๐๐จ๐๐ง๐ ๐๐๐ก ๐ฃ๐๐ก๐๐๐๐จ๐๐ก ๐๐๐ก๐จ ๐ค๐จ๐๐๐ ๐๐ ๐ ๐จ๐๐๐ช๐๐๐๐จ๐ก
Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq
Di antara hal yang terus menjadi perdebatan terkait al imam Qudamah adalah terkait apakah beliau termasuk pengikut madzhab Tafwidh seperti yang dipegang oleh kalangan Asy’ariyah dan Maturidiyah ataukah termasuk pengikut madzhab istbat (menetapkan sifat). Masalah ini telah menempati ruang yang besar dalam perdebatan di lingkungan akademik.
Tentang pembuktian bahwa beliau tidak pernah meninggalkan itsbat sebagaimana itu diklaim sebagai madzhab “resmi” dalam Hanabilah sudah banyak kita temukan bahasannya. Yang belum banyak kita temukan adalah data sebaliknya yang bisa menjadi pembanding yang membuktikan bahwa beliau dalam masalah ini termasuk bermadzhab dengan madzhab Tafwidh.
Padahal sumber data ini bukan hanya bisa kita gali dari pernyataan imam Ibnu Qudamah sendiri, tapi juga pengakuan dari “Kawan” yang dianggap masih dalam lingkup circle Hanabilah.
Berikut ini adalah beberapa pernyataan tersurat maupun tersirat dari beberapa ulama bahwa al imam Ibnu Qudamah adalah termasuk ulama yang bermadzhab tafwidh makna dalam masalah sifat-sifat khabariyah. Bentuk tersurat adalah pernyataan tegas yang menyebut beliau memang termasuk mufawidhun, sedangkan tersiratnya menyebut beliau berpendapat dengan pendapat yang dikenal sebagai metode ahli tafwidz seperti menyatakan sifat-sifat khabariyah tersebut termasuk jenis ayat yang mutasyabihat.
Hal ini mungkin ada yang tidak tahu, bahwa kalangan Asy’ariyah, Maturidiyah dan sebagian Hanabilah berpendapat bahwa ada ayat-ayat yang mutasyabihat sebagaimana yang diinformasikan dalam firman Allah :
َُูู ุงَّูุฐِู ุฃَูุฒََู ุนَََْููู ุงِْููุชَุงุจَ ู ُِْูู ุขَูุงุชٌ ู ُّุญَْูู َุงุชٌ َُّูู ุฃُู ُّ ุงِْููุชَุงุจِ َูุฃُุฎَุฑُ ู ُุชَุดَุงุจَِูุงุชٌ ۖ َูุฃَู َّุง ุงَّูุฐَِูู ِูู ُُูููุจِِูู ْ ุฒَْูุบٌ ََููุชَّุจِุนَُูู ู َุง ุชَุดَุงุจََู ู ُِْูู ุงุจْุชِุบَุงุกَ ุงِْููุชَْูุฉِ َูุงุจْุชِุบَุงุกَ ุชَุฃِِِْูููู ۗ َูู َุง َูุนَْูู ُ ุชَุฃَُِْูููู ุฅَِّูุง ุงَُّููู ۗ َูุงูุฑَّุงุณِุฎَُูู ِูู ุงْูุนِْูู ِ ََُُูููููู ุขู ََّูุง ุจِِู ٌُّูู ู ِّْู ุนِูุฏِ ุฑَุจَِّูุง ۗ َูู َุง َูุฐََّّูุฑُ ุฅَِّูุง ุฃُُููู ุงْูุฃَْูุจَุงุจِ
"Dia lah yang menurunkan al Kitab kepadamu. Di antara ( isinya ada ayat-ayat Muhkamat, itulah pokok-pokok Kitab dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong pada kesesatan, maka mereka mengikuti mutasyabihat daripadanya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya,
padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya melainkan orang-orang yang berakal." (QS. Ali Imran : 3)
Sedangkan sebagian ulama di antaranya adalah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan yang mengikuti pendapatnya menyatakan tidak ada ayat-ayat yang mutasyabihat dalam artian tidak diketahui maknanya. Semua ayat al Qur’an ada maknanya. Adapun maksud ayat tersebut adalah ia tidak diketahui oleh sebagian ulama maknanya, tetapi diketahui oleh ulama yang lain.
