Hukum Berdoa Dengan Bahasa Indonesia Dalam Shalat
Sebelum salam di akhir tasyahud akhir ada anjuran untuk memperbanyak doa. Demikian pula ketika sujud, setelah selesai membaca bacaan sujud dianjurkan untuk memperbanyak doa karena doa ketika itu mustajab.
Bolehkah doa di dua kesempatan di dalam shalat ini menggunakan bahasa Indonesia, Jawa, Sunda atau lainnya?
Mari simak uraian berikut ini:
(وَمَنْ عَجَزَ عَنْهُمَا) أَيْ: التَّشَهُّدِ وَالصَّلَاةِ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَهُوَ نَاطِقٌ، وَالْكَلَامُ فِي الْوَاجِبَيْنِ لِمَا سَيَأْتِي (تَرْجَمَ) عَنْهُمَا وُجُوبًا؛ لِأَنَّهُ لَا إعْجَازَ فِيهِمَا.
أَمَّا الْقَادِرُ فَلَا يَجُوزُ لَهُ تَرْجَمَتُهُمَا، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ
“Siapa saja yang tidak bisa membaca bacaan tasyahud dan shalawat Nabi dalam bahasa Arab padahal dia bisa berbicara, bukan bisu wajib baginya membaca terjemahannya. Dua bacaan ini boleh diterjemahkan karena tidak ada kemukjizatan aspek bahasa pada kedua bacaan ini.
Sedangkan orang yang membacanya dalam bahasa Arab itu tidak boleh membaca versi terjemahan dari bacaan tasyahud dan shalawat Nabi. Shalat orang tersebut batal jika membaca versi terjemahan dari bacaan tasyahud dan shalawat padahal mampu membacanya dalam bahasa Arab.
(وَيُتَرْجِمُ لِلدُّعَاءِ) الْمَنْدُوبِ (وَالذِّكْرِ الْمَنْدُوبِ) نَدْبًا كَالْقُنُوتِ وَتَكْبِيرَاتِ الِانْتِقَالَاتِ وَتَسْبِيحَاتِ الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ (الْعَاجِزُ) لِعُذْرِهِ (لَا الْقَادِرُ) لِعَدَمِ عُذْرِهِ (فِي الْأَصَحِّ) فِيهِمَا كَالْوَاجِبِ لِحِيَازَةِ الْفَضِيلَةِ.
وَالثَّانِي: يَجُوزُ لِلْقَادِرِ أَيْضًا لِقِيَامِ غَيْرِ الْعَرَبِيَّةِ مَقَامَهَا فِي أَدَاءِ الْمَعْنَى.
وَالثَّالِثُ: لَا يَجُوزُ لَهُمَا، إذْ لَا ضَرُورَةَ إلَيْهِمَا، بِخِلَافِ الْوَاجِبِ، وَلَفْظُ الْمَنْدُوبِ زَادَهُ عَلَى الْمُحَرَّرِ، وَلَوْ عَبَّرَ بِالْمَأْثُورِ كَانَ أَوْلَى، فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ.
Adapun doa dan dzikir shalat yang hukumnya sunnah semisal bacaan qunut, takbir-takbir intiqal, bacaan tasbih ketika ruku’ dan sujud, bolehkah dibaca versi terjemahan tanpa versi berbahasa Arabnya? Ada tiga pendapat ulama Syafiiyah.
Pendapat pertama boleh bagi yang tidak mampu membaca dalam bahasa Arab karena tidak bisa membaca dalam bahasa Arab adalah udzur/alasan yang bisa diterima sedangkan bagi yang mampu membaca versi arabnya tidak boleh karena dia tidak memiliki alasan yang bisa diterima dalam doa dan dzikir yang sunnah. Doa dan dzikir yang sunnah itu sama seperti bacaan yang hukumnya wajib dalam hal meraih pahala dan keutamaan.
Ini adalah pendapat yang ashah (paling kuat dalam Mazhab Syafii).
Kedua, orang yang mampu membaca dalam bahasa Arab itu hukumnya sama dengan yang bisa membaca dalam bahasa Arab yaitu boleh membaca versi terjemahannya karena untuk doa dan dzikir sunnah versi terjemahan itu bisa menggantikan versi aslinya berbahasa Arab dalam aspek penyampaian pesan.
Ketiga, baik yang bisa membaca versi aslinya berbahasa Arab ataupun yang tidak bisa sama saja tidak boleh membaca versi terjemahannya karena tidak ada kebutuhan mendesak untuk diterjemahkan mengingat hukumnya sunnah tidak wajib.
Yang dimaksud doa dan dzikir yang sunnah adalah doa dan dzikir yang ma’tsur (berasal dari al-Qur’an atau hadis) karena tiga pendapat ini hanya terkait bacaan doa dan dzikir yang ma’tsur.
أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ.
Sedangkan doa atau dzikir yang tidak ma’tsur, yaitu doa dan dzikir yang dibuat-buat dalam bahasa non Arab tidak boleh diucapkan ketika shalat sebagaimana dinukil oleh ar-Rafii dari Imam Haramain. Jika hal dilanggar shalat orang tersebut batal” Mughni Muhtaj, kitab Fiqh Syafiiyah karya al-Khatib asy-Syirbini 1/384-385.
Berdasarkan kutipan di atas dan lainnya, saat menjawab pertanyaan “Bagaimana hukum membaca doa dalam bahasa Indonesia (ajam) di dalam shalat?” Lembaga Bahtsul Masail PW NU Jawa Timur memberikan jawaban sebagai berikut,
“Hukumnya tafsil (perlu dirinci) sebagaimana berikut:
1. Apabila doa/adzkar tersebut termasuk rukun shalat maka wajib membacanya terjemahannya bagi orang yang tidak mampu berbahasa Arab (‘ajiz).
2. Apabila doa/adzkar tersebut bukan termasuk rukun shalat dan doa itu ma’tsurah/mandubah, dianjurkan maka sah shalatnya bagi orang yang memang ‘ajiz (tidak mampu membaca versi aslinya berbahasa Arab).
3. Apabila doa/adzkar tersebut tidak ma’tsurah (mengarang sendiri dalam bahasa non Arab) maka shalatnya batal secara mutlak baik ‘ajiz (tidak bisa membaca dalam bahasa Arab) ataupun bukan”.
Tim PW LBM NU Jawa Timur, NU Menjawab Problematika Umat (Surabaya: PW LBM NU Jawa Timur, 2015), 1/17-18.
Aris Munandar
Sumber FB Ustadz : Aris Munandar
