Mana Bukti Kalangan Hanabilah Mentafwidh Makna? - Kajian Ulama

𝗠𝗔𝗡𝗔 𝗕𝗨𝗞𝗧𝗜 𝗞𝗔𝗟𝗔𝗡𝗚𝗔𝗡 𝗛𝗔𝗡𝗔𝗕𝗜𝗟𝗔𝗛 𝗠𝗘𝗡𝗧𝗔𝗙𝗪𝗜𝗗𝗛 𝗠𝗔𝗞𝗡𝗔?

Kiyai bisa minta bukti bahwa ada dari kalangan Hanabilah itu mentafwidh secara ma’na sebagaimana yang kiyai sampaikan di video?

𝗝𝗮𝘄𝗮𝗯𝗮𝗻

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Sikap para ulama terhadap sifat-sifat Allah ta’ala yang musytabihat terbagi menjadi dua, yakni dengan tafwidh dalam ma’na dan sebagiannya melakukan takwil. Kalangan Hanabilah dan pendapat yang unggul dari madzhab Asy’ariyah juga Maturidiyah melakukan tafwidh, yakni menerima dan menetapkan nash dan menyerahkan ma’na dan kaifiyahnya kepada Allah. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al imam Nawawi rahimahullah :

اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات قولين: أحدهما: وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها، بل يقولون: يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته، مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء، وأنه منزه عن التجسيم والانتقال والتحيز في جهة، وعن سائر صفات المخلوق، وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين، واختاره جماعة من محققيهم، وهو أسلم. 

والقول الثاني: هو مذهب معظم المتكلمين أنها تؤول على ما يليق بها على حسب مواقعها، وإنما يسوغ تأويلها لمن كان من أهله، بأن يكون عارفة بلسان العرب وقواعد الأصول والفروع ذا رياضة في العلم

"Ketahuilah bahwa sikap ahli ilmu mengenai hadits-hadits sifat terbagi menjadi dua pendapat:

Pendapat Pertama : Dan ini adalah madzhab sebagian besar kaum salaf atau semuanya, bahwa ia tidak dibicarakan) 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮𝗻𝘆𝗮, bahkan mereka berkata: 

Wajib atas kita untuk mengimaninya dan meyakini baginya makna yang layak bagi keagungan dan kebesaran Allah Ta'ala, bersamaan dengan keyakinan kita yang tegas bahwa Allah Ta'ala tidak ada yang menyerupai-Nya, dan bahwa Dia disucikan dari tajsim (dijadikan berwujud), intiqal (berpindah), terbatasi pada suatu arah, dan dari sisa sifat-sifat makhluk lainnya.

Dan pendapat ini juga adalah madzhab dari sekelompok Mutakallimin (ahli ilmu kalam), dan ia dipilih oleh sekelompok peneliti mereka, dan ini adalah pilihan pendapat yang paling selamat.

Pendapat Kedua : Adalah madzhab sebagian besar Mutakallimin bahwa ia ditakwil dengan apa yang layak baginya sesuai dengan tempatnya. Dan takwil hanya diperbolehkan bagi siapa yang ahli darinya, yaitu dengan menjadi orang yang mengetahui bahasa Arab dan kaidah-kaidah ushul maupun furu’.”[1]

Dan kalangan Hanabilah atau terkadang juga disebut Atsariyah memegang model yang pertama yakni tafwidh dan menolak takwil, berikut diantara beberapa bukti yang bisa kita hadirkan dalam masalah ini :

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗔𝗵𝗺𝗮𝗱 𝗯𝗶𝗻 𝗛𝗮𝗻𝗯𝗮𝗹 rahimahullah.

Dan Ali bin Isa mengabarkan kepadaku bahwa Ḥanbal menceritakan kepada mereka, ia berkata: "Aku bertanya kepada Abū 'Abdillāh (Imam Aḥmad bin Ḥanbal) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan:

'Sesungguhnya Allah ta’ala turun ke langit dunia,''Dan sesungguhnya Allah ta’ala akan terlihat (pada hari Kiamat),''Dan sesungguhnya Allah ta’ala meletakkan kaki-Nya,'. Dan hadits-hadits yang serupa dengan ini?"

