​Mengupas Tuntas Khilaf Ulama: Sumber Perbedaan, Otoritas Fikih, dan Adab Muslim yang Benar

​Mengupas Tuntas Khilaf Ulama: Sumber Perbedaan, Otoritas Fikih, dan Adab Muslim yang Benar

​Mengupas Tuntas Khilaf Ulama: Sumber Perbedaan, Otoritas Fikih, dan Adab Muslim yang Benar

Memahami Kekayaan Metodologi Islam

​Perbedaan pendapat (khilaf) dalam masalah hukum Islam (furu'iyyah) adalah realitas sejarah yang tidak terhindarkan di kalangan para ulama. Sayangnya, bagi sebagian umat awam, khilaf ini justru sering menjadi sumber perpecahan, bukan kekayaan.

​Sebagai muslim yang cerdas, kita wajib memahami bahwa perbedaan pendapat di antara ahli ilmu bukanlah kebetulan atau kelemahan, melainkan hasil dari metodologi ilmiah yang ketat. Artikel mendalam ini akan mengurai faktor-faktor utama yang menyebabkan khilaf, menjelaskan tingkatan otoritas para ulama yang berhak berijtihad, serta menuntun kita pada adab yang benar dalam menyikapi keragaman ini. Tujuannya adalah membantu Anda melihat khilaf sebagai bukti keluasan dan keluwesan syariat Islam.

​1. Menentukan Otoritas: Siapa yang Berhak Berijtihad?

​Tidak semua perbedaan pendapat diakui dalam diskursus fikih (khilaf ghairu muktabar). Perbedaan yang sah (khilaf muktabar) hanya lahir dari ijtihad para ulama yang telah mencapai tingkatan ilmu tertentu, yang dikenal sebagai Mujtahid.

​Tingkatan Mujtahid dan Peran Madzhab

​Ulama membagi otoritas ijtihad ke dalam tingkatan yang berbeda, yang juga menjelaskan mengapa muncul madzhab (mazhab) yang berbeda:

  1. Mujtahid Mutlaq Mustaqil: Inilah para pendiri mazhab besar (seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad). Mereka menyusun kaidah Ushul Fiqih (metodologi dasar) mereka sendiri secara independen. Ijtihad mereka membentuk kerangka dasar mazhab.
  2. Mujtahid Mutlaq Muntasib: Ulama yang memiliki kemampuan ijtihad penuh, namun memilih untuk mengasosiasikan diri dengan metodologi (ushul) mazhab tertentu sebagai dasar pijakan mereka.
  3. Mujtahid Fii al-Madzhab: Para ulama yang berijtihad pada cabang-cabang masalah (furu') yang belum dibahas oleh pendiri mazhab, namun tetap terikat pada kerangka metodologi mazhab yang mereka ikuti.

​Dengan memahami tingkatan ini, kita menyadari bahwa khilaf adalah masalah yang terbatas antara para ulama (saja) yang memiliki perangkat ilmu yang lengkap. Umat awam tidak berhak menyamakan ijtihad para Mujtahid dengan pendapat pribadi.

​2. Empat Faktor Utama Terjadinya Khilaf Antar Ulama

​Perbedaan di kalangan Mujtahid adalah produk dari proses ilmiah yang ketat. Sumber utama terjadinya perbedaan pendapat dapat dikelompokkan menjadi empat kategori utama:

​A. Perbedaan Riwayat dan Ketersediaan Hadis

​Tidak semua hadis sampai kepada ulama di masa yang sama, atau ada hadis yang sampai namun dianggap dhaif (lemah) oleh satu ulama dan shahih oleh ulama lainnya.

  • Contoh: Perbedaan hadis yang mereka jadikan sandaran dalam masalah hukum tertentu, seperti jumlah rakaat tarawih atau tata cara wudu. Jika sumber data (hadis) yang diterima berbeda, tentu hukum yang disimpulkan juga akan berbeda.

​B. Perbedaan Tafsir dan Pemahaman Teks (Nass)

​Seringkali, satu lafaz (kata) dalam Al-Qur'an atau Hadis memiliki makna ganda (musytarak) atau konteks yang bisa ditafsirkan berbeda (zhan al-dalalah).

  • Contoh: Kata "Qurū'" dalam Al-Qur'an (tentang masa iddah wanita) bisa berarti suci (Mazhab Syafi’i dan Maliki) atau haid (Mazhab Hanafi). Perbedaan penafsiran ini langsung menghasilkan perbedaan dalam penetapan hukum iddah.

​C. Perbedaan dalam Kaidah Ushul Fiqih

​Setiap Mujtahid Mutlaq memiliki seperangkat kaidah Ushul Fiqih yang menjadi filter dan metodologi mereka. Perbedaan dalam kaidah ini akan menghasilkan perbedaan hukum yang besar.

