih itu berkembang dan menyebar ke seluruh dunia Islam, sampai akhirnya sampai juga ke Nusantara, termasuk Indonesia? 

 1. Mazhab Hanafi

📖 Pendiri: Imam Abu Hanifah (80–150 H)

📍 Pusat awal: Kufah, Irak

Ciri khas:

Mazhab ini sangat kuat dalam analogi (qiyas) dan ra’yu (penalaran rasional). Ini karena di Kufah waktu itu, tidak banyak hadits yang tersebar dibanding Madinah. Maka murid-murid Imam Abu Hanifah berusaha memahami hukum dengan logika syar’i.

Penyebaran:

Mazhab Hanafi menjadi mazhab resmi Kekhalifahan Abbasiyah karena banyak murid Abu Hanifah yang menjadi qadhi (hakim) di sana.

Kemudian menyebar luas ke:


Asia Tengah (Bukhara, Samarkand)


India dan Pakistan


Turki (sejak masa Daulah Utsmaniyah)


Dan sebagian negeri Arab Timur


 Sekarang:

Mazhab Hanafi paling banyak diikuti oleh umat Islam di Turki, Asia Tengah, Afghanistan, Pakistan, India, dan sebagian Rusia Selatan.


 2. Mazhab Maliki


📖 Pendiri: Imam Malik bin Anas (93–179 H)

📍 Pusat awal: Madinah


Ciri khas:

Imam Malik menjadikan ‘amal ahlul Madinah (praktik penduduk Madinah) sebagai sumber hukum, karena menurut beliau, masyarakat Madinah hidup sesuai sunnah Nabi ﷺ.


Penyebaran:

Mazhab Maliki menyebar ke:


Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya)


Andalusia (Spanyol Muslim)


Sebagian Mesir dan Sudan


Kenapa bisa sampai ke sana?

Karena banyak murid Imam Malik yang pergi berdakwah dan menjadi hakim di wilayah barat Islam (Maghrib & Andalusia).


 Sekarang:

Mazhab Maliki masih dominan di Afrika Barat dan Utara — seperti Maroko, Aljazair, Tunisia, Mauritania, dan sebagian Mesir.


 3. Mazhab Syafi’i


📖 Pendiri: Imam Muhammad bin Idris asy-Syafi’i (150–204 H)

📍 Pusat awal: awalnya Irak, lalu Mesir


Ciri khas:

Imam Syafi’i adalah penyusun metode ushul fiqih pertama, yang menyeimbangkan antara nash (Al-Qur’an & Sunnah) dengan logika (qiyas).

Mazhab beliau moderat — tidak terlalu rasional seperti Hanafi, tapi juga tidak seketat Hanbali.


Penyebaran:

Mazhab Syafi’i menyebar ke:


Mesir (pusat utama setelah wafatnya Imam Syafi’i)


Yaman dan Syam (Suriah)


Afrika Timur (Somalia, Kenya, Zanzibar)


Asia Tenggara — termasuk Indonesia, Malaysia, Brunei, dan sebagian Filipina


Kenapa bisa sampai ke Nusantara?

Karena ulama dan pedagang dari Yaman dan Gujarat (India) datang ke Nusantara membawa Islam sekaligus fiqih Syafi’i.

Makanya hingga kini, Indonesia mayoritas mengikuti mazhab Syafi’i.


 Sekarang:

Mazhab Syafi’i dominan di Indonesia, Malaysia, Brunei, Thailand Selatan, Filipina Selatan, Mesir, Yaman, dan sebagian Afrika Timur.


 4. Mazhab Hanbali


📖 Pendiri: Imam Ahmad bin Hanbal (164–241 H)

📍 Pusat awal: Baghdad, Irak


Ciri khas:

Mazhab ini paling ketat berpegang pada hadits, dan sangat hati-hati dalam menggunakan logika.

