Ijtihad, Taqlid dan Sebungkus Wacana yang Meledak Telat

Ijtihad, Taqlid dan Sebungkus Wacana yang Meledak Telat

Tentang Seruan Kontemporer: Ijtihad, Taqlid dan Sebungkus Wacana yang Meledak Telat

Pada suatu masa yang panjang dan berdebu, umat Islam hidup tenteram di bawah naungan empat mazhab fikih. Ibarat empat kuda penarik kereta yang berlaju menuju surga. Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, menjadi jalan arus utama dalam memahami halal dan haram, sah dan batal, antara “boleh” yang mencurigakan dan “haram” yang mencubit hati.

Para ulama zaman dulu, tak seperti influencer masa kini yang gemar menyebut diri mereka “independen” sambil memelihara ego sebesar Gunung Uhud, dengan senang hati menyematkan label mazhabnya. Mereka bangga menjadi “Hanafii”, “Syafi’ii”, dan seterusnya, seolah-olah itu adalah gelar akademik paling afdal yang bisa dimiliki manusia setelah gelar “rahimahullah”.

Lalu zaman berubah. Kalender meloncat ke abad-abad yang lebih nyaring, dan muncullah suara-suara dari sudut perpustakaan yang sunyi dan mimbar-mimbar yang kian ramai. Mereka menyerukan: "Ijtihad! Tinggalkan taqlid! Kembalilah pada teks-teks suci!"  

Di tengah-tengah sorakan itu, dua nama terus-menerus diangkat seperti pahlawan perang yang tak pernah pulang tapi tetap diagungkan: Ibnu Taimiyah dan murid setianya yang tajam lidah dan pena, Ibnul Qayyim. Keduanya mjadi semacam paku bumi bagi mereka yang muak dengan “taqlid”, yang mereka anggap sebagai penyakit kronis umat, semacam reumatik intelektual.

Ironisnya, dua tokoh yang dijadikan panutan untuk menolak mazhab itu justru anak kandung dari salah satu mazhab: Hanbali. Seperti orang yang menyuruh tetangga berhenti makan nasi karena katanya karbohidrat itu buruk, padahal ia sendiri masih menyantap ketupat sayur setiap pagi. Bahkan Ibnu Hazm, meski kerap mencambuk taqlid dengan pena tajam, tak bisa lari dari jejak kultural mazhab Zhahiri, yang konon sudah hampir jadi fosil waktu itu.

Lalu muncul pertanyaan menggelitik: gerakan ini sebenarnya lahir kapan? Siapa bidannya? Dan kenapa ia baru sekarang ramai dibahas, padahal riwayatnya bukan gosip segar?

Jawabannya bisa dilacak dari dua jalur utama yang mengalir seperti dua anak sungai menuju delta besar bernama "ijtihad kontemporer". Jalur pertama datang dari Jazirah Arab, lewat tokoh bernama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mski topik utamanya akidah, beliau menyelipkan satu dua peluru untuk membidik para peniru buta (taqlid). 

Katanya, ikut pndapat ulama tanpa dalil itu bisa-bisa mengarah ke syirik. Seketika, para pengikutnya mulai alergi terhadap istilah “mazhab”, dan jatuh cinta kepada teks literal, seolah dalil itu seperti petunjuk Google Maps yang tak boleh dimaknai ganda.

Jalur kedua berembus dari Yaman, diangkat oleh seorang qadhi bernama Muhammad bin ‘Ali al-Shawkani, yang dengan smngat remaja baru dapat buku filsafat, menyerukan pembebasan dari kungkungan mazhab. Ia bahkan mengtakan, para imam pendiri mazhab sendiri tak pernah menyuruh umat untuk eksklusif mengikuti mereka. Maka, dalam semangat “balik ke sumber”, beliau mengajak umat untuk meninggalkan “label-label” yang dianggapnya produk PR generasi sesudah.

Gerakan ini lalu menjalar ke Mesir, tanah para penulis dan pemikir. Di sinilah madrasah islahiyah mengambil panggung. Jamaluddin al-Afghani dan murid cemerlangnya, Muhammad Abduh, naik ke podium intelektual sambil mengibarkan spanduk: “Buka pintu ijtihad! Hapus bid’ah! Mari rasional!” Ini bukan ajakan arisan, tapi seruan ideologis. Sialnya, tak semua orang senang.

