Hukum Mengucapkan Selamat Natal, Tahun Baru Masehi, dan Ikut-Ikutan Merayakannya

Hukum Mengucapkan Selamat Natal, Tahun Baru Masehi, dan Ikut-Ikutan Merayakannya

Hukum Mengucapkan Selamat Natal, Tahun Baru Masehi, dan Ikut-Ikutan Merayakannya.

_

Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra menjelaskan terkait hal ini. Kesimpulannya adalah:

1. Jika melakukan hal tersebut dengan tujuan menyerupai mereka dalam simbol kekufuran-nya, maka dia telah kafir secara pasti. 

2. Jika melakukannya dengan tujuan menyerupai mereka dalam simbol hari raya-nya, tanpa memandang kepada unsur kekufuran, maka dia tidak menjadi kafir, tetapi dia berdosa. 

3. Jika dia sama sekali tidak bermaksud menyerupai mereka dalam bentuk apa pun, maka tidak apa-apa.

Redaksi Jawabannya:

‎فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إِنْ فَعَلَ ذَلِكَ بِقَصْدِ التَّشَبُّهِ بِهِمْ فِي شِعَارِ الْكُفْرِ كَفَرَ قَطْعًا، أَوْ فِي شِعَارِ الْعِيْدِ مَعَ قَطْعِ النَّظَرِ عَنْ الْكُفْرِ لَمْ يَكْفُرْ وَلَكِنَّهُ يَأْثَمُ وَإِنْ لَمْ يَقْصِدْ التَّشَبُّه بِهِمْ أَصْلًا وَرَأْسًا فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ

Pendapat Ibnu Hajar ini diikuti oleh Al-Faqih Ali bin Umar Bakastir, Al-Faqih Abdullah bin Ahmad Bazar’ah, dan Habib Abdullah bin Umar bin Yahya dalam kumpulan fatwa yang mereka miliki.

Sebelumnya, kesimpulan Ibnu Hajar itu muncul dari sebuah pertanyaan yang isinya:

“Apakah diperbolehkan bermain dengan busur kecil yang tidak bermanfaat dan tidak dapat digunakan untuk membunuh buruan, yang hanya dibuat untuk permainan anak-anak kafir. 

Atau memakan pisang matang yang dimasak dengan gula dalam jumlah yang banyak, atau mengenakan pakaian berwarna kuning kepada anak-anak kecil sebagai bentuk ikut-ikutan dengan perhatian orang kafir terhadap hal-hal tersebut pada sebagian hari raya mereka? 

Bagaimana pula hukum memberikan hadiah berupa pakaian atau uang kepada mereka pada hari itu jika terdapat hubungan antara seorang muslim dengan mereka, seperti salah diantara mereka menjadi pekerja bagi yang lain? Apakah hal ini termasuk pengagungan terhadap hari raya mereka? Karena orang kafir biasa melakukan itu semua.

Namun, yang mereka lakukan semua ini tidak ada unsur penyembahan berhala atau yang semisalnya pada hari itu. Sebagian umat Islam, ketika melihat perbuatan mereka, ikut melakukan hal yang sama. 

Pertanyaannya, apakah seorang muslim menjadi kafir atau berdosa jika ia melakukan hal yang sama tanpa maksud untuk mengagungkan hari raya mereka atau mengikuti mereka?

Jawaban:

“Tidak ada unsur kekafiran dalam melakukan salah satu dari hal-hal tersebut. Ulama Syafi’iyyah telah menjelaskan bahwa jika seseorang mengikatkan Zunnar (sabuk yang menjadi simbol orang kafir) di pinggangnya atau meletakkan topi kaum Majusi di kepalanya, ia tidak menjadi kafir hanya dengan melakukan hal itu. Maka dalam kasus pertanyaan ini, lebih utama untuk tidak dianggap kafir. Dan hal ini jelas.“

Redaksi Pertanyaan :

(وَسُئِلَ)- رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - وَرَضِيَ عَنْهُ هَلْ يَحِلُّ اللَّعِبُ بِالْقِسِيِّ الصِّغَارِ الَّتِي لَا تَنْفَعُ وَلَا تَقْتُلُ صَيْدًا بَلْ أُعِدَّتْ لِلَعِبِ الْكُفَّارِ وَأَكْلُ الْمَوْزِ الْكَثِيرِ الْمَطْبُوخِ بِالسُّكَّرِ وَإِلْبَاسُ الصِّبْيَانِ الثِّيَابَ الْمُلَوَّنَةِ بِالصُّفْرَةِ تَبَعًا لِاعْتِنَاءِ الْكَفَرَةِ بِهَذِهِ فِي بَعْضِ أَعْيَادِهِمْ وَإِعْطَاءِ الْأَثْوَابِ وَالْمَصْرُوفِ لَهُمْ فِيهِ إذَا كَانَ بَيْنَهُ وَبَيْنَهُمْ تَعَلُّقٌ مِنْ كَوْنِ أَحَدِهِمَا أَجِيرًا لِلْآخَرِ مِنْ قَبِيلِ تَعْظِيمِ النَّيْرُوزِ وَنَحْوِهِ فَإِنَّ الْكَفَرَةَ صَغِيرَهُمْ وَكَبِيرَهُمْ وَضَعِيفَهُمْ وَرَفِيعَهُمْ حَتَّى مُلُوكَهُمْ يَعْتَنُونَ بِهَذِهِ الْقِسِيِّ الصِّغَارِ وَاللَّعِبِ بِهَا وَبِأَكْلِ الْمَوْزِ الْكَثِيرِ الْمَطْبُوخِ بِالسُّكَّرِ اعْتِنَاءً كَثِيرًا وَكَذَا بِإِلْبَاسِ الصِّبْيَانِ الثِّيَابَ الْمُصَفَّرَةَ وَإِعْطَاءَ الْأَثْوَابِ وَالْمَصْرُوفِ لِمَنْ يَتَعَلَّقُ بِهِمْ وَلَيْسَ لَهُمْ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ عِبَادَةُ صَنَمٍ وَلَا غَيْرِهِ وَذَلِكَ إذَا كَانَ الْقَمَرُ فِي سَعْدِ الذَّابِحِ فِي بُرْجِ الْأَسَدِ وَجَمَاعَةٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ إذَا رَأَوْا أَفْعَالَهُمْ يَفْعَلُونَ مِثْلَهُمْ فَهَلْ يَكْفُرُ، أَوْ يَأْثَمُ الْمُسْلِمُ إذَا عَمِلَ مِثْلَ عَمَلِهِمْ مِنْ غَيْرِ اعْتِقَادِ تَعْظِيمِ عِيدِهِمْ وَلَا افْتِدَاءٍ بِهِمْ أَوْ لَا؟ 