Imam Ahmad sendiri dikenal sebagai ahli hadits yang sangat tegas mempertahankan kemurnian sunnah, terutama saat fitnah khalq al-Qur’an (ketika penguasa Abbasiyah memaksakan doktrin bahwa Al-Qur’an adalah makhluk).


Penyebaran:

Awalnya mazhab ini tidak begitu luas karena sikapnya yang sangat ketat. Tapi kemudian berkembang pesat di:


Najd dan Hijaz (Arab Saudi)

karena menjadi mazhab resmi Daulah Saudi sejak abad ke-18, melalui gerakan pembaruan dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.


 Sekarang:

Mazhab Hanbali dominan di Arab Saudi dan sebagian Teluk (Qatar, UEA).


Apa Hikmah dari Banyaknya Mazhab? 


Banyaknya mazhab bukan tanda perpecahan, tapi tanda kekayaan intelektual Islam.

Imam Ibn Taymiyyah berkata:


> “Perbedaan di antara para ulama adalah rahmat bagi umat.


Dan Imam Syafi’i juga mengingatkan:


> “Siapa pun yang menganggap semua perbedaan itu harus disatukan, berarti ia tidak mengenal hakikat agama.”


Artinya, Islam memberi ruang bagi ijtihad — asal tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah.


. Apakah Mazhab-Mazhab Itu Bertentangan?

Tidak. Sama sekali tidak bertentangan dalam pokok ajaran Islam.

Perbedaan mereka hanya pada cabang hukum (furu’iyyah) — misalnya cara shalat, wudhu, zakat, atau tata cara akad — bukan pada pokok aqidah atau syariat utama.


Contoh:


Mazhab Syafi’i: menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu.

Mazhab Hanafi: tidak membatalkan wudhu kecuali dengan syahwat.


Keduanya punya dalil masing-masing, dan keduanya benar karena berangkat dari Al-Qur’an dan hadits — hanya cara memahami haditsnya yang berbeda.


Imam Syafi’i pernah berkata:

> “Perbedaan di antara para ulama adalah rahmat bagi umat.”


Artinya, perbedaan ini bukan untuk dipecah-belah, tapi justru memberi kelonggaran bagi umat, karena kondisi manusia dan tempat berbeda-beda.


Bagaimana Para Imam Mazhab Saling Menghormati? 


Para imam mazhab tidak pernah menganggap diri mereka paling benar.

Mereka justru saling belajar dan saling memuji.


💬 Imam Malik berkata tentang Imam Abu Hanifah:


> “Seandainya Abu Hanifah berbicara kepadamu bahwa tiang ini dari emas, niscaya ia akan mendatangkan dalilnya.”


💬 Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik, dan beliau berkata:


> “Aku belajar dari Malik seperti seseorang yang mengambil cahaya dari matahari.”


💬 Imam Ahmad bin Hanbal adalah murid Imam Syafi’i, dan berkata:


> “Tidak ada seorang pun yang memegang pena dan menulis ilmu, melainkan ia berutang kepada Imam Syafi’i.”


Lihatlah bagaimana rasa hormat dan adab ilmiah di antara mereka.

Mereka berbeda, tapi tetap bersaudara — karena semua tujuannya satu: mencari ridha Allah melalui kebenaran.


Bagaimana Mazhab Fiqih Masuk dan Diajarkan di Pesantren Nusantara ? 


Ketika Islam datang ke Nusantara (sekitar abad ke-13), para dai dan ulama dari Yaman, Gujarat, dan Mekkah membawa fiqih Syafi’i.

Sejak itu, mazhab Syafi’i menjadi pegangan utama umat Islam di Indonesia, Malaysia, dan Brunei.


Di pesantren tradisional, fiqih diajarkan dengan kitab-kitab klasik (kitab kuning), seperti:


Fath al-Qarib dan Fath al-Mu’in

Taqrib Abu Syuja’

I’anah ath-Thalibin, 

Nihayah az-Zain, 

Tuhfah al-Muhtaj


Kitab-kitab ini adalah karya ulama besar Syafi’iyyah, dan tetap diajarkan hingga sekarang.


