Fardhu dan Wajib

Fardhu dan Wajib

Fardhu dan Wajib

Istilah fardhu dan wajib adalah dua kata yang sinonim, yaitu dua nama untuk satu makna yang sama. Sebagaimana telah diketahui dari definisi ijab (kewajiban), keduanya berarti perbuatan yang dituntut untuk dilakukan dengan tuntutan yang tegas (pasti).

Namun, Abu Hanifah berbeda pendapat dalam masalah kesamaan makna keduanya. Ia berpendapat bahwa:

Jika suatu perbuatan ditetapkan dengan dalil yang bersifat qath‘i (pasti), seperti Al-Qur’an, maka perbuatan itu disebut fardhu. Contohnya adalah membaca Al-Qur’an dalam salat, yang didasarkan pada firman Allah Ta‘ala: Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.

Namun jika suatu perbuatan ditetapkan dengan dalil yang bersifat zhanni (dugaan kuat), seperti hadis ahad, maka perbuatan itu disebut wajib. Contohnya adalah membaca surat Al-Fatihah dalam salat, yang ditetapkan berdasarkan hadis sahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: ‘Tidak sah salat seseorang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.’

Menurut Abu Hanifah, orang yang meninggalkannya berdosa, tetapi salatnya tidak batal, berbeda dengan meninggalkan bacaan Al-Qur’an (secara umum) dalam salat.”

Dan perbedaan pendapat ini (antara jumhur dan Abu Hanifah) hanyalah perbedaan dalam istilah (lafzhi), yaitu kembali pada persoalan kata dan penamaan saja. Sebab inti permasalahannya adalah:

Apakah sesuatu yang ditetapkan dengan dalil yang pasti (qath‘i) yang dinamakan fardhu juga boleh disebut wajib. Dan apakah sesuatu yang ditetapkan dengan dalil yang bersifat dugaan kuat (zhanni) yang dinamakan wajib boleh pula disebut fardhu.

Menurut Abu Hanifah, tidak boleh, karena: Kata fardhu berasal dari kata faradha yang berarti memotong sesuatu, yaitu memisahkan sebagian darinya. Sedangkan kata wajib berasal dari kata wajaba yajibu yang berarti jatuh atau tetap. Dan sesuatu yang ditetapkan dengan dalil yang bersifat zhanni (tidak pasti) tidak termasuk dalam kategori sesuatu yang pasti (qath‘i), maka ia tidak dinamakan fardhu menurut beliau.”

Menurut kami (jumhur ulama), boleh keduanya (fardhu dan wajib) dapat saling digunakan untuk makna yang sama. Karena kata fardha bermakna menentukan ukuran sesuatu, dan kata wajaba bermakna menetap atau tetap adanya sesuatu.

Dan baik sesuatu yang ditentukan ukurannya maupun yang ditetapkan keberadaannya, keduanya lebih umum mencakup hal yang ditetapkan dengan dalil yang pasti (qath‘i) maupun dalil yang bersifat dugaan kuat (zhanni).Selain itu, dasar penamaan kami (jumhur) ini juga lebih banyak digunakan (lebih umum dipakai) dalam praktik dan istilah para ulama.

📚Kitab Jam'ul jawami' hal 88-89

Sumber FB Ustadz : Pardi Syahri

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Fardhu dan Wajib - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®