Tidak Wajar Seorang Mufti Tidak Tahu Rukun Qauli Dalam Shalat

Tidak Wajar Seorang Mufti Tidak Tahu Rukun Qauli Dalam Shalat

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menyebut, "Ini syarat sah shalat", "Ini rukun shalat", "Ini sunnah shalat", dan semisalnya. Semua ini mushthalahat dan taqsimat yang dibuat oleh para ulama, untuk mempermudah penjelasan kepada umat, yang dihasilkan dari istiqra terhadap semua dalil yang ada, baik dari al-Qur'an, as-Sunnah, ijma' maupun qiyas.

Artinya, masuknya "menutup aurat" sebagai syarat sah shalat, ada dalilnya. Adapun penyebutannya sebagai "syarat sah", adalah upaya ulama untuk membuat klasifikasi demi memudahkan penjelasan dan amal.

Setelah adanya pembagian ini, para guru kita mudah menjelaskan fiqih shalat dengan benar, bahkan kepada anak kecil yang kemampuan berpikir abstraknya masih kurang sempurna.

Misal, ketika dikatakan, "Rukun shalat ada 13, yaitu...", maka si anak dengan mudah memahami bahwa 13 hal itu tidak boleh terlewat atau tertinggal dalam shalat, karena akan membuat shalatnya tidak sah. Ketika dikatakan, "Doa iftitah itu sunnah haiat dalam shalat, bukan rukun, bukan juga sunnah ab'adh", mengikuti istilah madzhab Syafi'i, maka si anak memahami bahwa dianjurkan membaca doa iftitah, tapi kalau tidak dibaca pun, shalatnya tetap sah, dan tidak ada thalab (tuntutan) untuk melakukan sujud sahwi.

Karena itu, pemahaman terhadap taqsimat dan mushthalahat ini urgen bagi setiap pelajar fiqih, apalagi bagi pengajarnya, apalagi bagi "mufti" yang sering ditanyai persoalan fiqih. Wajar jika ada yang mencela seorang "mufti", yang mengaku tidak tahu "rukun qauli". Meski saya pribadi, tidak ingin memberikan celaan serupa, saya cuma katakan, kita perlu berpikir ulang untuk menjadikan "mufti" tersebut sebagai rujukan dalam fiqih.

kita perlu berpikir ulang untuk menjadikan "mufti" tersebut sebagai rujukan dalam fiqih

Seandainya mushthalahat dan taqsimat itu khas madzhab tertentu, sedangkan di madzhab lain pakai pembagian lain, maka ketidaktahuan atas mushthalahat dan taqsimat madzhab lain, bisa dimaklumi. Misal, seorang pelajar Syafi'i kebingungan ketika ditanya, "Apa perbedaan rukun dan wajib dalam shalat?", karena yang dia pahami, rukun itu merupakan kewajiban dalam shalat. Dia tidak memahami, bahwa dalam madzhab Hanbali الأركان dan الواجبات itu berbeda. Sebaliknya, pelajar Hanbali mungkin juga bingung, ketika dikatakan bahwa sunnah-sunnah dalam shalat itu terbagi dua: ab'adh dan haiat, yang merupakan istilah khas madzhab Syafi'i.

Namun jika itu mushthalahat yang umum digunakan dan relatif tidak ada perbedaan makna yang signifikan, seperti: syarat, rukun, dan semisalnya, termasuk rukun qauli, rukun fi'li dan semisalnya, maka memang tak wajar seorang pelajar fiqih, apalagi "mufti" tidak mengetahuinya.

syarat, rukun, dan semisalnya, termasuk rukun qauli, rukun fi'li dan semisalnya, maka memang tak wajar seorang pelajar fiqih, apalagi "mufti" tidak mengetahuinya.

Masukan saya, kekeliruan semacam ini tidak perlu dibela. Tokoh "mufti" yang dimaksud, tidak perlu direndahkan, tetap kita hormati, karena bagaimanapun banyak kebaikan yang beliau lakukan, namun -kembali lagi- kita perlu berpikir ulang untuk menjadikan beliau sebagai "mufti" yang ditanya hukum-hukum agama. Setiap orang perlu kita dudukkan pada posisi yang tepat.

