Lahirnya Generasi Shalahuddin

Lahirnya Generasi Shalahuddin

𝗟𝗔𝗛𝗜𝗥𝗡𝗬𝗔 𝗚𝗘𝗡𝗘𝗥𝗔𝗦𝗜 𝗦𝗛𝗔𝗟𝗔𝗛𝗨𝗗𝗗𝗜𝗡

Oleh : Ahmad Syahrin Thoriq

Kisah pembebasan al Quds Yerusalem, oleh pahlawan legendaris Islam, Shalahuddin al Ayyubi rahimahullah bukanlah sekadar babak heroik dalam sejarah kepahlawanan, melainkan ia menjadi penanda dari kebangkitan total umat Islam. 

Kemenangan yang diraih pada tahun 1187 M di pertempuran Hittin adalah puncak yang terlihat dari sebuah proses pemulihan spiritual, intelektual, dan sosial yang berlangsung secara sistematis selama hampir satu abad penuh, yang dipimpin oleh generasi ulama-ulama reformis kolektif, bukan oleh satu dua orang saja.

 Shalahuddin sebenarnya bukanlah siapa-siapa seandainya generasi yang ada di zamannya tidak pernah ada. Karena Shalahuddin hanya bisa meraih gelarnya sebagai pembebas al Aqsha sebab ia hidup dan berjuang bersama generasi unggul di zamannya.

Dan generasi itu lahir  karena dibentuk oleh gagasan-gagasan brilian dan hasil perjuangan tak kenal lelah dari dua generasi sebelumnya, yakni generasi al Imam al Ghazali dan generasi Syaikh Abdul Qadir al Jailani.

𝗨𝗺𝗮𝘁 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗲𝗱𝗮𝗻𝗴 𝘀𝗮𝗸𝗶𝘁

Sebelum kebangkitan itu terjadi, dunia Islam berada dalam kondisi yang amat memprihatinkan, penuh dengan penyakit internal yang membuat umat rapuh di hadapan musuh-musuhnya. Kekuatan-kekuatan eksternal seperti pasukan Salib hanya mampu menancapkan kuku penjajahannya atas sebagian wilayah kekhalifahan Islam tidak lain karena negara dan masyarakat Muslim sendiri seperti telah lumpuh total akibat perpecahan politik yang akut dan rusaknya integritas moral di segala lapisan.

Pada masa itu sebenarnya kekhalifahan Abbasiyah masih eksis dan diakui keberadaannya, hanya saja pemeritahannya telah kehilangan kekuasaan politik dan militer yang nyata, hanya tersisa sebagai lambang spiritual semata. Khalifah hanya dihadirkan pada acara "gunting pita" dan memberikan doa restu pelantikan diangkatnya seorang sultan atau raja.

Kontrol efektif berada di tangan kerajaan-kerajaan kecil dan faksi-faksi regional yang mereka saling berebut pengaruh. Kondisi ini memicu perpecahan politik yang akut antar wilayah-wilayah Islam yang menguras habis sumber daya negara. Para penguasa lebih fokus pada persaingan internal daripada persatuan menghadapi ancaman dari luar, yang secara langsung menyebabkan kelemahan militer dan runtuhnya kehidupan ekonomi. Hal ini diperparah dengan adanya korupsi dan persaingan kemewahan dunia diantara para penyelenggara negara.

Sedangkan di masyarakat fanatisme madzhab telah merajalela, menguras habis energi para ulama, fuqaha dan cendekiawan dalam perdebatan yang minim manfaat bahkan sia-sia yang justru memecah belah persatuan umat. Ilmu dan amal seperti terpisah jauh. Nilai-nilai spiritualitas terdistorsi, melahirkan praktik keagamaan yang dangkal yang kehilangan kedalaman esensi ajaran Islam yang sebenarnya. 

Para ulama banyak terseret dalam perebutan duniawi sehingga mereka luput bahkan takut untuk menjalankan tugas dan fungsi utama mereka di tengah-tengah masyarakat, yakni menegakkan pilar amar ma’ruf nahi munkar.

Kondisi ini mengantarkan kita pada kesimpulan yang menyakitkan: bahwa musuh terberat umat saat itu sebenarnya bukanlah kekuatan pasukan Salib, melainkan kelemahan dan perpecahan yang bersumber dari internal umat Islam sendiri. 

𝗨𝗽𝗮𝘆𝗮 𝗽𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮 𝗽𝗿𝗼𝘆𝗲𝗸 𝗽𝗲𝗿𝗯𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 

Proses reformasi kolektif ini dimulai oleh para ulama yang dipelopori oleh al Imam Ghazali (w. 505 H). Beliau mengawali proyeknya dengan menggarap terlebih dahulu sisi paling fundamental yang menjadi sebab semua carut marut umat saat itu, yakni sisi pendidikan dan spiritual. Beliau menyadari bahwa perubahan harus dimulai dari hal yang paling mendasar dari dua hal tersebut, yakni menata kurikulum dan memperbaiki integritas intelektual.

