Jamaah Haji Wanita vs Haidh
Dr. Ahmad Sarwat, Lc.MA
Dari lima rukun haji, ada satu rukun yang tidak sah dikerjakan dalam keadaan haidh, yaitu THAWAF Ifadah.
THAWAF itu sejajar dengan shalat dari segi syarat sahnya, yaitu salah satunya harus suci dari hadits kecil dan besar.
Masalahnya, bagaimana jika ada jamaah haji wanita yang jadwal THAWAF Ifadahnya pas kebetulan lagi haidh?
Solusi teknis di masa kenabian dulu adalah disuruh tunggu sampai haidhnya selesai. Hal itu benar-benar terjadi pada Sayyidatina Aisyah radhiyallahuanha.
Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
"Kami keluar menuju Makkah bersama Rasulullah SAW dengan niat haji saja. Ketika kami tiba di Sarif, aku haidh.
Lalu Rasulullah SAW masuk menemuiku, sedang aku sedang menangis. Beliau bertanya, 'Kenapa engkau menangis? Apakah engkau haid?' Aku menjawab, 'Ya.'
Beliau bersabda, 'Ini adalah perkara yang telah Allah tetapkan bagi putri-putri Adam. Lakukanlah apa yang dilakukan oleh jamaah haji lainnya, kecuali thawaf di Ka'bah hingga engkau suci.'" (HR. Bukhari dan Muslim)
Solusinya simpel sekali, tunggu saja sampai haidhnya selesai. Setelah itu silahkan THAWAF ifadhah.
Itulah solusi di zaman Nabi SAW. Tunggu saja sampai haidh selesai. Toh rombongan haji tidak mau buru-buru pulang ke Madinah.
* * *
Sayangnya solusi macam itu tidak mungkin kita terapkan di masa kini. Sebab jadwal haji kita sekarang tidak bisa diatur se-fleksible di masa kenabian.
Begitulah dulu saya berpikir. Mana bisa kita kasih solusi seperti di masa Nabi?
Paling jauh kita suruh minum obat penunda haidh. Dan paling konyol adalah loncat-loncat dan salto pindah-pindah agama eh Mazhab. Seolah Mazhab jumhur ulama itu harus kalah dengan pendapat segelintir orang.
Saya kok merasa ada yang kurang beres dalam kasih solusi.
Lalu saya sadar, kenapa tidak kita desain sekalian saja solusinya biar kayak di masa Nabi?
Gimana itu?
Ya, solusinya ya tunggu saja sampai haidh selesai. Maka scheddul jamaah haji itulah yang kudu kita otak-atik dan kita desain ulang.
Masalah teknis itu bisa diajak kompromi. Tapi masalah hukum syariah jangan diobral.
Toh total durasi jamaah haji reguler itu kan 40 hari. Kenapa tidak dipastikan saja bahwa seluruh jamaah Indonesia diatur ulang jadwalnya.
Pokoknya semua dijadwalkan baru akan meninggalkan Mekah paling cepat setelah 15 hari sejak usai puncak haji.
Jadi kalau pun ada jamaah wanita yang haidh pas waktunya THAWAF Ifadah, maka dalam durasi 15 hari pasti akan selesai juga haidhnya. Dan tidak perlu risau ditinggal rombongan.
Sebab semua rombongan, baik yang jadwalnya mau langsung pulang ke tanah air atau yang mau ke Madinah dulu, dipastikan masih akan terus menetap dulu di Mekkah sampai 15 hari pasca puncak haji.
Kenapa 15 hari?
Ya karena durasi maksimal wanita haidh itu dari semua Mazhab yang empat, tidak ada yang lebih dari 15 hari. Jadi aman se-aman amannya.
Kalau pun masih keluar darah, dipastikan itu istihadhah dan bukan haidh.
Semua jadwal keberangkatan dan kepulangan hanya urusan teknis, seharusnya semua bisa fleksibel. Apalagi kita memang sewa pesawat sendiri. Kita tidak ikut jadwal penerbangan reguler. Mau terbang kapan dan mau pulang kapan, kita punya kuasa penuh untuk mengatur.
Maka ayolah diatur seatur-aturnya.
Bukan apa-apa, urusan THAWAF Ifadah dalam keadaan suci dari haidh itu urusan rukun. Tidak bisa diotak-atik apalagi ditawar-tawar. Janganlah agama dipermainkan.
Ke depan kudu ada yang bisa menegaskan pentingnya urusan yang satu ini. Jangan sampai semua urusan ritual agama dilecehkan melulu. Coba kasih solusi yang sejalan dengan prinsip hukum syariah yang original.
Jangan berlindung terus dibalik qaul syadz. Mentang-mentang bisa baca kitab kuning walau pakai Maktabah syamilah.
Cobalah kembali kepada keaslian syariah. Toh, uangnya di tangan kita. Kita sendiri yang seharusnya mengatur.
Masak sekedar shalat Arabin di Madinah dibela-belain, tapi yang jadi syarat rukun malah diobrak-abrik?
Sumber FB Ustadz : Ahmad Sarwat