✓M4N  

kita perlu berpikir ulang untuk menjadikan beliau sebagai "mufti" yang ditanya hukum-hukum agama
Tidak Wajar Seorang Mufti Tidak Tahu Rukun Qauli iii

Salah satu ulama kontemporer yang cukup progresif dalam persoalan fiqih, banyak hal yang dikritisi dan digugat beliau, ada juga gagasan baru yang beliau kemukakan (meski tetap ada pijakannya di era salaf) adalah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi. Hal ini bisa dibaca dari Fiqh ash-Shalah, Fiqh ash-Shiyam, Fiqh az-Zakah dan Fiqh al-Jihad, dan berbagai karya tulis beliau lainnya.

Hanya saja, dari tulisan beliau, kita yang pernah belajar fiqih madzhabi atau fiqih secara umum, menyadari bahwa beliau menguasai bidang ini dengan baik. Beliau mengkritisi sesuatu, setelah tahu hal tersebut dengan baik.

Jadi, kalau misalnya ada seorang penceramah yang mengkritisi istilah rukun qauli, rukun fi'li dan rukun qalbi misalnya, maka dia mungkin akan membuat pernyataan, "Rukun qauli itu maksudnya adalah... bla.bla.bla, namun saya tidak setuju dengan pembagian istilah semacam ini, karena membuat rumit orang yang belajar fiqih." Jadi, dia paham dulu istilah tersebut, baru mengkritik.

Perkataan "Saya tidak tahu", memang perkataan baik, karena itu menunjukkan kejujuran dan sikap tahu diri. Patut dipuji. Namun jika ketidaktahuannya berkaitan dengan istilah dasar dalam satu bidang ilmu, yang harusnya kelas pemula pun tahu, maka sebaiknya kita berpikir ulang untuk menjadikan orang tersebut sebagai rujukan dalam bidang ilmu tersebut, dan orang tersebut pun harus lebih tahu diri untuk tidak berbicara bidang ilmu itu lagi.

✓M4N

Tidak Wajar Seorang Mufti Tidak Tahu Rukun Qauli Dalam Shalat

Saya pernah menyampaikan, salah satu kelemahan orang-orang yang tidak pernah belajar fiqih madzhabi, adalah dalam taqsimat dan mushthalahat.

Bahkan ada yang sudah lama "ngaji", tidak paham mana aktivitas shalat yang tidak boleh ditinggalkan dan jika ditinggalkan membatalkan shalat, dan mana aktivitas dalam shalat yang boleh ditinggalkan dan tidak membatalkan shalat.

Ada seorang ustadz, dalam sebuah video, ditanya oleh jamaahnya tentang "rukun qauli", lalu sang ustadz menjawab tidak tahu apa itu rukun qauli. Lalu banyak komentar yang mengkritisi sang ustadz, kok bisa tidak tahu istilah itu, padahal itu pelajaran ibtidaiyyah.

Kemudian muncul para pembela sang ustadz, yang sebagiannya ada dalam tangkapan layar di bawah ini.

Kita hargai sikap sang ustadz yang mengatakan tidak tahu, pada perkara yang memang tidak diketahui. Karena banyak juga yang tetap sok tahu, dan asal bicara.

Namun sangat disayangkan, perkara yang tidak diketahui ini, sebenarnya perkara dasar dalam fiqih shalat. Dalam kitab-kitab fiqih Syafi'iyyah, bertaburan istilah ini. Saya coba tengok sebentar tadi, istilah ini juga ada di kalangan Hanabilah dan Malikiyyah. Untuk Hanafiyyah belum sempat saya cek, tapi harusnya juga dikenal. Saya sempat juga tengok beberapa muhadharah ulama Saudi, mereka yang kebanyakan basic-nya Hanabilah, juga mengenal istilah ini.

Di tanah air, orang-orang yang belajar fiqih saat anak-anak, juga dikenalkan istilah ini, baik ngaji langsung dari kitab fiqih berbahasa Arab, kitab fiqih berbahasa Arab Melayu (Seperti: Perukunan Melayu), bahkan buku Fiqih keluaran Kemenag untuk anak MI juga disampaikan hal ini.

Tapi ya ini realita kehidupan. Banyak hal yang luput dari kita, terutama pada bidang yang memang tidak kita kuasai. Saya pun, juga tidak tahu banyak istilah dasar dalam ilmu kedokteran atau arsitektur, yang bukan bidang kajian saya.

✓M4N

Sumber FB Ustadz : Muhammad Abduh Negara

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Tidak Wajar Seorang Mufti Tidak Tahu Rukun Qauli Dalam Shalat - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®