Tentang Mujarrabat

Tentang Mujarrabat

Tentang Mujarrabat

Ketika seseorang sakit lalu ia minum obat tertentu, kemudian dengan izin Allah sakitnya sembuh berarti obat itu mujarrab. Obat yang mujarrab tidak mesti obat yang bermerek, dari apotik berkelas atau atas resep seorang dokter. Tak jarang obat yang mujarrab itu obat herbal atau obat kampung yang terkadang dipandang sebelah mata.

Tapi obat yang mujarrab untuk si A belum tentu mujarrab untuk si B. Karena itu si A tidak semestinya mengatakan pada orang lain bahwa obat ini manjur dan cocok untuk siapa saja. Banyak faktor yang menyebabkan kenapa obat A mujarrab untuk B tapi tidak untuk si C.

Ini hanya sebagai analogi. Dalam doa dan amalan, hal serupa juga berlaku. Ada doa dan amalan-amalan yang telah dicoba oleh para ulama dan orang-orang shaleh, dan ternyata berhasil mewujudkan hajat mereka. Tidak ada yang mengingkari hal ini. Bahkan, tokoh seperti Ibnu Taimiyah saja, yang mungkin diduga tidak akan percaya pada hal-hal seperti ini, ternyata memiliki amalan-amalan mujarrab yang biasa ia lakukan. Dan amalan-amalan itu tak ada dalil dari al-Quran atau hadits secara khusus.

Ibnu al-Qayyim dalam Madarij as-Salikin berkata, “Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, ketika mengalami masalah yang sangat berat, membuat hati resah-gelisah dan perasaan tidak tenang, ia akan membaca ayat-ayat as-sakinah (ada lima ayat dalam al-Quran). Setelah membaca itu hatinya menjadi tenang dan jiwanya langsung tentram.” Ibnu al-Qayyim melanjutkan, “Saya juga mencoba hal itu ketika hati sedang galau dan jiwa tidak tenang, dan saya merasakan efek positif seperti yang dirasakan Syaikhul Islam.”

Dalam al-Kalim at-Thayyib, Ibnu Taimiyah menukil perkataan Yunus bin Ubaid, “Siapa yang menunggang kuda atau onta yang agak liar lalu ia bacakan di telinganya:

أفغير دين الله يبغون وله اسلم من في السموات والأرض طوعا وكرها وإليه يرجعون

dengan izin Allah kuda atau onta itu akan tenang.” 

Ibnu Taimiyah berkomentar, “Kami sudah mencobanya dan memang demikian adanya dengan izin Allah Swt.”

*** 

Perlu diperhatikan, sebagian besar mujarrabat para ulama adalah sesuatu yang bersifat pengamalan. Baca ini atau lakukan ini. Apakah ada yang berbentuk tulisan? Misalnya, tuliskan ini maka akan begini. Ada. Tapi tidak banyak. Dan boleh jadi hal itu mujarrab karena keberkahan diri mereka, bukan dengan semata-mata menuliskan ayat atau doa tertentu.

Suatu kali al-Marrudzi (salah seorang murid Imam Ahmad) demam. Lalu Imam Ahmad menuliskan di sehelai kertas untuk ditempelkan ke kepala muridnya:

بسم الله الرحمن الرحيم بسم الله وبالله محمد رسول الله (قلنا يا نار كوني بردا وسلاما على إبراهيم وأرادوا به كيدا فجعلناهم الأخسرين) اللهه رب جبرائيل وميكائيل وإسرافيل اشف صاحب هذا الكتاب بحولك وقوتك وجبروتم إله الحق آمين 

Ini salah satu bentuk berobat dengan ayat al-Quran. Tapi Imam Ahmad tidak mengatakan bahwa siapa yang membaca ayat dan doa ini pasti sembuh. Ini hanya menegaskan bahwa al-Quran itu adalah obat, baik obat batin maupun obat lahir. 

Tapi ketika dikatakan bahwa siapa yang menulis basmalah di awal Muharram 113 kali (disebutkan juga: menulisnya tanpa harakat) maka orang yang membawa tulisan itu dan juga keluarganya tidak akan terkena bencana apapun selama hidupnya. Bukankah kita patut bertanya, apa dasarnya? Bukankah ini sebuah jaminan? Dan yang lebih spektakuler lagi dikatakan selama hidupnya? Siapa yang telah mencoba hal itu?

Sebagian orang menjawab hal ini cukup dengan mengatakan, “Kan itu ada di buku…”. Memangnya semua yang ada di buku mesti diterima begitu saja?

Mari perhatikan jaminan yang diberikan Rasulullah Saw dalam hadits berikut ini:

من قال بسم الله الذي لا يضر مع اسمه شيء في الأرض ولا في السماء وهو السميع الهليم ثلاث مرات لم تصبه فجأة بلاء حتى يصبح ومن قالها حين يصبح ثلاث مرات لم تصبه فجأة بلاء حتى يمسي (رواه أبو داود والترمذي)

“Siapa yang membaca bismillahilladzi… dst sebanyak tiga kali maka ia tidak akan terkena bala secara tiba-tiba sampai pagi hari. Dan siapa yang membacanya di waktu pagi tiga kali maka ia tidak akan ditimpa bala secara tiba-tiba sampai malam.”

Yang Nabi Saw anjurkan adalah membacanya, bukan menulisnya. Jaminan yang diberikan Nabi Saw adalah aman dari bencana yang datang secara tiba-tiba selama 12 jam, bukan aman dari musibah seumur hidup.

Kita tidak mengatakan bahwa setiap doa mesti ma`tsur. Tidak. Setiap amalan juga tidak mesti ma`tsur. Selama doa atau amalan itu tidak diklaim sebagai hadits, padahal bukan hadits, maka tidak mengapa.

Tapi kalau sudah ada jaminan dan ganjaran, kita perlu tahu apa dasarnya. Apalagi amal yang dianjurkan hanya berupa ‘menuliskan lafaz’ lalu disimpan. Mirip seperti jimat. Dengan jaminan yang tak tanggung-tanggung; tidak akan terkena bencana seumur hidup. Bukankah kita berhak tahu dasarnya apa? Dan apakah ini tidak akan membuat umat memilih cara yang pintas untuk aman dari bencana seperti yang diklaim dalam ungkapan itu? Kalau dengan menuliskannya saja bisa aman seumur hidup kenapa harus ‘capek-capek’ mengucapkan dan mengulang-ulangnya?

Dalam pandangan ulama hadits, diantara ciri hadits dha’if adalah kalau hadits itu bicara tentang amalan yang remeh tapi ganjarannya begitu besar. Kutipan dari buku tadi bukan hadits, bukan pula atsar sahabat. Apakah masih bisa diterima apalagi dijadikan sebagai sebuah keyakinan?

والله تعالى أعلم وأحكم

[YJ] 

Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Tentang Mujarrabat - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®