Nah di sini lah al imam Ibnu Qudamah dan tentunya beberapa ulama Hanabilah yang lainnya satu dalam titik temu dengan Asy’ariyah dan Maturidiyah tentang adanya ayat musytabihat, yakni ayat -ayat yang maknanya hanya Allah ta’ala yang mengetahuinya. Langsung saja kita masuk kepembuktiannya, selamat menyimak.
๐๐๐ธ๐๐ถ ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐ป๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป ๐ฑ๐ฎ๐ฟ๐ถ ๐๐น๐ฎ๐บ๐ฎ
Yang kami tampilkan di sini tentu adalah para ulama yang semadzhab atau setidaknya dianggap seperti itu. Karena jika yang kami hadirkan adalah pendapat dari kalangan luar kelompok, semisal dari ulama Asy’ariyah tentu nantinya dituduh itu hanya klaim sepihak, dan pembuktiannya dianggap tidak valid.
๐ฆ๐๐ฎ๐ถ๐ธ๐ต๐๐น ๐๐๐น๐ฎ๐บ ๐ฎ๐น ๐ถ๐บ๐ฎ๐บ ๐๐ฏ๐ป๐ ๐ง๐ฎ๐ถ๐บ๐ถ๐๐ฎ๐ต (w 728 H) rahimahullah berkata :
ู ู ู ุงุซุจุช ุงูุนูู ุจุงูุนูู ู ุฌุนูู ู ู ุงูุตูุงุช ุงูุนูููุฉ: ูุฃุจู ู ุญู ุฏ ุจู ููุงุจ ู ุฃุจู ุงูุญุณู ุจู ุงูุฒุงุบููู ู ู ู ูุงููู ู ูุงููุงุถู ุฃุจู ูุนูู ูู ุขุฎุฑ ููููู ู ุฃุจู ู ุญู ุฏ: ุงุซุจุชูุง ุงูุนูู ู ุฌุนููุง ุงูุงุณุชูุงุก ู ู ุงูุตูุงุช ุงูุฎุจุฑูุฉ ุงูุชู ูููููู ูุง ูุนูู ู ุนูุงูุง ุงูุง ุงููู " ู ุงู ูุงููุง ู ู ู ูุฑู ุงู ุงูููููุฉ ู ุงูุนูู ุงูุถุง ู ู ุงูุตูุงุช ุงูุฎุจุฑูุฉ ูููู ุงููุงุถู ุฃุจู ุจูุฑ ู ุงูุซุฑ ุงูุงุดุนุฑูุฉ ู ููู ุงููุงุถู ุฃุจู ูุนูู ูู ุฃูู ููููู ู ุงุจู ุนููู ูู ูุซูุฑ ู ู ููุงู ู ู ุฃุจู ุจูุฑ ุงูุจูููู ู ุฃุจู ุงูู ุนุงูู ู ุบูุฑูู ู ู ู ุณูู ู ุณูู ุงููุฆู
“Dan barangsiapa yang menetapkan sifat Ketinggian (Allah) dengan akal dan menjadikannya termasuk sifat-sifat rasional, seperti Abu Muhammad Ibnu Kullab dan Abu al Hasan Ibnu Az Zaghuni serta orang yang sependapat dengannya, dan seperti al Qadi Abu Ya'la dalam pendapatnya yang terakhir, dan juga Ibnu Qudamah (Abu Muhammad).
Mereka menetapkan sifat Ketinggian dan menjadikan sifat Istiwa’ sebagai bagian dari sifat-sifat Khobariyyah (sifat yang informasinya datang dari teks), yang mana mereka berkata bahwa tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah.
Meskipun mereka termasuk orang yang berpendapat bahwa sifat di atas dan Ketinggian juga termasuk dari sifat-sifat Khobariyyah, seperti pendapat al Qadi Abu Bakar, mayoritas Asy'ariyah, pendapat al Qadi Abu Ya'la yang pertama, Ibnu 'Aqil dalam banyak ucapannya. Lalu Abu Bakar Baihaqi, Abu al Ma'ali (al imam Juwaini), dan selain mereka yang menempuh jalan itu.”[1]
๐ฆ๐๐ฎ๐ถ๐ธ๐ต ๐๐ฏ๐ฟ๐ฎ๐ต๐ถ๐บ ๐๐น๐ ๐ฆ๐๐ฎ๐ถ๐ธ๐ต (w1389 H) berkata :
ุฃู ุง ู ุง ุฐูุฑู ูู ุงููู ุนุฉ ููู ููุทุจู ุนูู ู ุฐูุจ ุงูู ููุถุฉ، ููู ู ู ุดุฑ ุงูู ุฐุงูุจ ูุฃุฎุจุซูุง.ุญุชู ูุงููุง: ุฅู ู ุฐูุจ ุงูู ููุถุฉ ุดุฑ ู ู ุงูู ุคููุฉ
“Adapun apa yang disebutkan dalam al Lum'ah (oleh al imam Ibnu Qudฤmah), maka itu sesuai dengan mazhab al Mufawidhah (kaum Tafwiแธz ma’na), dan ia adalah salah satu madzhab yang paling buruk dan paling keji. Bahkan mereka berkata: Sesungguhnya madzhab al Mufawwiแธah itu lebih buruk daripada al Mu'awwilah (kaum Ta'wil).”[2]
๐ฆ๐๐ฎ๐ถ๐ธ๐ต ๐จ๐๐๐ฎ๐ถ๐บ๐ถ๐ป (w 1421 H) rahimahullah berkata :
ุฃู ุง ู ุง ุฐูุฑู ุงุจู ูุฏุงู ุฉ ูุฅูู ููุทุจู ุนูู ู ุฐูุจ ุงูู ููุถุฉ ููู ุดุฑ ุงูู ุฐุงูุจ ูุฃุฎุจุซูุง
"Adapun apa yang disebutkan oleh Ibnu Qudamah, maka ini telah bersesuaian dengan madzhab al Mufawwiแธah, dan ia adalah seburuk-buruknya dan sekeji-kejinya madzhab."[3]
๐ฆ๐๐ฎ๐ถ๐ธ๐ต ๐๐ฏ๐ฑ๐๐ฟ๐ฟ๐ฎ๐๐ฎ๐พ ๐ฎ๐น ๐๐ณ๐ถ๐ณ๐ถ (w 1415 H) berkata :
ููุฏ ุบูุท ุงุจู ูุฏุงู ุฉ ูู «ูู ุนุฉ ุงูุงุนุชูุงุฏ»، ููุงู: ุจุงูุชูููุถ. ูููู ุงูุญูุงุจูุฉ ูุชุนุตุจูู ููุญูุงุจูุฉ، ููุฐูู ูุชุนุตุจ ุจุนุถ ุงูู ุดุงูุฎ ูู ุงูุฏูุงุน ุนู ุงุจู ูุฏุงู ุฉ، ّูููู ุงูุตุญูุญ ุฃู ุงุจู ูุฏุงู ุฉ ู ّููุถ
“Dan sungguh Ibnu Qudamah telah keliru dalam (Lum'at al I'tiqad) karena dia berkata: dengan at Tafwiแธ. dan para ulama แธคanabilah cenderung fanatik terhadap sesama แธคanabilah, oleh karena itu sebagian Masyaikh mereka fanatik dalam membela Ibnu Qudamah. Namun, yang benar adalah bahwa Ibnu Qudamah dalam hal ini adalah termasuk Mufawwiแธh.”[4]
๐๐๐ธ๐๐ถ ๐ฝ๐ฒ๐ฟ๐ป๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐น๐ถ๐ฎ๐
Berikut adalah pembuktian kedua yang kami cukupkan dengan mengambil langsung dari karya al imam Ibnu Qudamah. Karena jika yang kami hadirkan berasal dari tulisan orang lain, apalagi dari luar Hanabilah nanti dikatakan itu hanya penafsiran atau bahkan klaim semata.
๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐๐ฎ๐บ๐ฎ: ๐ง๐ฎ๐ณ๐๐ถ๐ฑ ๐ฏ๐ฒ๐น๐ถ๐ฎ๐ ๐๐ฒ๐ฟ๐ต๐ฎ๐ฑ๐ฎ๐ฝ ๐๐ถ๐ณ๐ฎ๐ ๐๐ฎ๐ป๐ด ๐ ๐๐๐๐ฎ๐ฏ๐ถ๐ต๐ฎ๐ต
Ketika beliau menjelaskan perbedaan antara sifat-sifat yang menimbulkan prasangka tasbih (penyerupaan) seperti tangan, mata dan wajah dengan yang tidak menimbulkan prasangka tasbih seperti kuasa, pendengaran dan penglihatan, beliau lalu berkata :
ูู ุง ุฃุดูู ู ู ุฐูู ูุฌุจ ุฅุซุจุงุชู ููุธุง ูุชุฑู ุงูุชุนุฑّุถ ูู ุนูุงู
"Dan apa yang sulit (mustabihat) dari hal tersebut wajib ditetapkan lafadznya dan meninggalkan pembahasan mengenai maknanya"[5]
๐๐ฒ๐ฑ๐๐ฎ: ๐๐ฒ๐น๐ถ๐ฎ๐ ๐บ๐ฒ๐ป๐ท๐ฎ๐ฑ๐ถ๐ธ๐ฎ๐ป ๐๐๐ฎ๐-๐๐๐ฎ๐ ๐ฆ๐ถ๐ณ๐ฎ๐ ๐๐ฒ๐ฏ๐ฎ๐ด๐ฎ๐ถ ๐ ๐๐๐ฎ๐๐๐ฎ๐ฏ๐ถ๐ต
Beliau rahimahullah berkata:
ูุงูุตุญูุญ ุฃู ุงูู ุชุดุงุจู: ู ุง ูุฑุฏ ูู ุตูุงุช ุงููู ุณุจุญุงูู ู ู ุง ูุฌุจ ุงูุฅูู ุงู ุจู، ููุญุฑู ุงูุชุนุฑุถ ูุชุฃูููู، ููููู ุชุนุงูู: {ุงูุฑุญู ู ุนูู ุงูุนุฑุด ุงุณุชูู}، {ุจู ูุฏุงู ู ุจุณูุทุชุงู}، {ูู ุง ุฎููุช ุจูุฏู}، {ููุจูู ูุฌู ุฑุจู}، {ุชุฌุฑู ุจุฃุนูููุง}، ููุญูู
"Dan yang shahih adalah bahwa al Mutasyabih (ayat yang samar) adalah: apa yang termuat dalam sifat-sifat Allah Subhanahu wa ta’ala, yang mana wajib diimani dan haram membahas takwilnya seperti firman Allah Ta'ala: “Yang Maha Pengasih beristiwa’ di atas 'Arsy (Taha: 5), “Bahkan kedua tangan-Nya terbentang” (Al Ma'idah: 64), “terhadap apa yang telah Aku ciptakan dengan kedua tangan-Ku” (Sad: 75), “dan tetap kekal Wajah Rabb-mu” (Ar Rahman: 27), {berlayar di bawah pengawasan Kami} (Al Qamar: 14), dan yang semisalnya"[6]
Beliau juga berkata:
ูุซุจุช ุจู ุง ุฐูุฑูุงู ู ู ุงููุฌูู ุฃู ุชุฃููู ุงูู ุชุดุงุจู ูุง ูุนูู ู ุฅูุง ุงููู ุชุนุงูู، ูุฃู ู ุชّุจุนู ู ู ุฃูู ุงูุฒูุบ، ูุฃูู ู ุญุฑู ุนูู ูู ุฃุญุฏ، ูููุฒู ู ู ูุฐุง ุฃู ูููู ุงูู ุชุดุงุจู ูู ู ุง ูุชุนّูู ุจุตูุงุช ุงููู ุชุนุงูู ูู ุง ุฃุดุจูู
"Maka, telah terbukti dengan berbagai sisi yang telah kami sebutkan bahwa takwil ayat Mutasyabih tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah Ta'ala, dan pengikutnya termasuk ahli Penyimpangan dan bahwa ia adalah haram bagi setiap orang. Dan konsekuensi dari ini adalah bahwa ayat mutasyabih adalah apa yang terkait dengan sifat-sifat Allah Ta'ala dan yang menyerupainya"[7]
๐๐ฒ๐๐ถ๐ด๐ฎ: ๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ป๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ด๐ฎ๐ ๐ฏ๐ฒ๐น๐ถ๐ฎ๐ ๐๐ฒ๐ป๐๐ฎ๐ป๐ด ๐๐ฎ๐ณ๐๐ถ๐ฑ๐ต ๐บ๐ฎ๐ธ๐ป๐ฎ ๐๐ถ๐ณ๐ฎ๐
Beliau rahimahullah berkata:
ูุฅูู ูุง ุญุงุฌุฉ ููุง ุฅูู ุนูู ู ุนูู ู ุง ุฃุฑุงุฏ ุงููู ุชุนุงูู ู ู ุตูุงุชู ุฌู ูุนุฒ، ูุฅูู ูุง ูุฑุงุฏ ู ููุง ุนู ู، ููุง ูุชุนّูู ุจูุง ุชูููู ุณูู ุงูุฅูู ุงู ุจูุง. ููู ูู ุงูุฅูู ุงู ุจูุง ู ู ุบูุฑ ุนูู ู ุนูุงูุง، ูุฅู ุงูุฅูู ุงู ุจุงูุฌูู ุตุญูุญ
"Sesungguhnya kita tidak memerlukan pengetahuan tentang makna yang Allah Jalla wa 'Azza kehendaki dari sifat-sifat-Nya, karena tidak ada amal yang dimaksudkan darinya, dan tidak ada kewajiban yang terkait dengannya selain mengimaninya. Dan mungkin saja mengimaninya tanpa mengetahui maknanya, karena keimanan dengan ketidaktahuan adalah sah"[8]
๐๐ฒ๐ฒ๐บ๐ฝ๐ฎ๐: ๐ฃ๐ฒ๐ฟ๐ป๐๐ฎ๐๐ฎ๐ฎ๐ป ๐ฏ๐ฒ๐น๐ถ๐ฎ๐ ๐ฑ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐น๐ฎ๐ณ๐ฎ๐ฑ๐ ๐๐ฎ๐ณ๐๐ถ๐ฑ๐ต
Beliau rahimahullah berkata:
ุฃู ููููู : {ุขู ูุง ุจู ูู ู ู ุนูุฏ ุฑุจูุง} ููุงู ูุดุนุฑ ุจุงูุชูููุถ ูุงูุชุณููู ูู ุง ูู ูุนูู ูู؛ ูุนูู ูู ุจุฃูู ู ู ุนูุฏ ุฑุจูู ูู ุง ุฃู ุงูู ุญูู ุงูู ุนููู ู ุนูุงู ู ู ุนูุฏู
“Bahwa perkataan mereka: {Kami beriman kepadanya, semuanya dari sisi Rabb kami} adalah perkataan yang mengindikasikan Tafwidh dan kepasrahan terhadap apa yang tidak mereka ketahui; karena pengetahuan mereka bahwa itu dari sisi Rabb mereka, sebagaimana al Muhkam (yang jelas) yang maknanya diketahui juga dari sisi-Nya" [9]
๐๐ฒ๐น๐ถ๐บ๐ฎ: ๐๐ฎ๐ป๐๐ฎ ๐บ๐ฒ๐ป๐ฒ๐๐ฎ๐ฝ๐ธ๐ฎ๐ป ๐น๐ฎ๐ณ๐ฎ๐ฑ๐ ๐ฑ๐ฎ๐ป ๐ป๐ฎ๐บ๐ฎ-๐ป๐ฎ๐บ๐ฎ
Beliau rahimahullah berkata:
ูุฃู ุง ุฅูู ุงููุง ุจุงูุขูุงุช ูุฃุฎุจุงุฑ ุงูุตูุงุช ูุฅูู ุง ูู ุฅูู ุงู ุจู ุฌุฑุฏ ุงูุฃููุงุธ ุงูุชู ูุง ุดّู ูู ุตุญุชูุง ููุง ุฑูุจ ูู ุตุฏููุง، ููุงุฆููุง ุฃุนูู ุจู ุนูุงูุง، ูุขู ูุง ุจูุง ุนูู ุงูู ุนูู ุงูุฐู ุฃุฑุงุฏ ุฑุจูุง ุชุจุงุฑู ูุชุนุงูู
"Adapun keimanan kami pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat sifat, sesungguhnya ia hanyalah keimanan pada semata-mata lafadz yang tidak diragukan kesahihannya dan tidak diragukan kebenarannya, dan yang mengucapkannya (qailuha) lebih mengetahui maknanya. Maka, kami beriman dengannya di atas makna yang Rabb kami Tabaraka wa Ta'ala kehendaki"[10]
Beliau juga berkata:
ูุง ุชุนูู ุตูุงุชู ูุฃุณู ุงุคู ุฅูุง ุจุงูุชูููู، ูุงูุชูููู ุฅูู ุง ูุฑุฏ ุจุฃุณู ุงุก ุงูุตูุงุช ุฏูู ููููุชูุง ูุชูุณูุฑูุง
"Sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak diketahui kecuali melalui tauqif (berhenti pada nash), dan tauqif itu hanya datang dengan nama-nama sifat, bukan dengan kaifiyyah-nya (bentuknya) dan tafsir-nya (penjelasannya)"[11]
