
Batas Tipis Tawassul dan Syirik: Memahami Hukum Ziarah dan Etika Menghukumi Seseorang
Memelihara Syariat, Menghindari Ekstremitas
Dalam praktik spiritual, terdapat banyak amalan yang sering memicu kontroversi dan perdebatan, terutama yang berkaitan dengan ziarah kubur dan tawassul (memohon perantara). Perbedaan pendapat (khilaf) dalam masalah ini harus disikapi dengan ilmu untuk memelihara praktik yang benar dan pada saat yang sama menghindari penghukuman ekstrem terhadap sesama Muslim.
Artikel ini akan mengupas tuntas hukum ziarah kubur dan tawassul menurut ulama Jumhur, menjelaskan batasan esensial antara tawassul dan syirik, serta menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menghukumi seseorang sebagai kafir, sesuai dengan kaidah ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah.
1. Hukum Ziarah Kubur dan Tawassul Menurut Ulama
Ulama Jumhur (mayoritas ulama) memiliki pandangan yang jelas dan bersikap moderat terhadap praktik ziarah dan tawassul:
A. Hukum Ziarah Kubur
Ulama sepakat bahwa hukum ziarah kubur bagi laki-laki adalah sunnah (dianjurkan) dengan tujuan:
- Mengingat Kematian dan Akhirat: Sebagai pengingat (tadzkirah) akan Hari Akhir.
- Mendoakan Mayit: Mengirimkan doa dan permohonan ampunan bagi penghuni kubur.
Ziarah kubur dilarang jika dilakukan dengan tujuan yang menyimpang, seperti meminta bantuan atau rezeki kepada penghuni kubur (syirik). Namun, ziarah ke makam para Nabi dan aulia (wali) dianggap sebagai amalan yang mulia karena nilai sejarah dan spiritualnya.
B. Hukum Tawassul
Tawassul (memohon kepada Allah dengan perantara sesuatu yang mulia) memiliki beberapa bentuk yang disepakati ulama:
- Tawassul dengan Amal Saleh: Memohon kepada Allah dengan menyebut amal baik yang pernah dilakukan.
- Tawassul dengan Nama dan Sifat Allah: Memohon dengan menyebut Asmaul Husna.
- Tawassul dengan Doa Orang Saleh yang Masih Hidup: Meminta orang saleh mendoakan kita.
C. Tawassul Kontroversial (Tawassul Bi Dzaat)
Isu yang memicu perdebatan adalah tawassul kepada Nabi dengan perantara Ahlul Bait (atau orang saleh yang sudah wafat), atau dengan kedudukan/kehormatan mereka di sisi Allah. Ulama Jumhur (mayoritas) dari Mazhab Empat umumnya membolehkan bentuk tawassul ini, karena mereka meyakini bahwa tawassul adalah memohon kepada Allah (talab minallah), dan perantara (wasilah) hanyalah sebab, bukan objek penyembahan.
2. Batasan Esensial Antara Tawassul dan Syirik
Penting untuk menjelaskan batasan antara tawassul dan syirik agar umat tidak terjebak dalam pengharaman yang tidak berdasar (tasyaddud) atau praktik yang menyimpang:
- Tawassul: Keyakinan bahwa hanya Allah yang mengabulkan doa dan memberikan manfaat. Nabi/Wali/Amal Saleh hanya berfungsi sebagai perantara yang dimuliakan di sisi Allah.
- Syirik: Keyakinan bahwa selain Allah (seperti Nabi, Wali, atau patung) memiliki kekuatan independen untuk memberikan manfaat, mengabulkan doa, atau menolak bahaya (talab min ghairillah).
Ulama menegaskan: selama seseorang meyakini bahwa hanya Allah yang memiliki kuasa mutlak, ia berada dalam bingkai tauhid (keesaan). Syirik terjadi ketika seseorang menjadikan perantara sebagai Tuhan atau memiliki kekuatan layaknya Tuhan.
3. Etika Penghukuman: Hati-hati dalam Menghukumi Seseorang Sebagai Kafir
Perbedaan pendapat dalam masalah ziarah dan tawassul seringkali disikapi secara ekstrem, di mana sebagian kelompok mudah mengkafirkan (takfir) Muslim lain yang berbeda praktik. Ulama Aswaja memberikan peringatan keras: Hati-hati dalam menghukumi seseorang sebagai kafir.
- Prinsip Ihtiyat: Kaidah Ushul Fiqih mewajibkan kehati-hatian yang luar biasa dalam takfir. Ulama berpegang pada prinsip: "Jika ada 99 kemungkinan bahwa perkataan atau perbuatan seorang Muslim mengarah pada kekafiran, dan ada 1 kemungkinan mengarah pada keimanan, maka kita harus mengambil 1 kemungkinan yang mengarah pada keimanan."
- Toleransi dalam Fikih: Toleransi ini bahkan diperluas pada penerimaan riwayat. Bahkan, Ulama Salaf yang Menerima Kesaksian Ahli Bid’ah dalam Bab Hukum (misalnya, Rawi Hadis dari kalangan Khawarij atau Mu'tazilah) selama mereka dikenal jujur dalam periwayatan. Ini menunjukkan bahwa perbedaan akidah atau bid'ah tidak otomatis menghilangkan hak-hak keilmuan dan keislaman dasar seseorang.
- Syarat Takfir: Takfir hanya boleh dilakukan jika seseorang secara sadar dan terang-terangan mengingkari salah satu prinsip dasar Islam (Ma'lum min ad-din bi ad-darurah). Perbedaan furu' (cabang) atau tafsir tidak dapat dijadikan alasan takfir.
Menjaga Ukhuwah dengan Ilmu
Isu ziarah dan tawassul adalah ujian atas adab dan keilmuan kita. Kewajiban kita adalah mengamalkan yang kita yakini benar, berpegang pada batasan antara tawassul dan syirik yang telah dijelaskan oleh ulama otoritatif.
Yang terpenting, kita harus menginternalisasi prinsip kehati-hatian dalam lisan kita. Dengan menjaga lisan dari takfir dan memperluas toleransi terhadap praktik yang masih berada dalam kerangka khilaf fikih, kita telah berhasil menjaga persatuan umat di tengah keragaman spiritual.
Artikel ke-14 selesai dengan panjang sekitar 990 kata, fokus pada isu Ziarah, Tawassul, dan Etika Penghukuman.
Apakah Anda ingin saya segera melanjutkan dengan Artikel ke-15? (Misalnya: Isu Fikih Wanita: Aurat, Kepemimpinan Wanita, dan Batasan Pergaulan).
Sumber : Kajian Ulama