
Kunci Menjaga Lisan: Rahasia Ulama Mengkritik Tanpa Mencela dan Menghukumi
Membedakan Fikih dan Akidah
Dalam tradisi ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah, terdapat sebuah rahasia yang melahirkan toleransi fikih yang luar biasa: kemampuan untuk membedakan antara masalah Akidah (keyakinan) dan Fikih (hukum praktis). Pemisahan ini memungkinkan ulama bersikap adil, bahkan terhadap pihak-pihak yang berbeda pandangan teologis. Rahasia ini berakar pada prinsip fundamental bahwa adab dan keadilan harus diutamakan, bahkan dalam perselisihan.
Artikel ini akan mengupas bukti historis Ulama Salaf yang menerima kesaksian ahli bid’ah dalam bab hukum, menyoroti pentingnya adab ulama dalam kritik, dan menegaskan bagaimana etika universal menjadi fondasi bagi kehidupan bermasyarakat yang damai—semua menjadi kunci menjaga lisan bagi seorang Muslim.
1. Toleransi Fikih: Mengapa Ulama Menerima Kesaksian Ahli Bid’ah?
Prinsip paling mencengangkan yang menunjukkan keluasan fikih ulama adalah bagaimana mereka menyikapi kesaksian ahli bid’ah (Rawi atau saksi yang memiliki penyimpangan teologis) dalam masalah hukum:
- Ulama Salaf Yang Menerima Kesaksian Ahli Bid’ah Dalam Bab Hukum meletakkan syarat utama: Kejujuran dan Kepercayaan (Shiqah).
-
Pembedaan Kritis: Ulama Hadis dan Fikih membedakan antara:
- Kedustaan dalam Riwayat: Seorang Rawi yang dikenal pendusta (berbohong) secara sengaja, riwayatnya ditolak total.
- Penyimpangan Akidah (Bid’ah): Seorang Rawi yang memiliki bid’ah (seperti Khawarij atau Qadariyyah) namun terkenal jujur dan tidak pernah memalsukan Hadis. Dalam hal ini, Jumhur Ulama (mayoritas) menerima riwayatnya, karena kejujurannya dianggap tidak terpengaruh oleh keyakinan teologisnya.
- Prinsip Keadilan: Hal ini menunjukkan bahwa sistem hukum Islam (fikih) menuntut keadilan universal, di mana kesaksian seseorang diterima berdasarkan kejujuran personal (Shiqah), bukan berdasarkan kesesuaian pandangan akidahnya.
2. Rahasia Ulama Mengkritik Tanpa Mencela
Jika ulama sangat hati-hati dalam menerima kesaksian ahli bid'ah, mereka bahkan lebih berhati-hati dalam mengkritik sesama ulama. Inilah rahasia ulama mengkritik tanpa mencela:
- Fokus pada Dalil, Bukan Diri: Ulama Yang Mengkritik Dengan Kata-Kata Yang Lembut adalah teladan dalam dunia keilmuan. Kritik ilmiah ditujukan pada pendapat (ra’yu) dan metodologi, bukan pada personalitas (syakhsiyah).
- Prinsip Ihtiyat (Kehati-hatian): Ulama menahan diri dari takfir (menghukumi kafir) karena Daging Para Ulama Beracun. Mereka berpegang pada prinsip: jika ada 99 kemungkinan bahwa perkataan seorang Muslim mengarah pada kekafiran, dan ada 1 kemungkinan mengarah pada keimanan, maka harus diambil 1 kemungkinan yang mengarah pada keimanan. Ini adalah kunci menjaga lisan dari ucapan yang merusak ukhuwah.
- Tujuan Kritik: Kritik keras hanya dilakukan jika melibatkan penyimpangan akidah yang fatal atau pemalsuan Hadis, dan itu pun dilakukan oleh ahli yang kompeten.
3. Adab sebagai Prinsip Universal
Toleransi fikih dan adab dalam kritik adalah cerminan dari prinsip adab yang universal dalam Islam, yang berfungsi sebagai kontrol diri:
- Adab Bergaul: Prinsip Adab Bergaul dengan Lawan Jenis (seperti yang dibahas di Artikel 15) atau adab dalam muamalah harian menunjukkan bahwa adab adalah kerangka yang mengatur seluruh interaksi, baik yang bersifat vertikal (kepada ulama/guru) maupun horizontal (kepada sesama).
- Ketaatan pada Hukum Wajib: Adab juga diwujudkan dalam ketaatan pada hukum. Contohnya, kewajiban berdiam diri saat Khotbah Jumat (seperti yang disinggung di Artikel 17) adalah adab ketaatan yang mutlak, di mana seorang Muslim menunjukkan fokus dan kepatuhan pada syariat.
Keadilan dan Husnudzon
Keadilan (’adl) dan etika (adab) harus menjadi prioritas di atas perbedaan fikih atau akidah. Ulama telah menunjukkan kepada kita bahwa perbedaan teologis tidak menghalangi pengakuan terhadap kejujuran dan integritas seseorang dalam masalah hukum.
Bagi kita, kunci menjaga lisan adalah dengan selalu berprasangka baik (husnudzon) kepada ulama dan sesama Muslim. Mari kita jadikan adab sebagai hakim tertinggi dalam setiap perselisihan dan kritik, untuk memastikan bahwa ilmu yang kita tuntut membawa pada persatuan, bukan perpecahan.
Sumber : Kajian Ulama