Keluwesan Ibnu Taimiyah yang Mesti Dicontoh Para Pengagumnya

Keluwesan Ibnu Taimiyah yang Mesti Dicontoh Para Pengagumnya

Keluwesan Ibnu Taimiyah yang Mesti Dicontoh Para Pengagumnya

Syekh Abdul Ghani al-Labadi dalam kitabnya Dalil an-Nasik li Ada` al-Manasik menukil pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah tentang wanita yang datang haid sebelum melaksanakan thawaf Ifadhah.

“Di musim haji setiap tahun selalu terjadi masalah bagi kebanyakan kaum wanita yaitu ketika seorang wanita mengalami haid sebelum sempat melaksanakan thawaf ifadhah (thawaf rukun dalam ibadah haji), sementara rombongannya akan segera pulang ke tanah air dan tak mungkin menunggunya suci.

Pada tahun 707 H, hal ini dialami oleh sebagian besar isteri para tokoh dan isteri kaum muslimin secara umum. Diantara wanita itu ada yang meminum obat untuk menghentikan darah haid selama satu hari atau lebih. Ada juga yang darah haidnya berhenti satu hari atau beberapa hari tanpa menggunakan obat. Kedua kelompok ini melaksanakan thawaf ifadhah saat darah haidnya berhenti. Sebagian mereka ada yang setelah selesai thawaf darah haidnya kembali mengalir.

Diantara mereka ada yang tetap melaksanakan thawaf sebelum darah haidnya berhenti, bahkan sebelum mandi sama sekali. Diantara mereka ada yang pulang bersama rombongannya tanpa melakukan thawaf terlebih dahulu. Hanya, ia sudah melakukan thawaf qudum dan sa’i saat pertama datang ke Mekah.

Jadi ada empat kelompok wanita dalam hal ini.

(Pertama, yang melakukan thawaf ifadhah saat darah haidnya berhenti karena minum obat. Kedua, yang melakukan thawaf ifadhah saat darah haidnya berhenti tanpa meminum obat. Ketiga, yang melakukan thawaf padahal darah haidnya belum berhenti. Keempat, yang pulang ke tanah air tanpa melakukan thawaf ifadhah sama sekali).

Hal ini sangat meresahkan mereka. Mereka takut haji mereka tidak sah. Padahal mereka datang dari negeri yang jauh, mengalami kesulitan yang sangat berat dan mengeluarkan biaya yang sangat banyak. Mereka bertanya pada ulama tentang hal ini, sampai-sampai mereka seperti orang kehilangan akal.

Apakah ada solusi untuk masalah yang mereka hadapi? Apakah ada kelapangan untuk mereka?

Maka saya memohon kepada Allah agar diberikan taufik dan petunjuk untuk memberikan kemudahan kepada hamba-hamba Allah dari mazhab para imam yang perbedaan pendapat mereka adalah rahmat bagi umat.

Akhirnya saya berkesimpulan bahwa dalam hal ini boleh ber-taqlid kepada masing-masing imam yang empat; dalam masalah A ber-taqlid kepada imam B dan untuk masalah C bertaqlid kepada imam D.

Berdasarkan hal ini saya menyimpulkan bahwa haji mereka semua adalah sah.

Untuk kelompok wanita pertama dan kedua, haji mereka sah berdasarkan salah satu pendapat dalam mazhab Imam Syafi’i bahwa ketika seorang wanita bersih dari darah haid berarti ia suci.

Untuk kelompok ketiga, haji mereka sah berdasarkan mazhab Abu Hanifah bahwa untuk thawaf tidak disyaratkan mesti suci dari hadats dan najis. Itu juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Untuk kelompok keempat, haji mereka sah berdasarkan salah satu riwayat dari Imam Malik bahwa orang yang sudah melaksanakan thawaf qudum lalu ia sa’i setelahnya, kemudian ia pulang ke daerahnya sebelum sempat thawaf ifadhah karena lupa atau tidak tahu, maka thawaf qudum itu sudah cukup untuknya. Sesungguhnya uzur haid jauh lebih nyata daripada uzur tidak tahu atau lupa.

Andaipun riwayat-riwayat ini tidak bisa diamalkan, atau takhrij seperti ini dianggap tidak sah, dan si wanita ingin keluar dari larangan ihram, maka solusi untuknya adalah kondisinya diqiyaskan kepada ushul mazhab Syafii, bahwa ketika seorang wanita sudah satu hari atau lebih melewati kota Mekah, dan tidak mungkin untuknya kembali lagi ke Mekah, karena mengkhawatirkan diri atau hartanya, maka kondisinya disamakan dengan al-muhshar (orang yang dikepung), sehingga ia bisa tahallul dan menyembelih seekor kambing sebagai denda.”

*** 

Pendapat Ibnu Taimiyah ini tentu bisa diperdebatkan. Akan tetapi pendapat ini bisa menunjukkan sisi lain dari Ibnu Taimiyah yang terlanjur dikesankan sebagai sosok mutasayaddid, kaku, tekstual dan anti mazhab oleh sebagian para pengagumnya.

Ibnu Taimiyyah adalah seorang tokoh utama dalam mazhab Hanbali. Tapi ia bukan tokoh satu-satunya. Bukan pula tokoh paling puncak dalam mazhab Hanbali. Tokoh lain seperti Imam Ibnu Qudamah jauh lebih di-rujuk dalam mazhab Hanbali daripada Ibnu Taimiyah. 

Disinilah perlunya objektifitas dalam memandang ketokohan seseorang. Tidak berlebihan memuji dan tidak pula sampai merendahkan.

Wallahu a’lam.

[YJ] 

Sumber FB Ustadz : Yendri Junaidi

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Keluwesan Ibnu Taimiyah yang Mesti Dicontoh Para Pengagumnya - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®