
Kenapa Harus Ada Khilafiyah? Mengurai Faktor, Ranah, dan Etika Perbedaan Pendapat Ulama
Perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam Islam seringkali disalahpahami sebagai tanda perpecahan atau kelemahan umat. Padahal, Khilafiyah (yang terjadi pada masalah furu' atau cabang hukum) telah ada sejak era Sahabat dan Tabi'in, dan merupakan konsekuensi logis dari kekayaan sumber syariat serta kecanggihan metodologi istinbath (pengambilan hukum) oleh para ulama. Memahami Kenapa Harus Ada Khilafiyah? adalah kunci untuk mengapresiasi kedalaman khazanah keilmuan Islam dan menjaga etika persatuan.
Pembahasan ini akan mengurai faktor-faktor terjadinya perbedaan pendapat, ranah yang menjadi area Khilafiyah, dan etika ulama dalam menyikapi perbedaan tersebut, yang menjadi pedoman utama bagi umat.
Faktor Terjadinya Khilaf Antar Ulama: Mengapa Perbedaan Itu Ada
Perbedaan pendapat tidak terjadi karena ulama saling membenci, melainkan karena adanya faktor metodologis dan tekstual yang kompleks. Faktor Terjadinya Khilaf Antar Ulama bersumber dari beberapa aspek:
A. Perbedaan Teks dan Sumber Hukum
- Variasi Periwayatan Hadis: Ada ulama yang menerima suatu hadis sebagai shahih (valid), sementara ulama lain tidak menerimanya karena perbedaan kriteria periwayatan atau sanad yang berbeda. Penilaian Terhadap Hadits Bersifat Ijtihadi, artinya, penerimaan hadis bersifat metodologis dan tidak selalu mutlak, menciptakan perbedaan hukum.
- Perbedaan Pemahaman Terhadap Dalil: Seringkali, Khilaf bukan karena menolak dalil, melainkan karena Tidak Hanya Dalil Tapi Pemahaman Terhadap Dalil Juga Penting. Contohnya, ada dalil yang bersifat zhanni (multi-tafsir) yang memungkinkan lebih dari satu interpretasi hukum.
- Adanya Naskh (Penghapusan Hukum): Satu hadis yang jelas boleh jadi dianggap mansukh (telah dihapus hukumnya) oleh ulama tertentu karena adanya dalil lain yang datang belakangan. Pemahaman Naskh dan Mansukh ini menjadi faktor besar perbedaan Fiqh.
B. Perbedaan Metodologi (Ushul Fiqh)
- Penggunaan Qiyas (Analogi): Ulama berbeda dalam penerapan analogi. Mazhab tertentu mungkin menggunakan Qiyas secara luas, sementara yang lain membatasinya pada konteks yang sangat spesifik.
- Prioritas Sumber: Ulama berbeda dalam memprioritaskan sumber hukum non-tekstual, seperti Istihsan (kebijakan hukum), Istislah (kemaslahatan umum/maslahah mursalah), atau Urf (tradisi lokal). Prioritas ini menghasilkan produk Fiqh yang berbeda di tiap mazhab.
Kesimpulan Bagian I: Perbedaan Pendapat Dalam Islam Sudah Lama Ada karena perbedaan metodologi Ushul Fiqh yang sangat canggih dan bersifat ijtihadi (membutuhkan upaya maksimal ulama), bukan karena kekurangan ilmu atau ketidakjelasan agama.
Ranah Khilafiyah: Batasan dan Jenis Perbedaan
Tidak semua isu bisa dikategorikan sebagai Khilafiyah. Ulama membagi perbedaan pendapat ke dalam ranah yang jelas.
A. Khilaf Ushul vs. Khilaf Furu'
- Khilaf Ushul (Prinsip Dasar): Ini adalah perbedaan yang menyangkut Akidah fundamental (misalnya, Tauhid, Rukun Iman). Pada dasarnya, ulama Ahlussunnah sepakat pada ushul Akidah. Namun, ada detail turunan yang bersifat Khilafiyah, seperti isu Khilafiyah Dalam Aqidah yang berkaitan dengan detail penafsiran Sifat Allah (Itsbat vs Tanzih), bukan pada substansi Tauhid itu sendiri. Khilaf pada ranah ini harus diwaspadai, meskipun Khilaf Bidang Aqidah? ini lebih sering terjadi pada turunan interpretasi.
- Khilaf Furu' (Cabang Hukum): Ini adalah perbedaan yang terjadi pada Fiqh dan hukum praktis. Ini adalah ranah utama Khilafiyah yang diakui dan terjadi. Contohnya adalah dalam detail ibadah seperti Khilafiyah Tatacara Bab Umrah atau Khilafiyah Dalam Masalah Mathla’ (penentuan awal bulan Hijriyah).
B. Batas Khilafiyah dan Bid'ah
Penting untuk membedakan antara Khilafiyah yang mu'tabar (diakui karena memiliki dalil dan metodologi) dengan Masalah Kilafiyah dengan Bidah (Inovasi dalam agama yang tidak memiliki dasar syariat).