  • Contoh: Perbedaan dalam penggunaan Istihsan (menganggap baik) atau Mashalih Mursalah (kemaslahatan yang tidak ada dalil khusus yang membahasnya) sebagai sumber hukum.

​D. Perbedaan dalam Kedudukan Hukum

​Sebagian ulama terkadang menetapkan status hukum yang berbeda untuk perbuatan yang sama, seperti apakah suatu praktik hukumnya Sunnah atau hanya Mubah (dibolehkan). Perbedaan ini muncul dari interpretasi mereka terhadap perintah atau larangan dalam dalil.

​3. Batasan dan Kewajiban Menyikapi Ijmak Ulama

​Meskipun khilaf diperbolehkan, hal itu memiliki batas. Salah satu batas terpenting adalah Ijmak (Konsensus).

  • Definisi Ijmak: Kesepakatan seluruh ulama Mujtahid pada suatu masa mengenai suatu hukum syariat.
  • Kekuatan Hukum: Ijmak menempati posisi otoritas tertinggi kedua setelah Al-Qur'an dan Sunnah. Ketika suatu masalah telah mencapai tingkatan Ijmak, maka bukan hal yang mudah untuk berbeda dengan Ijmak Ulama. Ulama yang berbeda pendapat setelah Ijmak terbentuk akan dianggap menyalahi jalan mayoritas (Jumhur) dan pendapatnya cenderung ditolak atau dilemahkan.
  • Peringatan: Oleh karena itu, bagi mereka yang ingin keluar dari kerangka Ijmak harus berhati-hati penuh dan memiliki landasan dalil yang sangat kuat, karena mereka berhadapan dengan otoritas yang telah disepakati oleh ribuan pakar.

​4. Adab Seorang Muslim: Berhati-hatilah Menyalahkan Ulama

​Setelah memahami kompleksitas khilaf dan tingginya otoritas Mujtahid, kewajiban kita adalah berpegang teguh pada adab:

  • Prinsip Husnudzon (Berprasangka Baik): Jangan mudah menyalahkan atau meremehkan pendapat para ulama terdahulu. Setiap pendapat Mujtahid pasti memiliki dalil dan alasan ilmiah yang kuat, bahkan jika pendapat itu terasa asing bagi kita.
  • Membatalkan Kedudukan: Posisikan diri Anda sebagai penuntut ilmu atau pengikut, bukan hakim yang berhak membatalkan kedudukan seorang ulama yang telah diakui.
  • Daging Ulama Beracun: Sebagaimana nasihat ulama, "Daging para ulama itu beracun," yang berarti mencela, menghina, atau menyebarkan aib ulama dapat mendatangkan bahaya spiritual yang besar bagi pelakunya.

​Tugas kita sebagai umat awam hanyalah ittiba' (mengikuti) ulama yang kita yakini keilmuan dan ketakwaannya, sambil menghormati ulama lain yang mungkin berbeda pandangan. Inilah kunci untuk menjaga persatuan di tengah keragaman.

Menjaga Persatuan di Tengah Keragaman Fikih

​Setelah menelusuri kompleksitas khilaf dari sisi otoritas, metodologi, hingga batasan Ijmak, kesimpulan yang harus kita pegang teguh adalah: perbedaan di kalangan ulama adalah rahmat, bukan bencana.

Khilaf adalah bukti keluasan syariat yang memungkinkan hukum Islam adaptif terhadap berbagai situasi dan zaman, selama ijtihad tersebut dilakukan oleh ahli ilmu yang kompeten.

​Sebagai umat awam, kunci kita dalam menyikapi keragaman ini adalah:

  1. Mengikuti Otoritas: Berpegang teguh pada ulama yang diyakini keilmuan dan ketakwaannya (ittiba'), tanpa merasa harus memilih-milih dalil sendiri.
  2. Menghormati: Tunjukkan adab yang tinggi dengan berhati-hati dalam menyalahkan atau meremehkan pendapat para Mujtahid terdahulu.
  3. Mengutamakan Persatuan: Fokuskan energi kita pada hal-hal yang menjadi kesepakatan (Ijmak) para ulama, dan jadikan perbedaan furu' sebagai alasan untuk berlapang dada, bukan berpecah belah.

​Dengan memahami metodologi ilmiah para ulama, kita akan mampu menjaga kemurnian ilmu sekaligus keutuhan ukhuwah. 

Sumber : Kajian Ulama kategori ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "​Mengupas Tuntas Khilaf Ulama: Sumber Perbedaan, Otoritas Fikih, dan Adab Muslim yang Benar - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®