
Perbedaan yang Rahmat
Keragaman pandangan dalam fikih adalah bagian dari sunnatullah dalam perjalanan intelektual umat.
Hadis "اختلاف أصحابي لكم رحمة" memberi pengertian: Nabi saw telah mengabarkan akan terjadinya perbedaan mazhab di kemudian hari. Nabi tidak mengingkari adanya perbedaan itu, bahkan mengukuhkannya sebagai rahmat, yakni ruang kelapangan berpikir dan berijtihad dalam lingkup syariat.
Dengan demikian, manusia yang dibebani hukum (mukallaf) diberi keleluasaan untuk mengikuti salah satu pendapat yang diyakininya paling kuat tanpa paksaan untuk terikat pada satu pendapat tertentu.
Dari sini, para ulama mengambil kesimpulan yang penting; semua mujtahid, selama berpegang pada kaidah istinbat yang benar.
Perbedaan hasil ijtihad tidak boleh dituduh sebagai penyimpangan, sebab Nabi sendiri bersabda: “Pendapat mana saja yang kalian ambil, kalian berada dalam petunjuk.” Maka, tidak dibenarkan mencela, menyesatkan, apalagi membid‘ahkan para ulama yang berbeda pandangan dalam wilayah ijtihadi.
Harun al-Rashid kepada Imam Malik bin Anas: “Wahai Aba ‘Abdillah, apakah engkau hendak membukukan kitabmu ini lalu memaksakan seluruh umat Islam untuk mengikutinya?”
Imam Malik: “Wahai Amir al-Mu’minin, sesungguhnya perbedaan para ulama adalah rahmat dari Allah untuk umat ini. Masing-masing mengikuti apa yang menurutnya benar. Semuanya berada di atas petunjuk dan semuanya mencari keridaan Allah.”
Fakta ini menggambarkan keluasan pandangan para imam mazhab dan kebijaksanaan intelektual.
Jadi, perbedaan mazhab bukanlah musibah sebagaimana dipahami secara serampangan oleh sebagian orang yang tergesa-gesa menilai bahwa agama harus satu bentuk, satu warna, dan satu metode. Justru perbedaan ini adalah nikmat besar, keutamaan yang mendalam, yang hanya dapat dipahami oleh para orang yang jernih pandangannya
Orang-orang yang dangkal pemahaman meremehkan hikmah perbedaan ini, dan acap kali mempertanyakan: “Bukankah Nabi membawa satu syariat? Dari mana datangnya empat mazhab?”
Pertanyaan semacam ini hanyalah cermin ketidakmengertian terhadap dinamika intelektual dalam syariat.
Lebih jauh lagi, sebagian orang sampai terjatuh dalam fanatisme mazhab, mengagungkan satu mazhab sambil merendahkan yang lain, sehingga melahirkan sikap permusuhan yang tidak perlu dan pertikaian intelektual yang tidak ilmiah.
Bahkan, ada yang sampai menyalakan api fanatisme golongan yang dikecam agama. Padahal, para mujtahid sendiri berlapang dada terhadap perbedaan; mereka tidak saling menyesatkan, tidak saling memusuhi, bahkan saling memuji dan menghormati.
Sejarah sahabat Nabi adalah cermin yang jernih untuk fenomena ini. Di antara para sahabat, perbedaan dalam masalah furu' sudah terjadi sejak awal.
Ada perbedaan pendapat dalam masalah fiqh antara ‘Umar dan ‘Ali, antara Ibn ‘Abbas dan Ibn ‘Umar, antara ‘A’isyah dan Abu Hurairah, namun semua perbedaan itu tidak pernah melahirkan perselisihan hati atau perpecahan umat. Perbedaan mereka berjalan dalam bingkai adab al-ikhtilāf dan etika perbedaan.
Inilah substansi hadis: “Perbedaan umat ini adalah rahmat; sedangkan perbedaan umat terdahulu adalah sebab kebinasaan mereka.”
Mengapa berbeda hasilnya? Karena perbedaan umat Nabi Muhammad berlangsung dalam ruang kelapangan syariat (al-Musamahah) dan berpijak pada prinsip saling menghormati dalam mencari kebenaran.
Sebagai contoh. Syariat Yahudi, tidak ada pilihan selain qisas; sementara dalam syariat Nasrani, yang berlaku hanya diyat. Namun Islam datang menggabungkan dua ketentuan itu: qisas boleh, diyat boleh, dan memaafkan bahkan lebih utama. Inilah syariat yang menghimpun ketinggian hikmah dan keluasan rahmat.
Demikian pula perbedaan mazhab; ia bagian dari keluasan rahmat Allah kepada umat Muhammad. Mazhab-mazhab dalam fiqhh hanyalah jalan-jalan metodologis menuju satu tujuan, mengamalkan kehendak Allah. Ia ibarat sungai-sungai yang bermuara ke laut yang sama; kebenaran Ilahi.
Semoga bermanfaat.
MUDI MESRA, 22 Oktober.
Sumber FB Ustadz : Zulkarnaini Ar