Maka imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah menjawab :

‌نؤمن ‌بها، ‌ونصدق ‌بها، ‌بلا ‌كيف ‌ولا ‌معنى، ولا نرد منها شيئا، ونعلم أن ما جاءت به الرسل حق، ونعلم أن ما ثبت عن رسول اللَّه حق إذا كانت بأسانيد صحيحة، ولا نرد على قوله

"Kami mengimaninya dan kami membenarkannya tanpa kayf (menanyakan bagaimana/hakikatnya) dan 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗺𝗮'𝗻𝗮̄ (𝗺𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮𝗻𝘆𝗮). Dan kami tidak menolak sedikit pun darinya, dan kami mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh para Rasul adalah benar, dan kami mengetahui bahwa apa yang telah shahih dari Rasulullah ﷺ adalah benar jika ia memiliki sanad-sanad yang sahih.”[2]

Beliau juga berkata :

تمر كما جاءت من غير بحث عن معانيها ونخالف ما خطر في الخاطر عند سماعها وننفي التشبيه عن الله تعالى عند ذكرها مع تصديق النبي صلى الله عليه وسلم والإيمان بها وكل ما يعقل ويتصور فهو تكييف وتشبيه وهو محال

"Hadits-hadits sifat dilewatkan sebagaimana adanya; tanpa mencari maknanya, dan kami menyalahi apa yang terlintas di dalam benak ketika mendengarnya, dan kami menafikan tasybih (penyerupaan) dari Allah Ta'ala ketika menyebutkannya, disertai pembenaran terhadap Nabi ﷺ dan keimanan terhadapnya, dan segala sesuatu yang dipahami akal dan dibayangkan maka itu adalah takyif (penentuan kualitas/bentuk) dan tasybih, dan itu adalah hal mustahil."[3]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗤𝘂𝗱𝗮𝗺𝗮𝗵 𝗮𝗹 𝗠𝗮𝗾𝗱𝗶𝘀𝗶 rahimahullah, beliau berkata :

وما أشبه هذه الأحاديث نؤمن بها ونصدق بها بلا كيف ولا معنى

“Dan apa yang semisal tentang hadits (tasybih) kami mengimaninya dan membenarkannya 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗸𝗮𝘆𝗳 𝗱𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮.”[4]

Beliau rahimahullah juga berkata :

كل ما جاء في القرآن ، أو صح عن المصطفى عليه السلام من صفات الرحمن ، وجب الإيمان به ، وتلقيه بالتسليم والقبول ، وترك التعرض له بالرد والتأويل ، والتشبيه والتمثيل . وما أشكل من ذلك وجب إثباته لفظاً ، وترك التعرض لمعناه ، ونرد علمه إلى قائله ، ونجعل عهدته على ناقله ، اتباعاً لطريق الراسخين في العلم ، الذين أثنى الله عليهم في كتابه المبين بقوله سبحانه وتعالى: ( والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا

"Segala sesuatu yang datang di dalam al Qur'an, atau sahih dari al Musthafa ﷺ dari sifat-sifat ar Raḥman, wajib mengimaninya, dan menerimanya dengan penyerahan dan penerimaan, serta meninggalkan pembahasan padanya dengan penolakan dan takwil, tasybih dan tamtsil. 

Dan apa yang samar dari hal itu wajib menetapkannya secara lafadzh, dan 𝗺𝗲𝗻𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮𝗹𝗸𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗺𝗯𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮𝗻𝘆𝗮, dan kami kembalikan ilmunya kepada yang mengucapkannya, dan kami jadikan tanggung jawabnya pada yang meriwayatkannya, mengikuti jalan ar Rasyikun fil Ilmi (orang-orang yang mendalam ilmunya).

Yang mereka dipuji oleh Allah atas mereka dalam Kitab-Nya yang jelas dengan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala: (Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: Kami beriman padanya, semuanya dari sisi Rabb kami)."[5]

Beliau rahimahullah juga berkata :

لا نزيدك على ألفاظها زيادة تفيد معنى بل قراءتها تفسيرها من غير معنى بعينه ولا تفسير بنفسه ، ولكن قد علمنا أن لها معنى في الجملة يعلمه المتكلم بها فنحن نؤمن بها بذلك المعنى

