Makna Yang Layak Bagi Allah
Di antara kesepakatan Ahlussunah wal Jama'ah adalah menetapkan makna yang layak bagi Allah dan menafikan makna yang tidak layak baginya. Prakteknya adalah semisal kata istiwa' mempunyai makna yang layak dan tidak layak. Yang tidak layak tentu saja makna istiwa' yang berlaku pada makhluk, yaitu makna berada dalam lokasi fisik di atas benda fisik lain. Kita disebut istiwa' ketika duduk anteng di atas kursi, naik kendaraan, naik ke atas genteng dan seterusnya. Demikian juga matahari disebut istiwa' di atas Ka'bah ketika lokasinya lurus di atas Ka'bah. Makna lokasi ini, baik menempel seperti manusia saat duduk atau pun tidak menempel seperti matahari, tentu tidak layak diberlakukan pada Tuhan sebab Tuhan berbeda secara mutlak dari makhluk.
Lalu apa makna istiwa yang layak baginya?
Posisi Ahlussunah ada dua: Pertama adalah makna presisinya hanya Allah yang tahu, ini posisi tafwidh. Kedua,, adalah makna yang telah dikonfirmasi oleh dalil-dalil lain yang sahih dan dibenarkan secara bahasa, ini adalah posisi takwil. Posisi tafwidh adalah posisi default yang dipilih, namun seringkali kita dituntut untuk memilihkan maknanya agar tidak terjadi kekosongan makna dan penafian makna (ta'thil). Karena itu diperlukan pemilihan makna yang sesuai dengan kriteria di atas, salah satunya adalah ketinggian dan kesempurnaan kekuasaan Allah. Semua muslim akan menyepakati makna ini sebab ini keyakinan umum yang dalilnya melimpah. Kalau ada yang berkata bahwa Allah tidak tinggi dan sempurna kekuasaannya, maka pasti dia kafir.
Ada beberapa makna alternatif yang juga dapat diterima sebab memenuhi kriteria di atas, misalnya istiwa' adalah tindakan tertentu Allah yang khusus pada Arasy saja tanpa kita tahu bagaimana teknisnya, ini adalah pilihan terakhir Imam Abul Hasan al-Asy'ari. Ada juga yang memaknainya sebagai kekuasaan mutlak Allah atas segala sesuatu yang disimbolkan dengan penguasaannya atas Arasy selaku makhluk terbesar, ini pilihan banyak ulama Asy'ariyah dan Maturidiyah. Ada juga yang memaknainya sebagai tadbir alias perawatan Allah atas langit dan bumi yang telah tuntas diciptakan, sebagaimana dinyatakan dalam lanjutan ayatnya di mana setelah kata istawa diikuti kata yudabbir, ini adalah pendapat beberapa ahli tafsir dan ahli akidah. Meskipun semua makna alternatif ini sepintas berbeda tetapi secara substansi sama sehingga tidak saling menafikan namun saling melengkapi.
Foto:
Penetapan salah satu makna istiwa yang layak bagi Allah sebagai makna resmi dalam Bahasa Indonesia adalah shadaqah jariyah saya untuk bangsa Indonesia.
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad