Khitan Perempuan, Haramkah?

Khitan Perempuan, Haramkah?

Khitan Perempuan, Haramkah?

Mbak-mbak di KUPI (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) bikin heboh lagi karena mengharamkan khitan perempuan, meski sebenarnya yang berfatwa di situ bukan mbak-mbak sih, hehe. Katanya praktek yang mereka sebut sebagai mutilasi kelamin perempuan (Female Genital Mutilation) itu berbahaya banget. Ok, kita bahas tipis-tipis soal ini.

Sebelum itu, ada kaidah Mantiq (logika) yang bunyinya: الحكم على الشيء فرع عن تصوره (putusan atas sesuatu adalah cabang dari penggambaran sesuatu tersebut). Maksudnya, definisi kita atas suatu istilah akan mempengaruhi bagaimana putusan kita terhadap istilah itu. Dalam hal ini, definisi khitan yang dimaksud mbak-mbak di KUPI beda dengan yang dimaksud oleh para ulama fikih kita. Sebab itu beda pula hasil putusannya. 

Yang dimaksud KUPI dengan khitan adalah FGM atau mutilasi organ genital perempuan, yang macam-macam teknisnya, misalnya clitorisnya dipotong habis, labianya dibabat, dan sebagainya yang serem-serem. Itu memang jelas haram seharam-haramnya. Saya pun mendukung penuh gerakan untuk menghentikan praktik pidana yang merugikan kaum cewek itu, dan merugikan suami mereka juga sebab istrinya jadi kurang seru mainnya sebab organ sensitifnya termutilasi. Ibarat di laki-laki, itu helmnya dipotong separuh, dibabat habis bahkan ada yang sampai dipotong ke akar batangnya, bayangin seremnya. Haramnya gak usah dibahas lagi. 

Bagi yang belum paham, bisa dibilang clitoris adalah penis lelaki versi sangat mini di bagian atas jalan lahir. Ini organ sangat penting, bukan aksesoris. Ada kasus langka perempuan yang clitorisnya nggak mini malah jadi batang lelaki beneran sehingga dia disebut punya kelamin ganda atau dalam istilah fikih disebut khuntsa. Nah, seperti halnya penis lelaki, si clitoris ini juga punya penutup yang melindunginya dari gesekan dan sebagainya. Penutupnya ini ada yang panjang dan ada yang pendek, sama lah dengan pelindung helm lelaki juga ada yang panjang dan ada yang pendek. Kalau di lelaki, penutup helmnya disebut kulup (preputium), sedangkan di perempuan penutup clitoris disebut clitoral hood. Disebut hood mungkin karena area yang ditutupi hanya bagian atasnya saja, beda dengan kulup yang menutupi semua bagian. 

Dalam fikih, yang dikhitan adalah penutup itu tadi. Bagi lelaki, yang dipotong adalah kulupnya, bukan helmnya. Bagi perempuan, yang dipotong adalah clitoral hood itu tadi, bukan clitorisnya, bukan bagian lainnya. Dalam istilah medis, khitan perempuan yang dimaksud ulama fikih adalah clitoral hood reduction alias hoodectomy alias pengurangan tutup clitoris yang terlalu panjang. Jadi sama dengan lelaki, tidak ada organ vital yang boleh dipotong dalam khitan! Seperti keterangan di gambar yang saya sertakan, clitoral hood ini memang nggak estetik dan tidak fungsional ketika ukurannya panjang berlebihan, makanya ada operasi pengurangan clitoral hood itu. Inilah yang dimaksud dengan khitan perempuan itu. Paham ya poin ini, kalau belum, ulangi lagi bacanya. 

Imam Nawawi menjelaskan:

وختان الرجل قطع الجلدة التي تغطي الحشفة حتى تنكشف جميع الحشفة ويقال لتلك الجلدة القلفة، وأما من المرأة فتقطع من اللحمة التي في أعلى الفرج فوق مخرج البول وتشبه تلك اللحمة عرف الديك فإذا قطعت بقي أصلها كالنواة

"Khitan bagi laki-laki adalah memotong kulit yang menutupi kepala zakar hingga seluruh kepala zakar tampak; kulit tersebut disebut al-qulfah (kulup).