“Kami tidak menambahkan pada lafadz nas tambahan yang memberikan makna, bahkan membacanya adalah tafsirnya, 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 𝘁𝗲𝗿𝘁𝗲𝗻𝘁𝘂 dan tanpa tafsir itu sendiri, tetapi kami telah mengetahui bahwa ia memiliki makna secara keseluruhan yang diketahui oleh yang mengucapkan dengannya (Allah). Maka kami mengimaninya dengan makna itu.”[6]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗥𝗮𝗷𝗮𝗯 𝗮𝗹 𝗛𝗮𝗻𝗯𝗮𝗹𝗶 rahimahullah berkata :

والصواب ما عليه السلف الصالح من إمرار آيات الصفات وأحاديثها كما جاءت من غيرتفسير ولاتكييف  ولا تمثيل  ولا يصح عن أحد منهم خلاف ذلك البتة ، خصوصا الإمام أحمد   ولا  خوض في معانيها

“Dan yang benar adalah apa yang dipegang teguh oleh Salafus Shalih, yaitu melewatkan ayat-ayat sifat dan hadits-haditsnya sebagaimana ia datang, 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝘁𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝘁𝗮𝗸𝘆𝗶𝗳 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝘁𝗮𝗺𝘁𝘀𝗶𝗹 (𝗽𝗲𝗻𝘆𝗲𝗿𝘂𝗽𝗮𝗮𝗻). Dan tidak sah riwayat dari seorang pun di antara mereka yang menyalahi hal itu sama sekali, khususnya Imam Ahmad, dan tidak ada pembahasan mendalam pada maknanya.”[7]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗛𝗮𝗺𝗱𝗮𝗻 𝗮𝗹 𝗛𝗮𝗻𝗯𝗮𝗹𝗶 rahimahullah, beliau berkata :

أحاديث الصفات تمر كما كما جاءت من غير بحث عن معانها و كل ما يعقل و يتصور فهو تكييف وتشبيه. وهو محال. ويجب ان نصف الله تعالى بما وصف به نفسه او وصف به رسول الله وإمراره كما جاء وان لم يعقل معناه

"Hadits-hadits tentang sifat (Allah) dilewatkan sebagaimana adanya, 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗺𝗲𝗻𝗰𝗮𝗿𝗶 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮𝗻𝘆𝗮, dan segala sesuatu yang dipahami akal atau dibayangkan (dikonsepkan) maka itu adalah takyif (penentuan kualitas/bentuk) dan tasybih (penyerupaan). Dan hal itu adalah mustahil.

Dan wajib bahwa kita menyifati Allah Ta'ala dengan apa yang Dia sifatkan bagi diri-Nya atau yang Rasulullah sifati bagi-Nya, dan melewatkannya sebagaimana ia datang meskipun maknanya tidak dapat dipahami akal.”[8]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗮𝗹 𝗠𝗮𝗿’𝗶 𝗮𝗹 𝗞𝗮𝗿𝗺𝗶 rahimahullah berkata :

واعلم أن هذه الأحادث ونحوها ترو كما جاءت. ويفوض معناها إلى الله تعالى

"Dan ketahuilah bahwa hadits-hadits ini dan yang semisalnya diriwayatkan sebagaimana adanya. Dan 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮𝗻𝘆𝗮 𝗱𝗶𝘀𝗲𝗿𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 kepada Allah Ta'ala."[9]

Beliau juga berkata :

وجمهور أهل السنة ، منهم السلف وأهل الحديث على الإيمان بها ، وتفويض معناها المراد منها إلى الله تعالى ولا نُفسرها  مع تنزيهنا له عن حقيقتها

“Dan mayoritas Ahlus Sunnah, di antaranya Salaf dan Ahli Hadis, berpegang pada keimanan terhadapnya, dan 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗿𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 yang dimaksud darinya kepada Allah Ta'ala, dan kami tidak menafsirkannya, bersamaan dengan penyucian kami dari hakikatnya.”[10]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗦𝗮𝗳𝗮𝗿𝗶𝗻𝗶 𝗮𝗹 𝗛𝗮𝗻𝗯𝗮𝗹𝗶 rahimahullah berkata :

فمذهب السلف في آيات الصفات أنها لا تؤول، ولا تفسر بل يجب الإيمان بها، ‌وتفويض ‌معناها المراد منها إلى الله تعالى، فقد روى اللالكائي الحافظ عن محمد بن الحسن قال اتفق الفقهاء كلهم من المشرق إلى المغرب على الإيمان بالصفات من غير تفسير ولا تشبيه

“Maka madzhab kaum salaf dalam ayat-ayat sifat adalah bahwa ia tidak ditakwil dan tidak juga ditafsirkan (ditentukan maknanya secara pasti), bahkan wajib mengimaninya, dan 𝗺𝗲𝗻𝘆𝗲𝗿𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮 yang dimaksud darinya kepada Allah Ta'ala.

