Rasan-rasan dan mengumbar kesalahan?
Daripada menebak dan menduga tentang mengapa saya menulis kritik tertentu secara "vulgar", saya tulis saja kriteria tulisan saya:
1. Nahi munkar itu hukumnya wajib. Kalau semua diam atas kemungkaran, maka semua berdosa. Karena itu ada yang harus bersuara meski tidak semua orang bakal suka atau menganggapnya berisik. Kalau ada yang menganggap kritik nahi mungkar sebagai dosa atau hal yang diancam di akhirat, maka itu jelas keliru sebab tindakan ini berpahala besar.
2. Yang saya kritik lewat media sosial hanya kesalahan pola pikir yang ditampilkan di ruang publik. Karena kesalahannya ditampilkan di ruang publik, maka kritiknya tentu saja juga harus di ruang publik. Siapapun yang berekspresi secara terbuka, maka jangan kena mental ketika dikritik terbuka.
Misalnya ada tokoh yang pidato ngawur tentang islam di sebuah seminar publik atau merekam tarawihnya yang jelas-jelas tidak sah tapi diikuti orang, maka bukan pada tempatnya untuk nyuruh pengkritiknya untuk tabayun secara tertutup. Siapa yang tidak punya mental kuat di ruang publik, maka jangan eksis di ruang publik.
Media sosial adalah ruang publik, siapa yang menulis sebuah post, berkomentar dan bereaksi di ruang publik, maka tindakannya merupakan hal yang legal ditanggapi di ruang publik pula. Uninstall saja medsosnya kalau tidak siap mental.
Kenapa SS dan Video yang dikritik tidak disensor? Jawabannya: Tentu saja itu tidak perlu sebab orangnya sendiri tidak menyensor kok mengharap orang lain menyensor?
3. Yang saya angkat biasanya hanya yang berpengaruh luas. Kalau pengaruhnya kecil atau sedikit yang sepakat, maka biasanya saya tidak membahasnya secara khusus agar tidak makin luas.
4. Biasanya ketika mengkritik sesuatu yang memang salah di ruang publik, maka akan bermunculan Komentator yang ikut mengkritik, apakah itu bukan ghibah atau memicu ghibah? Jawabannya, itu bukan ghibah tapi nahi munkar. Kalau pun dianggap ghibah, maka termasuk ghibah yang disepakati kebolehannya sebab pelakunya memang menampakkan perbuatannya secara terang-terangan di ruang publik.
5. Kalau sesuatu yang dikritik bukan kemungkaran tapi pembahasan ilmiah, maka sejak dahulu kala tradisi pembahasan ilmiah selalu di ruang publik dan terang-terangan. Hanya orang yang tidak punya mental ilmiah yang meminta pembahasan ilmiah agar dilakukan tertutup, harus sowan dulu, tabayun dulu dan semacamnya. Kalau saja mereka tahu karya para ulama terdahulu ketika melakukan kritik, wih judulnya saja serem. Tapi ranah ilmiah memang bukan untuk mereka yang bermental lemah.
6. Saya pantang membahas aib orang yang ditutupi oleh orang itu sendiri. Ini tergolong ghibah yang haram apabila dilakukan.
7. Saya juga pantang membahas maksiat yang dilakukan seseorang. Selama yang dilakukan merupakan hal yang jelas maksiat yang orangnya tahu bahwa itu maksiat, maka saya tidak membahasnya. Pelakunya hanya perlu didoakan dapat hidayah, bukan dibahas.
Karena itu anda tidak akan menemukan status saya yang membahas nama pelaku maksiat secara khusus yang melakukan korupsi, zina, pencabulan, penipuan, pemalsuan dan sebagainya sebab itu adalah maksiat yang semua orang sudah tahu dosanya dan tidak akan menjadi inspirasi untuk ditiru orang lain.
Kenapa tidak dibahas? Jawabannya, sebab ada wanti-wanti bahwa siapa yang yang mencela tindakan maksiat orang lain dikhawatirkan akan melakukan hal serupa di masa depan. Tidak ada di antara kita yang terjaga dari maksiat, hanya saja ada yang ditutup dan ada yang terungkap, ada yang tetap dan ada yang tobat.
Beda kalau pelakunya mengendorse maksiat atau menganggap sebuah kemaksiatan sebagai hal yang halal atau apalagi baik. Hal semacam ini harus dibahas sebab ini tentang pola pikir dan pandangan yang keliru, yang obatnya adalah pembahasan.
8. Saya tidak pernah membahas kebodohan yang memang semua orang, bahkan pelakunya, akan sadar bahwa itu kebodohan. Misal ada orang yang ngaji bacaannya salah atau ada orang awam yang bertindak konyol, maka ini tidak akan saya bahas secara khusus. Orangnya hanya perlu diajari, bukan dibahas. Kalau pun dibahas sebagai edukasi, maka tidak perlu melibatkan orangnya.
Itu patokan saya dalam membahas sesuatu di media sosial. Kalau saya melakukan kesalahan, maka silakan luruskan dengan menyebut kesalahan saya dengan argumentatif. Kalau saya dianggap berisik, maka silakan tutup telinga sebab keberisikan ini tampaknya belum akan berhenti. Mau misuh? silakan persiapkan stok pisuhan yang banyak.
______
Mungkin kalau saya bilang bahwa teroris cari aman di balik ayat al-Qur’an, maka saya dibilang menghina al-Qur’an, bukannya menyimpulkan bahwa mereka menyelewengkan ayat al-Qur’an sehingga keluar kesimpulan ngawur.
Bila saya bilang bahwa orang sinkretis berlindung di balik toleransi, maka saya dibilang menyerang toleransi, bukannya dipahami bahwa toleransi dimaknai secara salah untuk membenarkan sinkretisme.
Jadi ketika saya bilang bahwa orang sesat cari aman di balik NU, maka saya dibilang menghina NU, bukannya dimaknai bahwa orang sesat menyelewengkan ajaran NU yang konsisten membela Aswaja (4 mazhab dan thariqah ala Imam Junaid )
Namanya berlindung dan cari aman selalu di tempat yang dianggap aman, tempat yang diterima. Dengan menyebut NU sebagai salah satu tempat cari aman, maka artinya NU itu tempat baik, makanya saya jadi pengurus di dalamnya. Eh malah dianggap menghina. Hhhh... Masak saya menghina rumah perjuangan saya.
Ini soal logika sederhana tapi ternyata banyak yang gagal paham.
Orang-orang sesat di Indonesia cari aman di balik tiga hal.
1. Tarekat dan hakikat
2. NU
3. Kebhinekaan dan toleransi
Sumber FB Ustadz : Abdul Wahab Ahmad