๐๐ฒ๐ฒ๐ป๐ฎ๐บ: ๐ฃ๐ฒ๐ป๐๐ฒ๐ฟ๐๐ฝ๐ฎ๐ฎ๐ป ๐๐ฒ๐ฟ๐ต๐ฎ๐ฑ๐ฎ๐ฝ ๐ฎ๐๐ฎ๐ ๐๐ถ๐ณ๐ฎ๐ ๐ฑ๐ฒ๐ป๐ด๐ฎ๐ป ๐ต๐๐ฟ๐๐ณ ๐ ๐๐พ๐ฎ๐๐๐ฎ'๐ฎ๐ต
Beliau rahimahullah berkata:
ูุฅู ููู: ูููู ูุฎุงุทุจ ุงููู ุงูุฎูู ุจู ุง ูุง ูุนููููู؟ ุฃู ููู ููุฒู ุนูู ุฑุณููู ู ุง ูุง ูุทูุน ุนูู ุชุฃูููู؟ ูููุง: ูุฌูุฒ ุฃู ูููููู ุงูุฅูู ุงู ุจู ุง ูุง ูุทูุนูู ุนูู ุชุฃูููู؛ ููุฎุชุจุฑ ุทุงุนุชูู ، ูู ุง ูุงู ุชุนุงูู: {ูููุจููููู ุญุชู ูุนูู ุงูู ุฌุงูุฏูู ู ููู ูุงูุตุงุจุฑูู}، {ูู ุง ุฌุนููุง ุงููุจูุฉ ุงูุชู ููุช ุนูููุง ุฅูุง ููุนูู } ุงูุขูุฉ، {ูู ุง ุฌุนููุง ุงูุฑุคูุง ุงูุชู ุฃุฑููุงู ุฅูุง ูุชูุฉ ูููุงุณ}، ููู ุง ุงุฎุชุจุฑูู ุจุงูุฅูู ุงู ุจุงูุญุฑูู ุงูู ูุทุนุฉ ู ุน ุฃูู ูุง ูุนูู ู ุนูุงูุง
"Jika dikatakan: 'Bagaimana Allah mengajak bicara makhluk dengan apa yang tidak mereka pahami? Atau bagaimana Dia menurunkan kepada Rasul-Nya apa yang tidak diketahui ta'wil-nya?' Kami katakan: 'Dibolehkan bagi-Nya untuk membebani mereka keimanan dengan apa yang tidak mereka ketahui ta'wil-nya, untuk menguji ketaatan mereka, sebagaimana firman Allah Ta'ala: {Dan sungguh Kami akan menguji kamu hingga Kami mengetahui orang-orang yang berjihad di antara kamu dan orang-orang yang bersabar} (Muhammad: 31),
{Dan Kami tidak menjadikan kiblat yang dahulu kamu telah berkiblat kepadanya melainkan untuk mengetahui} (Al Baqarah: 143), {Dan Kami tidak menjadikan mimpi yang telah Kami perlihatkan kepadamu, melainkan sebagai cobaan bagi manusia} (Al Isra: 60). Dan sebagaimana Dia menguji mereka dengan keimanan kepada huruf-huruf yang al Muqatta'ah padahal tidak diketahui maknanya.”[12]
๐ฃ๐ฒ๐ป๐๐๐๐ฝ
Di atas semua data yang telah kami sampaikan, kami tetap meyakini bahwa kebenaran itu bisa ada pada data tersebut yakni yang menyatakan bahwa beliau seorang mufawidh atau juga sebaliknya. Namun yang terpenting adalah dengan ini kita mengilmu pendapat masing-masing, bisa mendewasakan umat dan tetap bisa bersaudara dalam perbedaan setajam apapun selama tidak mengeluarkan dari keimanan.
Wallahu a’lam.
________________________________________
[1] Majmu’ Fatawa (10/166)
[2] At Ta’liqat ‘ala Syarh Lum’ah al I’tiqad hlm. 35
[3] At Ta’liqat ‘ala Syarh Lum’ah al I’tiqad hlm. 35
[4] Al Fatawiyah (1/153)
[5] Lum’atul I’tiqad hal. 5
[6] Raudhatun Nadzir hlm. 125
[7] Dzamut Takwil hlm 37
[8] Tahrim an Nadzar fi Kitab kalam hlm. 36
[9] Dzam at Takwil hlm. 36
[10] Tahrim an Nadzar fi Kitab kalam hlm. 59
[11] Dzam at Takwil hlm. 39
[12] Raudhatun Nadzir hlm. 5
Sumber FB Ustadz : Ahmad Syahrin Thoriq