Redaksi Jawabannya:

(فَأَجَابَ) نَفَعَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى بِعُلُومِهِ الْمُسْلِمِينَ بِقَوْلِهِ لَا كُفْرَ بِفِعْلِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ فَقَدْ صَرَّحَ أَصْحَابُنَا بِأَنَّهُ لَوْ شَدَّ الزُّنَّارَ عَلَى وَسَطِهِ، أَوْ وَضَعَ عَلَى رَأْسِهِ قَلَنْسُوَةَ الْمَجُوسِ لَمْ يَكْفُرْ بِمُجَرَّدِ ذَلِكَ اهـ فَعَدَمُ كُفْرِهِ بِمَا فِي السُّؤَالِ أَوْلَى

Itu adalah pandangan dari Madzhab Syafi’i. Beberapa diantara ulama yang memperbolehkan hal itu diantaranya: Syekh Dr. M. Sa’id Ramadhan Al-Buthi, Habib Ali bin Abdurrahman Al-Jufri, Syaikhul Azhar Prof. Dr. Ahmad bin Muhammad At-Thayyib, Maulana Prof. Dr. Nuruddin Ali Jum’ah, Syekh Dr. Yusri Rusyd Jabr Al-Hasani, Grand Mufti Mesir Prof. Dr. Nashr Farid Washil, Syekh Abdullah bin Bayyah, dan Lembaga Darul Ifta Mesir.

Diantara Ulama Azhar, ada yang sangat menentang tradisi mengucapkan Selamat Natal dan Tahun Baru. Karena itu dianggap merayakan kelahiran Yesus Kristus, seakan-akan merayakan lahirnya anaknya Allah. Diantaranya adalah Syekh Abdul Aziz As-Syahawi, dan Syekh Prof. Dr. Ahmad Thaha Rayyan.

Lantas harus ikut yang mana? Tanyakan pada hati anda. Tanyakan pula, ada niat apa dibalik melakukan tindakan seperti itu?. Masalah khilafiyyah seperti ini tidak perlu diperdebatkan secara serius. Yang membolehkan, mereka punya argumen dan hujjah. Yang mengharamkan pun sama.

Juga, tidak perlu lagi terlalu fanatik dan ta’asshub. Jangan sampai ketika ikut pendapat yang mengharamkan, menganggap semua yang ikut pendapat kebolehan ini dianggap sesat dan tidak benar. Begitu juga sebaliknya. Tidak ada kebaikan dalam sebuah “Kefanatik-an”. Apalagi sampai mengatakan: “Semua 4 Madzhab sepakat atas keharaman itu.” Kita ini tidak tau isi hati seseorang, lantas jangan terburu2 menghukumi tindakan dzohirnya.

Semua kembali pada ketentuan dan keadaan yang ada pada masing-masing orang. Jika tertuntut untuk melakukan dan mengucapkan kalimat itu, ikutlah pendapat yang memperbolehkannya. Tapi, jika tidak ada tujuan dan kemaslahatan? Untuk apa? Lebih baik menjaga kesucian akidah, agar tidak goyah. Masih banyak cara berbuat baik kepada mereka, selain dengan metode demikian.

Sebagian orang non-muslim, terkadang merasa di musuhi ketika tidak diberikan ucapan-ucapan seperti itu. Sebagian juga, ada yang merasa aneh bahkan ketika diberikan ucapan-ucapan itu. Karena menurutnya, toleransi beragama tidak perlu seperti ini.

Sayyid Abdullah bin Ahmad Al-Jufri menyatakan: 

“Kalau ingin meyakini bahwa tindakan seperti itu adalah haram, silahkan. Tapi jangan menganggap bahwa keharaman itu dijelaskan sesuai dalam Madzhab Syafi’i. Itu adalah 2 hal yang berbeda. Karena nash-nya sudah jelas sesuai yang disebutkan Ibnu Hajar.”

Wallahu A’lam. 

Sumber FB Ustadz : Hifdzil Aziz

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hukum Mengucapkan Selamat Natal, Tahun Baru Masehi, dan Ikut-Ikutan Merayakannya - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®