HUKUM BINGKISAN/HADIAH UNTUK GURU
Biasanya memasuki bagian kedua Ramadhan seperti saat ini sebagian wali murid menghadiahkan bingkisan atau hadiah untuk para Guru di sekolah.
Benarkah hadiah seperti ini mutlak tidak boleh (haram) karena termasuk suap ?
Memang benar ada Hadist Nabi ﷺ yang menyebut:
هدايا العمال غلول
"Hadiah bagi pegawai adalah bentuk pengkhianatan"
Maksudnya hadiah yang diberikan seseorang kepada pegawai sebab statusnya dianggap sebagai bentuk pengkhianatan dari pegawai karena termasuk dalam bentuk suap.
Nah maka dari itu perlu membedakan terlebih dahulu antara suap dan hadiah, Al Imam Al Mawardi dalam karya beliau Al Ahkam As Sulthaniyyah H 160 setelah mengutip Hadist di atas berkomentar:
والفرق بين الرشوة والهدية أن الرشوة ما أخذت طلبا والهدية ما بذلت عفوا
"Perbedaan antara suap dan hadiah adalah bahwa suap diambil dengan permintaan, sedangkan hadiah diberikan secara sukarela"
Artinya jika penerima meminta untuk diberi hadiah dan pemberi menuruti karena segan dengan statusnya maka pemberian itu SUAP, namun jika pemberian dilakukan secara sukarela tanpa permintaan penerima dan atau tanpa pemberi mengharap keuntungan imbal balik maka itu termasuk HADIAH.
Jadi perbedaan paling kentara antara suap dan hadiah adalah ada atau tidaknya keinginan imbal balik yang menguntungkan bagi pemberi.
Lalu bagaimana dengan hadiah untuk Guru ? Termasuk hadiah atau suap ??
Menurut para Ulama' hadiah yang diterima oleh Guru dari murid atau wali murid hukumnya tergantung kondisi, kalau tidak disertai untuk mendapatkan imbal balik namun benar ikhlas memberi sebagai penghormatan kepada seorang Guru maka boleh bagi Guru menerima hadiah, akan tetapi jika diindikasikan pemberian hadiah itu agar si pemberi mendapatkan imbal balik seperti agar nilai anaknya diangkat dan semisalnya maka haram diterima.
Al Qolyubi dalam Hasyiyahnya (4/304) berkata:
[الإهداء للمفتي والمعلم ولو لقرآن والواعظ يندب قبوله إن كان لمحض وجه الله تعالى، وإلا فالأَولى عدمه، بل يحرم إن لم يُعلم أنه عن طيب نفس]
"Memberi hadiah kepada mufti, guru (termasuk guru Al-Qur'an), dan pemberi nasihat (penceramah) dianjurkan untuk diterima jika semata-mata karena mengharap keridaan Allah Ta'ala. Jika tidak demikian, maka yang lebih utama adalah tidak menerimanya. Bahkan, hal itu haram jika tidak diketahui bahwa pemberiannya berasal dari hati yang ikhlas."
Bahkan Imam As Subki dalam An Najmu Al Wahhaj (10/199-200) menyebutkan bahwa memberi hadiah kepada Penceramah, Ahli Ilmu dan Guru dengan dilandasi rasa penghormatan, kasih sayang dan pemuliaan merupakan tradisi salaf sehingga dianjurkan menerima pemberian:
ولا يلتحق بالقضاة: المفتي والواعظ ومعلم القرآن والعلم؛ لأنه ليس لهم أهليةُ الإلزام، والأَوْلَى في حقهم إن كانت الهدية لأجل ما يحصل منهم من الفتوى والوعظ والتعليم: عدم القبول؛ ليكون عملهم خالصًا لله تعالى، وإن أُهدِيَ إليهم تحببًا وتوددًا لعلمهم وصلاحهم: فالأَولى القبول، وهذه هدي السلف
"Mufti, penceramah, serta pengajar Al-Qur'an dan ilmu tidak termasuk dalam kategori hakim, karena mereka tidak memiliki wewenang untuk memutuskan perkara secara mengikat. Yang lebih utama bagi mereka, jika hadiah diberikan karena fatwa, nasihat, atau pengajaran mereka, adalah tidak menerimanya agar amal mereka tetap murni karena Allah Ta'ala. Namun, jika hadiah diberikan sebagai bentuk kasih sayang dan penghormatan atas ilmu dan ketakwaan mereka, maka lebih utama untuk menerimanya. Inilah kebiasaan para salaf".
Wallahu'alam.
Sumber FB Ustadz : Muhammad Salim Kholili