Sungguh al Lalikai al Hafiz telah meriwayatkan dari Muhammad bin al-Hasan, ia berkata: "Para fuqaha semuanya, dari timur hingga barat, sepakat atas keimanan terhadap sifat-sifat tanpa tafsir dan tanpa tasybih (penyerupaan)."[11]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗯𝗶𝗻 𝗨𝘁𝘀𝗺𝗮𝗻 𝗯𝗶𝗻 𝗤𝗮’𝗶𝗱 𝗮𝗻 𝗡𝗮𝗷𝗱𝗶 al Hanbali rahimahullah berkata : 

فما جاء فى الكتاب و السنة وجب على كل مؤمن الإيمان به وإن لم يفهم معناه

“Maka apa pun yang datang dari al Kitab dan as Sunnah, wajib atas setiap mukmin untuk mengimaninya 𝗺𝗲𝘀𝗸𝗶𝗽𝘂𝗻 𝗶𝗮 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗺𝗲𝗺𝗮𝗵𝗮𝗺𝗶 𝗺𝗮𝗸𝗻𝗮𝗻𝘆𝗮.”[12]

𝗔𝗹 𝗶𝗺𝗮𝗺 𝗜𝗯𝗻𝘂 𝗕𝗮𝘁𝘁𝗵𝗮𝗵 al Hanbali rahimahullah berkata : 

ﻣﺎ ﻭﺻﻒ اﻟﻠﻪ ﻧﻔﺴﻪ ﻓﻘﺮاءﺗﻪ ﺗﻔﺴﻴﺮﻩ، ﻟﻴﺲ ﻷﺣﺪ ﺃﻥ ﻳﻔﺴﺮﻩ ﺇﻻ اﻟﻠﻪ ﻋﺰ ﻭﺟﻞ.  فانظر ـ عافاك الله ـ إلى قولهم: تروى كما جاءت تُمَرُّ كما جاءت  فقراءتُه تفسيرُه  لا تُفَسَّرولا تُتَوَهَّم , ولا يقال: كيفَ لتعلم معنى التفويض عند السلف الصالح 

“Sufyan bin 'Uyainah berkata: ‘Apa yang Allah sifatkan bagi diri-Nya, maka membacanya adalah penafsirannya. Tidak seorang pun berhak menafsirkannya kecuali Allah Azza wajalla.

Maka lihatlah – semoga Allah memberikan kesehatan kepadamu – pada perkataan mereka: "Diriwayatkan sebagaimana ia datang," "dilewatkan sebagaimana ia datang," "maka membacanya adalah penafsirannya," " 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝘁𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿𝗸𝗮𝗻, 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝗯𝗮𝘆𝗮𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻, 𝗱𝗮𝗻 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗱𝗶𝗸𝗮𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻: 𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶𝗺𝗮𝗻𝗮." Agar engkau mengetahui makna at-tafwīḍ (penyerahan makna) menurut Salafus Saleh.”[13]

Wallahu a’lam.

________________________________________

[1] Syarh Shahih Muslim (3/19)

[2] Jami’ li Ulum Imam Ahmad (3/396)

[3] Lawami’ al Anwar Bahiyah (1/241)

[4] Lum’atul I’tiqad hlm. 60

[5] Lum’atul I’tiqad hlm. 6

[6] Taḥrim an-Naẓar fi Kutub al Kalam hlm 59

[7] Fadhlu Ilmi Salaf ala Khalaf hlm. 33

[8] NIhayatul Mubtadiin fi Ushuluddin hlm. 33

[9] Al Aqawil ats Tsiqat fi at Takwil al Asma wa ash Shifat hlm 117

[10] Al Aqawil ats Tsiqat fi at Takwil al Asma wa ash Shifat hlm 65

[11] Lawami’ al Anwar Bahiyah (1/219)

[12] Najatul Khalaf fi I’tiqadul Salaf hlm. 14

[13] Al Ibanah al Kubra hlm 123  

Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mana Bukti Kalangan Hanabilah Mentafwidh Makna? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®