Mengharmonisasi Akal dan Wahyu, Kritik Terhadap Mu'tazilah, dan Posisi Tengah Asy'ariyah

Moderatisme Akidah: Mengharmonisasi Akal dan Wahyu, Kritik Terhadap Mu'tazilah, dan Posisi Tengah Asy'ariyah

Moderatisme Akidah: Mengharmonisasi Akal dan Wahyu, Kritik Terhadap Mu'tazilah, dan Posisi Tengah Asy'ariyah

Akal Sebagai Alat, Wahyu Sebagai Sumber

​Salah satu tuduhan paling umum terhadap Akidah Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) adalah klaim bahwa mereka mendahulukan akal daripada nash (teks Al-Qur'an dan Hadis). Tuduhan ini keliru, karena Aswaja—yang diwakili oleh Asy'ariyah—sebenarnya berusaha mengharmonisasi akal dan wahyu. Akal berfungsi sebagai alat untuk memahami dan membuktikan dasar-dasar Akidah, sementara wahyu adalah sumber utama hukum dan kebenaran. Keseimbangan ini membedakan mereka secara fundamental dari kelompok rasionalis ekstrem seperti Mu'tazilah.

​Artikel ini akan mengupas tuntas tuduhan Benarkah Ahlussunnah Mendahulukan Akal Daripada Nash?, membedah isu Baik dan Buruk Menurut Kelompok Sunni dan Mu'tazilah, dan menjelaskan Posisi Tengah Asyariyah Dalam Memahami Sifat Khabariyah.

​1. Benarkah Aswaja Mendahulukan Akal?

​Tuduhan bahwa Aswaja (terutama Asy'ariyah) mendahulukan akal adalah kesalahpahaman yang muncul dari perbedaan metodologi dengan Atsariyah (tekstualis).

  • Peran Akal dalam Aswaja: Aswaja menggunakan akal (burhan) untuk membuktikan eksistensi Allah dan menetapkan sifat-sifat wajib-Nya (Sifat Nafsiyyah dan Salbiyyah). Ini wajib dilakukan karena keimanan harus didasarkan pada keyakinan kokoh, bukan sekadar ikut-ikutan (taqlid).
  • Wahyu Sebagai Penentu: Namun, dalam rincian hukum (furu') dan sifat-sifat Khabariyah (yang tidak bisa dijangkau akal), Aswaja menundukkan akal sepenuhnya pada nash. Akal tidak diizinkan menolak nash yang shahih dan sharih (jelas).
  • Jawaban Tuduhan: Jadi, jawaban atas pertanyaan Benarkah Ahlussunnah Mendahulukan Akal Daripada Nash? adalah: Tidak. Mereka menempatkan akal sebagai syarat wajib untuk keimanan dasar (nazhar) dan sebagai alat bantu dalam menafsirkan nash yang mutasyabih (samar), bukan sebagai sumber hukum di atas wahyu.

​2. Perbedaan Fundamental dengan Mu'tazilah

​Perbedaan Aswaja dengan Mu'tazilah, kelompok rasionalis utama dalam sejarah Islam, terletak pada sejauh mana akal diperbolehkan campur tangan dalam hukum Syariat. Isu utama adalah menentukan baik dan buruk:

  • Baik dan Buruk Menurut Kelompok Sunni dan Mu'tazilah:
    • Mu'tazilah: Mereka berpendapat bahwa akal manusia mampu menentukan secara independen apakah suatu perbuatan itu baik (husn) atau buruk (qubh)—disebut Tahsin wa Taqbih Aqly. Artinya, suatu perbuatan itu baik/buruk sebelum datangnya wahyu.
    • Sunni (Aswaja): Aswaja berpendapat bahwa penentu baik dan buruk syar'i (yang mendatangkan pahala dan dosa) adalah wahyu Allah (Syara'). Sesuatu itu wajib/haram karena Allah memerintahkan/melarangnya. Akal hanya mampu menilai baik dan buruk kebiasaan ('Adiyyah) seperti "adil itu baik" atau "zalim itu buruk," tetapi bukan menentukan hukum Syariat.
  • Inti Perbedaan: Sikap Mu'tazilah merusak otoritas mutlak wahyu dalam Syariat, sedangkan sikap Aswaja (Sunni) menjaga bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan Hukum, dan Akal bertugas memahaminya.

​3. Posisi Tengah dalam Sifat Khabariyah

​Keseimbangan akal dan wahyu paling jelas terlihat dalam isu Sifat Khabariyah (sifat-sifat yang hanya diketahui melalui khabar atau teks, seperti Yad [Tangan] atau Istiwa [Bersemayam]).

  • Bahaya Ekstrem: Dalam isu ini, Aswaja menghadapi dua ekstrem:
    1. Literalitas Ekstrem: Menggunakan akal minimal dan menerima makna literal, yang berpotensi jatuh pada Tajsim (menyerupakan Tuhan dengan makhluk).
    2. Rasionalitas Ekstrem: Menggunakan akal untuk menafikan sifat tersebut (Ta'til), seperti yang dilakukan Mu'tazilah.
  • Posisi Tengah Asyariyah Dalam Memahami Sifat Khabariyah: Asy'ariyah menempuh dua cara yang moderat:
    • Tafwidh: Meyakini lafaznya, namun menyerahkan hakikat maknanya kepada Allah, sambil menegaskan Tanzih (Allah tidak serupa makhluk). Ini adalah metode Salaf yang paling aman.
    • Takwil: Mengalihkan makna zahir (literal) ke makna lain yang sesuai dengan keagungan Allah (misalnya, Yad ditakwil sebagai qudrat [kekuasaan] atau ni'mah [nikmat]), yang merupakan metode Khalaf (ulama muta'akhirin) untuk menghindari Tajsim bagi awam.

Moderatisme Sebagai Kekuatan

Moderatisme Asyariyah adalah kekuatan utama Akidah ini. Dengan menempatkan Akal sebagai alat dan Wahyu sebagai sumber, Aswaja berhasil mempertahankan kemurnian Akidah Islam dari ekstremitas rasionalisme Mu'tazilah dan literalitas yang berlebihan.

​Mari kita yakini bahwa Akidah Asyariyah adalah perpaduan ilmiah yang paling aman, yang mampu memberikan jawaban logis tanpa mengurangi otoritas mutlak nash.

​Sumber : Kajian Ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Mengharmonisasi Akal dan Wahyu, Kritik Terhadap Mu'tazilah, dan Posisi Tengah Asy'ariyah - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®