Hukum Belajar Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Hukum Belajar Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Hukum Belajar Ilmu Agama dan Ilmu Umum

Ada yang mengkritik pandangan Imam Ghazali yang menurutnya tidak menyejajarkan ilmu agama dan ilmu umum (sains) karena agama dianggap fardhu ain (kewajiban personal) sedangkan ilmu umum "hanya" fardhu kifayah (kewajiban komunal). Kritik seperti ini sebenarnya aneh, yuk kita bahas tipis-tipis.

1. Yang benar dari Imam Ghazali, beliau tidak pernah menyatakan bahwa semua ilmu agama adalah fardhu ain. Yang fardhu ain dipelajari hanyalah yang statusnya memang harus dilakukan oleh setiap individu muslim, semisal ilmu tentang bersuci, shalat dan puasa ramadhan.  Setiap muslim wajib tahu hal semacam ini, kalau tidak maka berdosa. Namun pengetahuan seperti ini sederhana dan tidak memberatkan sehingga tidak masalah diwajibkan atas setiap orang. 

Adapun belajar agama hingga menjadi  alim dalam semua bab agama, maka itu fardhu kifayah. Sudah jelas tidak semua orang harus menjadi Fakih, Mufassir, ahli hadis dan semacamnya. Yang penting ada dalam setiap komunitas dan mencukupi, maka sudah selesai fardhu kifayahnya. Kalau semua dituntut menjadi ahli agama, maka keseimbangan dunia bisa kacau sebab tidak realistis.

2. Sedangkan ilmu umum, di antaranya adalah sains, hukumnya memang fardhu kifayah. Ilmu umum ada banyak jenisnya, semuanya wajib dipelajari akan tetapi tidak semua individu wajib mempelajarinya. Yang dituntut adalah kewajiban komunal dalam arti harus ada yang mempelajarinya dalam tiap komunitas. Harus ada yang belajar menjahit, kedokteran, teknik sipil, komputer, ilmu-ilmu humaniora, dan seterusnya. Semuanya dibutuhkan sehingga wajib dipelajari, tetapi tidak setiap individu dituntut untuk itu sebab kebutuhan terhadap itu semua bisa diatasi dengan keberadaan satu atau beberapa orang ahli saja, yang lain cukup ikut dan sekedar mensupport.

Kalau status ilmu umum dinaikkan ke level fardhu ain, maka artinya setiap orang berdosa kalau tidak menguasai semua jenis ilmu umum tersebut: Anda dan semua orang berdosa kalau tidak ahli dalam teknik sipil, membuat chip komputer, membangun reaktor nuklir dan seterusnya. Ketetapan hukum seperti ini ngawur dan tidak realistis. Sebab itu, Imam Ghazali menetapkannya cukup sebagai fardhu kifayah.

3. Penetapan ilmu umum sebagai fardhu kifayah sudah merupakan apresiasi yang sangat tinggi pada pengetahuan umum. Ini artinya pengetahuan tersebut setara dengan penguasaan ilmu agama tingkat lanjut. Dengan kata lain, keberadaan sekolah umum hingga universitas sama wajibnya dengan keberadaan pesantren yang mengajarkan ilmu agama tingkat lanjut.

Padahal, andai Al-Ghazali memang benar seorang yang meremehkan ilmu umum hingga menjadi biang kemunduran umat seperti dikesankan pengkritik, bisa saja ilmu umum disebutnya sebagai ilmu sunnah yang sekedar disarankan saja. Bahkan kalau benar ia mengajarkan kemunduran, harusnya ia mengatakan bahwa ilmu umum makruh dan tidak berguna. Tapi tidak, Al-Ghazali tidak seperti itu. Ilmu umum jangankan dimakruhkan, bahkan bukan hanya dianggap sunnah tapi dinaikkan ke taraf wajib kifayah. Konsekuensinya, harus ada sekolah umum hingga ke jenjang tertinggi, harus ada yang menjadi peneliti, harus ada yang menjadi ahli di semua bidang yang dibutuhkan umat manusia. Kalau dalam komunitas tertentu tidak ada ahli tersebut hingga menyebabkan seluruh komunitas kesulitan dalam hidupnya, maka semuanya berdosa. 

Meskipun demikian, kalau ada individu yang tidak belajar ilmu mekanik, tidak belajar coding, tidak belajar Sains dan seterusnya, dia tidak dianggap berdosa sebab setiap orang bebas memilih skill fardhu kifayah apa yang akan dikuasainya sebagai perannya dalam komunitas. Itulah makna status fardhu kifayah. Komunitas di sini cakupannya bisa sangat kecil dan bisa sangat besar ke level negara atau bahkan umat manusia, tergantung pada kebutuhannya. 

4. Pembagian hukum seperti ini diterima oleh para ulama berikutnya sebab itu sudah tepat, proporsional dan realistis. Ibnu Rusyd pun tidak pernah menyanggah Al-Ghazali dalam sisi ini. Aneh bin ajaib kalau menampilkan perdebatan antara Ibnu Rusyd dan Al-Ghazali dalam bingkai status hukum ilmu agama dan ilmu umum ini. Perdebatan mereka berdua ada di ranah filsafat yang sepertinya tidak mampu dijangkau oleh pengkritik dalam screenshot ini sehingga dia jatuh pada simplifikasi berlebihan yang tidak realistis. 

Semoga bermanfaat.

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hukum Belajar Ilmu Agama dan Ilmu Umum - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®