Beliau dan rekan-rekannya secara revolusioner mengakhiri dominasi filsafat dan tasawuf yang terlalu ekstrem hingga melahirkan perilaku beragama semaunya tanpa batas aturan dan juga menentang sikap jumud dalam bermadzhab yang punya efek sebaliknya, yakni membelenggu kebebasan berfikir. 

Al imam Ghazali rahimahullah lewat karya monumentalnya Ihya Ulumiddin berusaha mereintegrasikan dua ilmu yang saat itu dipandang seperti selalu bertentangan, yakni ilmu fikih yang dianggap ilmu lahiriah dengan ilmu perbaikan jiwa seperti tasawuf yang dikategorikan ilmu bathiniyah.

Tujuannya dari proyek perbaikan ini adalah untuk melahirkan kembali generasi yang yang bukan hanya cerdas akalnya dan memiliki keahlian dalam fan ilmu yang dimiliki, tetapi juga generasi yang ikhlas hatinya, mulia akhlaqnya dan wara jiwanya sebagai prasyarat fundamental untuk menjadikan mereka agen-agen perubahan dan perbaikan dalam Islam.  

Lebih lanjut, beliau menghidupkan kembali kewajiban amar ma'ruf nahi munkar sebagai tanggung jawab komunal bagi ulama untuk berani mengkritik kezaliman di setiap lapisan sosial khususnya yang ada pada para penguasa. Melalui jaringan Madrasah Nizamiyyah, relasi dan murid-muridnya, kerangka pembaharuan ini mulai menyebar luas di kalangan intelektual, dan fungsionaris negara.

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗻𝗮𝗺𝗯𝘂𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗽𝗿𝗼𝘆𝗲𝗸  𝗵𝗶𝗻𝗴𝗴𝗮 𝗽𝗲𝗻𝗴𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻

Strategi dan pemikiran generasi al Ghazali ini kemudian diimplementasikan dan disebarluaskan secara massif melalui jaringan spiritual dan pendidikan oleh generasi setelahnya, Syaikh Abdul Qadir al Jailani (w. 561 H). Beliau mengambil teori perbaikan dan mengubahnya menjadi gerakan massa yang terorganisir melalui pusat-pusat dakwah dan madrasah yang tersebar luas.

Keberhasilan  generasi ini terletak pada kemampuan mereka untuk melakukan pembentukan karakter secara institusional yang menyeluruh. Jika tadinya baru pada tataran teori, konsep dan pemikiran, di masa ini sudah menyentuh pada tahapan praktek nyata di lapangan.

Pendidikan yang diterapkannya sangatlah intensif, melatih para murid dengan disiplin ilmu yang ketat, dikombinasikan dengan latihan spiritual yang mendalam, yang menghasilkan para pembawa panji yang kokoh dalam akidah, ilmu dan ketrampilan. Jaringan madrasah ini terlibat aktif dalam berbagai proyek nyata perbaikan umat mulai dari perlawanan ideologis terhadap ekstremisme seperti Syiah Batiniah dan sufi sufi yang menyimpang, juga keterlibatan nyata mereka memberikan solusi dan membantu kesulitan ekonomi yang melilit Masyarakat kala itu.

Berkat kerja keras ulama regional dan lokal yang mengadopsi semangat reformasi ini—seperti para ulama dari madrasah al 'Adawiyyah dan As Suhrawardiyyah—gerakan tersebut berhasil menjangkau lapisan masyarakat terendah, dari pedesaan hingga gurun, sehingga pemulihan terjadi secara komunal dan menyeluruh.

𝗣𝘂𝗻𝗰𝗮𝗸 𝗦𝗶𝗻𝗲𝗿𝗴𝗶 𝗸𝗲𝗸𝘂𝗮𝘁𝗮𝗻 𝘂𝗺𝗮𝘁 

Generasi yang dididik di bawah pengaruh dua imam reformis ini akhirnya menghasilkan pemimpin politik yang sesuai dengan tuntutan zaman: Nuruddin Zanki dan kemudian Shalahuddin al Ayyubi. Mereka adalah pemimpin yang mampu memahami bahwa kekuasaan sejati umat bersumber dari ilmu dan integritas spiritual, bukan pada angkatan bersenjata dan kekuatan ekonomi semata. 

Dan mereka kemudian mengintegrasikan nilai-nilai luhur ini kedalam system baku dalam mengatur pemerintahan dan masyarakatnya.

Salah satu contohnya Shalahuddin mendirikan Madrasah Shalahiyah di berbagai kota besar Islam, beliau rahimahullah menjadikan pendidikan reformis ini sebagai proyek nasional dan institusi negara. Beliau memastikan bahwa kurikulum yang telah dicanangkan oleh dua generasi sebelumnya menjadi tulang punggung pelatihan prajurit dan juga pejabat negara. 