Adapun bagi perempuan, maka yang dipotong adalah bagian daging yang berada di atas kemaluan, di atas saluran kencing; bagian daging itu menyerupai jengger ayam jantan.Apabila bagian itu dipotong, maka sisanya tinggal seperti biji." (An-Nawawi, Raudhat at-Thalibin)

Yang dimaksud seperti jengger ayam itu adalah clitoral hood. Yang dimaksud seperti biji yang terlihat ketika jenggernya dipotong adalah clitorisnya. Jadi clitorisnya tetap utuh ya, hanya terbuka dan makin estetik. Sama seperti ketika lelaki dikhitan maka tampilannya makin estetik, selain makin bersih.

Nah, perlu dipahami bahwa dalam fiqih, baik laki-laki atau perempuan yang lahir sudah dalam kondisi terkhitan (makhtun) maka tidak diperintah untuk dikhitan lagi sebab bagian yang harus dipotong memang sudah tidak ada sejak lahir. Dalam kasus laki-laki, kulupnya memang gak ada sehingga tidak perlu ada yang dipotong. Dalam kasus perempuan juga sama, ketika perempuan lahir tanpa clitoral hood yang panjang alias klitorisnya memang terbuka sejak lahir tanpa ada kulit yang menutupnya, maka si perempuan ini statusnya makhtun alias sudah terkhitan sehingga tidak perlu dikhitan lagi. Dan sepertinya, luruskan bila saya salah, clitoral hood perempuan banyak yang sudah pendek sejak lahir alias clitorisnya sudah terbuka sejak awal sehingga secara teknis mereka sudah tidak perlu dikhitan, beda dengan lelaki. 

Masalahnya, kebanyakan tukang khitan perempuan tidak paham ini. Akhirnya dipotonglah semua yang ada di atas jalan lahir, dan musibah mutilasi pun terjadi. Bisa dibilang bahwa ini malpraktik massal yang dibiarkan sebab semua yang terlibat pada nggak ngerti, tukang khitannya nggak ngerti, orang tuanya nggak ngerti dan banyak Kyai dan Bu nyai pun juga sama-sama nggak ngerti betul bagian mana yang boleh dipotong dan bagian mana yang tidak. Sebab itu saya dulu banget pernah menulis dukungan saya terhadap fatwa ulama Mesir yang mengatakan bahwa khitan perempuan tidak disyariatkan, yang dimaksud adalah praktik khitan yang salah kaprah tersebut. Kalau dilakukan dengan benar, maka tetap disyariatkan. 

Kesimpulannya, mbak-mbak (dan om-om) di KUPI nggak salah sepenuhnya dan nggak benar sepenuhnya. Harusnya mereka jangan memakai istilah khitan tapi mutilasi organ genital saja agar tidak nambah salah kaprah. Teman-teman yang konsen ke kajian fikih  yang mengkritik KUPI juga tidak sepenuhnya salah. Yang salah adalah tashawwur (penggambaran) masing-masing pihak soal istilah khitan. 

Saya tidak merasa perlu menukil banyak ibarah dari kitab fikih untuk ini sebab apa yang saya jelaskan teksnya mudah dilacak. Masalah kebanyakan kita adalah bukan tidak tahu ibarah kitabnya tetapi tidak memahami secara jelas tashawurnya. Sebenarnya saya ingin menyertakan gambar tapi itu bertentangan dengan standar kepatutan yang saya pakai untuk tulisan di Facebook ini, namun saya sudah memberitahu kata kuncinya bagi yang mau mencarinya sendiri. Kalau mau ditulis serius, apa yang saya tulis ini bisa jadi tulisan bagus untuk jurnal, silahkan bagi siapapun memanfaatkannya asal mendoakan kebaikan untuk saya.

Semoga bermanfaat. 

Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Khitan Perempuan, Haramkah? - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®