Namun, pesantren juga mengajarkan adab bermazhab:

bahwa kita mengikuti mazhab untuk tertib dalam memahami hukum, bukan untuk fanatik buta.

Sehingga, jika ada dalil yang lebih kuat dari mazhab lain, para kiai pun mengajarkan sikap terbuka.


 #Mazhab dan Kesatuan Umat


Banyak ulama besar menegaskan:


> “Siapa yang bermazhab, ia berjalan di jalan ulama. Siapa yang tidak bermazhab, ia akan bingung dalam lautan perbedaan.”


Artinya, bermazhab bukan berarti kita eksklusif — tapi justru menghormati ilmu dan tradisi para ulama yang sudah meneliti hukum Islam selama berabad-abad.


Dan karena mazhab-mazhab itu saling melengkapi, dunia Islam menjadi kaya akan solusi fiqih:

Syafi’i banyak dipakai di wilayah maritim (Asia Tenggara, Afrika Timur).

Hanafi banyak dipakai di wilayah perdagangan dan politik (Asia Tengah).

Maliki kuat di wilayah agraris dan Afrika Barat.

Hanbali kokoh di jazirah Arab.


Semua memiliki tempat dan perannya masing-masing dalam peradaban Islam.


> “Jangan jadikan perbedaan sebagai alasan untuk menghina, tapi sebagai sarana untuk menambah ilmu.”


Karena kalau kita jujur, tidak ada satu mazhab pun yang keluar dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Yang keluar adalah orang yang menolak dalil dan menolak ulama.


Maka, tugas kita hari ini bukan mencari siapa yang paling benar,

tapi bagaimana kita bisa mengambil yang paling dekat dengan kebenaran — dengan adab, ilmu, dan keikhlasan.


#bagaimana imam Mazhab berpikir, menimbang dalil, dan menghasilkan hukum-hukum fiqih yang sampai hari ini masih kita pakai dan metode apa yang digunakan? 


 1. Apa Itu Ushul Fiqih


Sebelum ke para imam, kita harus tahu dulu pengertiannya.

Ushul fiqih artinya:


> “Ilmu tentang kaidah dan metode memahami hukum syariat dari sumber-sumbernya.”


Sumber hukum Islam ada empat yang disepakati:


1. Al-Qur’an

2. As-Sunnah (hadits Nabi ﷺ)

3. Ijma’ (kesepakatan ulama)

4. Qiyas (analogi hukum)


Nah, setiap imam mazhab punya cara dan urutan berbeda dalam menafsirkan dan menimbang keempat sumber itu. Dari sinilah perbedaan muncul — bukan karena mereka mau berbeda, tapi karena ijtihad mereka berbeda arah, sesuai kondisi dan keilmuan mereka.


Imam Abu Hanifah (Mazhab Hanafi): Logika dan Analogi yang Kuat


📍Kufah, Irak — wilayah yang jauh dari Madinah, jadi tidak banyak hadits sampai ke sana.

Karena itu, Imam Abu Hanifah banyak mengandalkan:

Qiyas (analogi hukum)

Istihsan (mengambil hukum terbaik dari beberapa pilihan)

Urf (kebiasaan masyarakat yang tidak bertentangan dengan syariat)


 Contoh: Tentang air yang berubah warna karena daun pohon — apakah masih suci?

Imam Abu Hanifah menggunakan qiyas, bahwa karena perubahan itu alami dan tidak mengubah sifat dasar air, maka tetap suci.


Metode ini menjadikan mazhab Hanafi sangat logis dan fleksibel, cocok diterapkan di wilayah luas dengan banyak kasus baru, seperti Asia Tengah dan India.


2. Imam Malik bin Anas (Mazhab Maliki): Tradisi Madinah sebagai Dalil


📍Madinah — kota Nabi ﷺ, tempat hidup sahabat dan tabi’in.


Imam Malik berpendapat:

> “Amalan penduduk Madinah adalah bagian dari sunnah, karena mereka mewarisi langsung dari Rasulullah ﷺ.”


