
Hasan-Qabih yang Disalahpahami
Dalam sejarah pemikiran Islam, perdebatan kemampuan akal dalam mengetahui hukum Tuhan mungkin salah satu tema yang tak surut dibicarakan.
Para ulama dari berbagai aliran sepakat bahwa hukum taklifi maupun hukum wad‘i, pada hakikatnya bersumber dari Allah semata. Karena ini mereka berkata: لا حكم إلا لله, yang berarti "Tidak ada hukum kecuali milik Allah".
Titik tengkar muncul ketika para teolog berbicara tentang bagaimana hukum itu diketahui sebelum datangnya wahyu. Di sinilah letak perdebatan panjang antara Asy‘ariyah dan Mu‘tazilah, yang kelak juga melahirkan "penengah" dua kecenderungan ini; Maturidiyah.
Menurut Asy‘ariyah, sumber pengetahuan hukum hanyalah para rasul. Akal tidak memiliki jalan untuk mengetahui hukum Allah tanpa bimbingan wahyu. Karena itu, Allah tidak menetapkan hukum atas perbuatan manusia sebelum turunnya syariat. Dengan kata lain, pembebanan hukum baru berlaku setelah wahyu turun.
Karena itu, jika secara hipotesis Allah memerintahkan kekufuran dan melarang keimanan, maka kekufuran akan menjadi baik dan keimanan menjadi buruk. Jadi, kedaulatan wahyu atas hukum mutlak.
Sementara Mu‘tazilah, akal memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum Allah.
Pandangan ini berpulang pada perdebatan di arena hasn (baik) dan qabh (buruk).
Hasn dengan makna sesuatu yang apabila dilakukan akan mendapat pujian di dunia dan pahala di akhirat, dan qabh dimaknai sebagai sesuatu yang apabila dilakukan akan mendapat celaan di dunia dan siksa di akhirat.
Allah, menurut mereka, menetapkan hukum berdasarkan sifat baik (hasn) dan buruk (qabh) yang keduanya dapat diketahui akal, baik karena hakikat perbuatan itu sendiri maupun karena pertimbangan tertentu.
Seperti mengetahui bahwa kejujuran yang bermanfaat itu baik dan kedustaan yang merugikan itu buruk. Syariat, dalam hal ini, berfungsi sebagai penjelas apa yang telah diketahui oleh akal sebelumnya.
Konsekuensinya, orang yang belum sampai wahyu tetap dibebani tanggung jawab hukum untuk mengikuti petunjuk akalnya. Jika ia berbuat buruk menurut penilaian akalnya, ia layak mendapat hukuman, karena telah melanggar pengetahuan moral yang dianugerahkan.
Di antara dua pandangan di atas, muncul pemikiran Abu Mansur al-Maturidi dan para pengikutnya. Maturidiyah mencoba memadukan peranan akal dengan pengakuan atas supremasi wahyu.
Bagi mereka, hasan (baik) dan qabih (buruk) dapat diketahui oleh akal, tetapi pengetahuan itu belum tentu menimbulkan kewajiban syar‘i. Artinya, akal mampu memahami makna moral dari suatu perbuatan, namun pembebanan hukum tetap bergantung pada datangnya wahyu.
Generasi awal Maturidiyah bahkan menyungguhkan bahwa kewajiban beriman kepada Tuhan dapat diketahui oleh akal tanpa perlu menunggu syariat. Dalam hal ini, mereka sejalan dengan Mu‘tazilah.
Namun bedanya; mereka tidak meyakini bahwa Allah wajib memberikan pahala atau hukuman berdasarkan penilaian akal. Allah berhak mengampuni siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Sementara generasi belakangan Maturidiyah memperhalus pandangan tersebut. Mereka mengakui kemampuan akal dalam memahami kebaikan dan keburukan, tetapi menegaskan bahwa taklif (pembebanan hukum) baru berlaku setelah risalah sampai kepada seseorang. Sebelum itu, manusia belum terikat secara hukum, walaupun secara akal ia dapat memahami nilai-nilai moral dasar.
___
Asy‘ariyah menegaskan keagungan dan kemahakuasaan Tuhan secara mutlak, hingga hukum menjadi sepenuhnya bersumber dari kehendak-Nya. Mu‘tazilah, sebaliknya; menempatkan akal sebagai ukuran keadilan Tuhan. Sedangkan Maturidiyah berusaha menempuh jalan tengah, menerima rasionalitas moral, namun tetap menjaga supremasi wahyu sebagai penentu akhir hukum.
Jadi, khusus untuk Mu‘tazilah dalam pandangan sebagian orang, sering disalahpahami. Mereka dalam hal ini tidak sedang menolak bahwa Allah Ta‘ala adalah satu-satunya pembuat hukum. Tidak.
Sayangnya, beberapa Mukthasar, seperti Jam' al-Jawami' dan Lub Ushul, menggunakan ungkapan yang cenderung disalahpahami oleh pembaca. Di sini, kita perlu perbanyak bacaan.
Jam' al-Jawami':
والحسن والقبح بمعنى ملاءمة الطبع ومنافـرته وصفة الكمال والنقص عقلي، وبمعنى ترتب الذم عاجلا والعقاب آجلا شرعي، خلافا للمعتزلة
Lub al-Ushul:
وعندنا أن الحسن والقبح بمعنى ترتب الذم حالا والعقاب مالا شرعيان
Sumber FB Ustadz : Zulkarnaini Ar