Dari gerakan ini lahir entitas semacam Jama’ah Anshar al-Sunnah di tahun 1926 M. Di sna mereka menulis dengan semangat: “Ambillah agama dari Al-Qur’an dan Sunnah! Tinggalkan opini manusia!” Kalimat yang jika diucapkan dengan nada tertentu, bisa membuat seorang ulama tua Syafi’iy mendadak pening kepala.

Tak lama kemudian, muncul Muhibbuddin al-Khatib dan percetakannya yang bercita-cita besar: menyebarkan buku-buku salafi dan karya klasik Ibnu Taimiyah. Kitab-kitab yang dicetaknya jadi semacam bahan bakar intelektual bagi generasi yang siap merombak fondasi lama. 

Dan di belakang layar, Sayyid Rasyid Ridha—murid yang lebih "tekstualis" ketimbang gurunya Muhammad Abduh—mulai ikut tertarik dengan dunia hadits. Beliau lalu berdamai dengan Ibnu Taimiyah, meski dalam versi tafsir ulang.

Di Syam, para tokoh seperti Abdul Qadir bin Badran, Bahjat al-Bitar, dan Jamaluddin al-Qasimi ikut bermain dalam orkestra ini. Tapi mereka lebih halus dan penuh sopan santun; bukan jenis yang langsung menendang kitab kuning ke luar jendela. Mereka menyeru ijtihad, ya, tapi dengan santun, seperti orang tua yang menasihati cucunya agar jangan terlalu keras minum kopi.

Tapi semua ini belum benar-benar “meledak” sampai datanglah era yang disebut sebagai "shahwah Islamiyyah", kebangkitan Islam. Tiba-tiba anak-anak muda berpeci rajin membaca hadits, memegang kitab kecil dengan huruf mungil, dan berkata: “Mazhab? Tidak perlu. Yang penting dalil!”

Salah satu maestro dari gelombang ini adalah Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani. Dengan gayanya yang khas, ia berkata bahwa ketika Nabi Isa turun nanti, beliau akan memutus perkara dengan Al-Qur’an dan Sunnah, bukan dengan Injil, apalagi fikih Hanafi. Kalimat ini seperti menyuruh orang membuang peta karena merasa kompas hatinya lebih canggih.

Antara salafi dan kaum rasionalis, ijtihad memang diseru bersama. Tapi maknanya beda. Yang satu melihat ijtihad sebagai membongkar nash dan menggali makna literalnya. Yang satu lagi malah kadang merasa nash itu bisa dinegosiasikan. Dua kubu, dua jalur, satu kegelisahan; ingin melepaskan diri dari belenggu masa lalu, tapi malah kadang terjebak dalam labirin tafsir yang tak berujung.

Dan hasil akhirnya? Generasi yang konon ingin bebas dari mazhab, justru sering kali tidak berpijak pada metodologi ilmiah yang baku. Mereka memungut dalil seperti memungut koin di jalan, asal cocok, diambil. 

Padahal, mazhab-mazhab dulu dibangun dengan fondasi yang kokoh, seperti rumah tua yang teruji gempa. Kini, afiliasi pada mazhab dianggap semacam penyakit nostalgia, dan mereka yang masih memakai istilah "Syafi’i" dianggap seperti orang yang tak move on dari mantan.

Dan begitulah, sejarah berputar, ide bertukar. Mazhab ditinggalkan, dalil disembah. Tapi satu hal tetap sama: umat Islam, dari dulu sampai sekarang, tetap senang berdebat soal benar dan salah. Kadang-kadang, lupa minum kopi di sela-sela. 

Sumber referensi :

Ijtihad, Taqlid dan Sebungkus Wacana yang Meledak Telat

Ijtihad, Taqlid dan Sebungkus Wacana yang Meledak Telat

Sumber FB Ustadz : Zulkarnaini Ar

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Ijtihad, Taqlid dan Sebungkus Wacana yang Meledak Telat - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®