Bid'ah adalah penambahan atau pengurangan dalam agama yang disengaja tanpa dalil yang diakui. Sementara Khilafiyah adalah hasil ijtihad yang berbeda dalam memahami dalil yang sama. Menyamakan keduanya adalah Istilah Yang Sering Dipahami Salah yang kerap memicu perpecahan.
Empat Prinsip dan Adab Khilafiyah: Jalan Ulama Akhirat
Ulama yang lurus selalu berpegang pada prinsip dan adab agar perbedaan pendapat tidak merusak persatuan dan keikhlasan.
A. Empat Prinsip Metodologis
Terdapat Empat Prinsip Dalam Masalah Khilafiyyah yang menjadi pegangan ulama, khususnya dalam Kaidah Dalam Ranah Khilafiyah:
- Tidak Fanatik: Ulama tidak boleh fanatik buta pada mazhabnya. Mereka harus mengakui bahwa ijtihad ulama lain mungkin benar (pendapatku benar tapi mungkin salah, pendapat orang lain salah tapi mungkin benar).
- Tidak Ada Pengingkaran: Tidak boleh ada pengingkaran terhadap Khilafiyah mu'tabar (yang memiliki dalil).
- Hukum di Ranah Ibadah: Khilafiyah dalam ibadah tidak boleh saling menyalahkan, seperti yang ditegaskan dalam Melafadzkan Niat Itu Khilafiyah Jadi Tak Perlu Saling Menyalahkan.
- Menghindari Talfiq (Campur Adul): Seorang awam tidak boleh mencampuradukkan mazhab sembarangan tanpa kaidah.
B. Etika Sosial dan Ilmiah
- Prioritas Amanah Ilmiah: Khilafiyah, Adab dan Amanah Ilmiyah menuntut ulama untuk jujur dalam menukil pendapat dan tidak menyembunyikan adanya perbedaan.
- Tawadhu' dan Mengalah: Etika yang paling mulia adalah Mengalah dan Menyesuaikan Diri dalam Masalah Khilafiyyah demi persatuan umat. Imam Syafi'i pernah berwudhu dengan cara Madzhab Hanafi saat di dekat makam Imam Abu Hanifah sebagai penghormatan, meskipun beliau berpandangan lain.
- Menulis Proporsional: Ketika membahas perbedaan, ulama dituntut untuk Menulis Khilafiyah Secara Proporsional dan adil, tanpa menjelek-jelekkan ulama lain. Ini adalah etika yang sering dilupakan di era media sosial.
Membendung Upaya Menolak Khilafiyah
Seiring waktu, muncul kelompok yang menolak fakta bahwa Tidak Ada Khilafiyah? atau yang mendakwa bahwa Khilafiyah, Bukankah Kebenaran Hanya Satu?
- Tanggapan Filosofis: Memang, kebenaran di sisi Allah adalah satu. Namun, upaya manusia untuk mencapai kebenaran (ijtihad) adalah yang menghasilkan Khilafiyah. Ulama mujtahid (yang berijtihad) yang salah tetap mendapat satu pahala, sementara yang benar mendapat dua.
- Peringatan: Mereka yang menolak adanya Khilafiyah sejatinya menolak tradisi keilmuan Islam itu sendiri. Peringatan dari ulama kontemporer seperti Syekh Ali As-Shabuni dan Masalah Khilafiyah yang Tak Kunjung Usai menegaskan bahwa perdebatan tentang Khilafiyah tidak akan pernah selesai selama masih ada ijtihad.
- Pembahasan yang Adil: Mengenai Jangan Membahas Masalah Khilafiyyah?, ulama berpendapat Khilafiyah boleh dibahas dalam konteks ilmiah untuk ta'allum (belajar), tetapi dilarang dibahas di ranah publik untuk ta'assub (fanatisme dan perpecahan).
Kesimpulan:
Khilafiyah adalah warisan intelektual dan rahmat bagi umat. Ini adalah bukti bahwa syariat Islam luas dan fleksibel. Khilaf Para Ulama mengajarkan kita pentingnya Adab dan Amanah Ilmiyah sebagai pilar yang lebih utama daripada keseragaman Fiqh semata. Dengan memahami Ushul dan Etika Khilafiyah ini, umat dapat menjaga persatuan sambil tetap kokoh dalam berpegang pada tradisi keilmuan yang telah diwariskan oleh ulama salaf dan khalaf.
Sumber Artikel :
- Kenapa Harus Ada Khilafiyah?
- Faktor Terjadinya Khilaf Antar Ulama
- Perbedaan Pendapat Dalam Islam Sudah Lama Ada
- Khilafiyah, Adab dan Amanah Ilmiyah
- Mengalah dan Menyesuaikan Diri dalam Masalah Khilafiyyah
- Empat Prinsip Dalam Masalah Khilafiyyah
- Kaidah Dalam Ranah Khilafiyah
- Tidak Hanya Dalil Tapi Pemahaman Terhadap Dalil Juga Penting
- Menulis Khilafiyah Secara Proporsional )
- Khilaf Para Ulama