Jadi, beliau menjadikan ‘Amal Ahl al-Madinah (praktik masyarakat Madinah) sebagai dalil setara dengan hadits ahad.


Contoh: Tentang zakat hasil pertanian — di Madinah orang hanya menzakatkan hasil yang bisa disimpan lama seperti gandum dan kurma, maka Imam Malik pun mengikuti praktik itu.


Mazhab Maliki sangat kuat dalam memelihara living sunnah — tradisi Nabi yang masih hidup di masyarakat Madinah waktu itu.


3. Imam Asy-Syafi’i (Mazhab Syafi’i): Sistematis dan Moderat


📍Lahir di Gaza, belajar di Makkah, Madinah, Baghdad, lalu menetap di Mesir.


Imam Syafi’i melihat bahwa umat Islam sudah punya banyak perbedaan fiqih. Maka beliau membuat sistem ushul fiqih pertama dalam sejarah Islam, dalam kitabnya yang sangat terkenal: Ar-Risalah.

Urutan sumber hukum menurut Imam Syafi’i:


1. Al-Qur’an

2. As-Sunnah

3. Ijma’

4. Qiyas

dan tidak ada hukum tanpa dalil.


Beliau menolak penggunaan istihsan (menurut Hanafi) dan ‘amal ahl Madinah (menurut Maliki) jika tidak didukung nash.


Contoh: Dalam masalah wudhu, Imam Syafi’i menegaskan bahwa menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu, karena dalam QS Al-Ma’idah ayat 6 disebutkan “aw lamastumun-nisā’”.

Beliau memahami kata “lamastum” secara literal (menyentuh).

Sedangkan Imam Abu Hanifah menafsirkannya “menyentuh dengan syahwat”.


 Imam Syafi’i ingin menegakkan keseimbangan: tidak terlalu tekstual, tapi juga tidak terlalu rasional — ini sebabnya mazhab Syafi’i sangat cocok untuk dunia ilmu dan masyarakat maritim yang disiplin seperti Nusantara.


5. Imam Ahmad bin Hanbal (Mazhab Hanbali): Pegang Hadits Seerat-Eratnya


📍Baghdad, Irak

Beliau murid Imam Syafi’i dan dikenal sangat ahli hadits.


Metodenya:

1. Al-Qur’an

2. As-Sunnah

3. Fatwa sahabat

4. Ijma’ sahabat

5. Qiyas (jika tidak ada dalil langsung)


Tapi beliau sangat hati-hati menggunakan qiyas. Jika ada hadits, walau lemah, beliau lebih memilih hadits itu daripada logika.


Contoh: Tentang membaca Basmallah keras atau lirih dalam shalat.

Imam Ahmad berkata: “Kalau ada hadits yang menyebut Nabi membacanya keras, kita baca keras. Kalau lirih, ya lirih.”

Beliau lebih condong menjaga nash apa adanya.


 Mazhab Hanbali jadi dasar pemikiran kaum salaf — ingin mengembalikan Islam kepada sumber aslinya tanpa banyak tambahan logika.


apa Pelajaran dari Perbedaan Ushul Fiqih Ini? 


Dari empat imam ini kita belajar:

Abu Hanifah mengajarkan keluasan akal dalam syariat.


Malik mengajarkan kearifan menjaga tradisi sunnah.


Syafi’i mengajarkan keseimbangan dan sistem ilmiah.

Ahmad mengajarkan ketaatan penuh pada dalil.

Semuanya berangkat dari cinta pada Al-Qur’an dan Sunnah, hanya pendekatannya yang berbeda.

Ibarat empat jalan menuju satu kota — semua menuju ke tempat yang sama: ridha Allah.

#story #imam #mazhab #fiqih #save #gaza #freepalesrtina 

Sumber FB Ustadz : Felix Siauw

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mazhab Fiqih: Bukan Perpecahan, Melainkan Upaya Memahami Syariat - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®