
Fikih Politik: Independensi Ulama, Gaji Negara, dan Batasan Kritik Terbuka
Keseimbangan Antara Kebenaran dan Ketertiban
Hubungan antara ulama (penjaga syariat) dan penguasa (pemimpin politik) adalah hubungan yang kompleks dan kritis sepanjang sejarah Islam. Ulama dituntut untuk menjadi penasihat yang jujur sekaligus penjaga ketertiban masyarakat. Konflik sering muncul ketika ulama harus memilih antara mempertahankan kebenaran dan menjaga stabilitas negara. Peran ulama dalam hal ini harus didasarkan pada ilmu, bukan emosi atau kepentingan pribadi.
Artikel ini akan mengupas tuntas struktur hubungan antara Ulama dan Penguasa, meninjau sistem Gaji Ulama di masa Daulah Abbasiyah sebagai model independensi, dan membedah Hukum Mengkritik Penguasa Secara Terbuka menurut fikih.
1. Independensi Ulama: Model Gaji Daulah Abbasiyah
Independensi ulama sangat bergantung pada independensi finansial mereka. Sejarah Daulah Abbasiyah memberikan contoh bagaimana negara mendukung ulama tanpa serta merta menguasai fatwa mereka:
- Dukungan Finansial: Ulama yang menjabat sebagai Qadhi (hakim), Mufti, atau Imam Masjid Utama menerima gaji ulama di masa Daulah Abbasiyah yang bersumber dari Baitul Mal (kas negara). Gaji ini bertujuan agar ulama dapat mendedikasikan waktu sepenuhnya untuk ilmu dan peradilan tanpa harus sibuk mencari nafkah di luar.
- Syarat Independensi: Ulama yang dihormati tidak pernah menjadikan gaji negara sebagai sumber pendapatan tunggal. Mereka sering memiliki usaha sampingan (berdagang, bertani, atau menulis) yang berfungsi sebagai penjaga integritas. Jika penguasa mencoba menekan, mereka bisa menolak gaji tersebut dan tetap hidup mandiri.
- Kontrol Moral: Sejarah mencatat banyak ulama yang menolak tawaran jabatan atau gaji mewah dari penguasa yang zalim, menjadikannya bukti bahwa independensi moral jauh lebih penting daripada kenyamanan finansial.
2. Etika Nasihat: Ulama sebagai Jembatan Spiritual
Dalam hubungan antara Ulama dan Penguasa, peran terpenting ulama adalah memberikan nasihat (nushh) yang tulus dan jujur. Nasihat ini harus memiliki kualitas yang tinggi:
- Ulama yang Nasehatnya Seperti Nabi: Nasihat ulama yang efektif adalah yang disampaikan dengan hikmah (kebijaksanaan), kelembutan, dan rahasia, meneladani metode Nabi ﷺ dalam berinteraksi dengan orang-orang berpengaruh. Nasihat ini menyentuh nurani, bukan mempermalukan.
- Kriteria Nasihat yang Diterima: Nasihat harus: (1) Tulus (Ikhlas) demi kebaikan penguasa dan umat, bukan menjilat; (2) Ilmiah, didasarkan pada dalil syariat yang kuat; dan (3) Dilakukan Secara Privat sebisa mungkin untuk menjaga martabat penguasa dan menghindari kekacauan (fitnah) di masyarakat.
3. Batasan Fikih: Hukum Mengkritik Penguasa Secara Terbuka
Isu yang paling sensitif adalah Hukum Mengkritik Penguasa Secara Terbuka di hadapan publik (misalnya, melalui mimbar atau media sosial):
- Pandangan Mayoritas (Aswaja): Mayoritas ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah (terutama dari kalangan Salaf hingga Khalaf) berpendapat bahwa mengkritik penguasa secara terbuka (mengecam di depan umum) hukumnya tidak dibolehkan (haram atau makruh tahrim), meskipun penguasa tersebut zalim.
-
Alasan Pelarangan: Pelarangan ini bukan berarti takut atau tidak berani, melainkan didasarkan pada prinsip Sad Adz-Dzara’i (menutup pintu kerusakan). Kritik terbuka berpotensi:
- Menghilangkan Wibawa: Merusak wibawa penguasa yang dapat memicu pembangkangan dan kekacauan.
- Memicu Fitnah: Mengakibatkan fitnah besar, pertumpahan darah, dan kerugian yang jauh lebih besar daripada kezaliman penguasa itu sendiri.
- Metode yang Benar: Ulama mengajarkan bahwa kritik harus dilakukan dengan bertemu langsung (privat) atau melalui saluran komunikasi resmi yang telah disepakati, menjaga kerahasiaan (sirr) nasihat.
Integritas dan Maslahah
Peran ulama dalam politik adalah memastikan bahwa Syariat tetap ditegakkan dan kemaslahatan umat menjadi prioritas utama. Gaji Ulama boleh diterima, asalkan tidak menukar kebenaran dengan uang.
Dengan memahami Hukum Mengkritik Penguasa Secara Terbuka yang didasarkan pada prinsip maslahah jangka panjang, kita diajarkan untuk menghargai ulama yang berani berdialog secara privat demi kebenaran, daripada ulama yang mencari popularitas dengan kecaman publik yang berpotensi merusak stabilitas umat.
Sumber : Kajian Ulama