Secara sistematis, para ulama dari generasi reformis ini diangkat untuk menduduki posisi-posisi kunci sebagai hakim, penasihat, dan komandan militer, sehingga mengintegrasikan otoritas spiritual dengan otoritas politik menjadi satu kesatuan yang kuat dan efektif. 

Sehingga apa yang kita saksikan dari kemenangan demi kemenangan generasi ini pada hakikatnya adalah kemenangan kolektivitas ulama yang berhasil mengikat umat dalam kekuatan persatuan iman.

Dari sejarah pembebasan al Quds ini kita bisa menyadari bahwa kebangkitan sejati tidak mungkin didapatkan dari pahlawan tunggal yang datang secara tiba-tiba, atau berupa hasil kerja instan beberapa kelompok. Itu semua hanya mungkin terwujud dari upaya pembaharuan yang dilakukan secara kolektif yang melibatkan nyaris semua komponen umat, dalam sebuah mega proyek yang bertahap dan berkesinambungan.

 Dan generasi Shalahuddin berhasil meraih tujuannya, karena mereka telah lebih dahulu memenangkan pertempuran melawan kelemahan internal, kebodohan, dan perpecahan di dalam diri umat Islam sebelum melawan musuh dari luar.

Simak dalam kajian special 𝗕𝗲𝗹𝗮𝗷𝗮𝗿 𝗞𝗲𝗯𝗮𝗻𝗴𝗸𝗶𝘁𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗿𝗶 𝗴𝗲𝗻𝗲𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗦𝗵𝗮𝗹𝗮𝗵𝘂𝗱𝗱𝗶𝗻 :https://astofficial.id/zoom/86

Wallahu a'lam

𝗦𝗘𝗣𝗘𝗥𝗧𝗜 𝗜𝗡𝗜 𝗚𝗘𝗡𝗘𝗥𝗔𝗦𝗜 𝗦𝗛𝗔𝗟𝗔𝗛𝗨𝗗𝗗𝗜𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗚𝗜𝗡𝗜 𝗔𝗟 𝗤𝗨𝗗𝗦 𝗗𝗜𝗥𝗘𝗕𝗨𝗧 𝗞𝗘𝗠𝗕𝗔𝗟𝗜

𝗦𝗘𝗣𝗘𝗥𝗧𝗜 𝗜𝗡𝗜 𝗚𝗘𝗡𝗘𝗥𝗔𝗦𝗜 𝗦𝗛𝗔𝗟𝗔𝗛𝗨𝗗𝗗𝗜𝗡 𝗗𝗔𝗡 𝗕𝗘𝗚𝗜𝗡𝗜 𝗔𝗟 𝗤𝗨𝗗𝗦 𝗗𝗜𝗥𝗘𝗕𝗨𝗧 𝗞𝗘𝗠𝗕𝗔𝗟𝗜

(هكذا ظهر جيل صلاح الدين وهكذا عادت القدس)

Oleh : KH. Ahmad Syahrin Thoriq 

Sang penulis menegaskan lewat karyanya bahwa kebangkitan umat tidak dimulai dari istana-istana melainkan dari madrasah-madrasah. Bukan dari angkatan perang tapi dari pendidikan.

Maka sudah pasti pembebasan sejati dimulai dari mengubah apa yang ada dalam diri melalui perbaikan pemikiran, pemurnian nilai-nilai ajaran dan pembangunan kesadaran kolektif hingga membuat umat mampu memikul proyek peradabannya sekali lagi.

Sosok hebat seperti Shalahuddin tidak menciptakan kemenangan sendirian, melainkan kemenangan itu diciptakan oleh satu generasi yang terintegrasi yang terdiri dari para ulama, pendidik, aktivis dan reformis. Dan generasi Shalahuddin al Ayyubi dibangun pondasinya secara berkesinambungan nyaris oleh tiga generasi, di mulai dari masa al Ghazali, dilanjutkan oleh Syaikh Abdul Qadir Jailani dan disempurnakan oleh generasi Nuruddin Zanki.

Maka barangsiapa yang bercita-cita dan berupaya mengembalikan al Quds kepangkuan kaum Muslimin, maka harus turut terlibat dalam proyek melahirkan kembali generasi seperti yang pernah ada di masa Shalahuddin. Yang bahan baku utamanya adalah iman, ilmu, persatuan dan menggali potensi diri.

لا نهضة بلا إصلاح تربية  ولا تحرير بلا وعي ولا مستقبل لأمة تنسى قوانين التاريخ وسنن التغيير.

Tidak akan ada kebangkitan tanpa adanya perbaikan pendidikan, dan tidak akan ada pembebasan tanpa adanya kesadaran. Dan tidak ada masa depan bagi umat yang melupakan hukum-hukum sejarah dan sunnah-sunnah perubahan.”

•┈┈•••○○❁༺ⒶⓈⓉ༻❁○○•••┈┈•

Sumber FB Ustadz :;Ahmad Syahrin Thoriq

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Lahirnya Generasi Shalahuddin - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®