Memahami Tradisi Saling Kritik dan Bahaya Mencela Ulama

Memahami Tradisi Saling Kritik dan Bahaya Mencela Ulama

Etika Berbeda Pendapat: Memahami Tradisi Saling Kritik dan Bahaya Mencela Ulama

Kritik sebagai Mesin Penggerak Ilmu

​Di mata orang awam, perbedaan dan perdebatan antar ulama sering terlihat sebagai pertanda kelemahan atau perpecahan. Padahal, bagi dunia keilmuan Islam, tradisi saling kritik antar ulama adalah mesin penggerak yang menjaga kesucian dan keakuratan ilmu. Kritik dalam Islam (naqd) adalah proses ilmiah yang memastikan bahwa tidak ada pendapat yang diterima tanpa verifikasi dalil dan metodologi.

​Namun, kritik ilmiah memiliki batas, dan bagi umat awam, batas tersebut adalah adab dan rasa hormat. Artikel ini akan mengupas perbedaan antara kritik ilmiah (yang membangun) dan cela (yang merusak), menelaah kasus kontroversial seperti Ibn Taimiyah, dan memberikan peringatan tegas tentang bahaya mencela ulama.

​1. Kritik Ilmiah: Tradisi Saling Koreksi yang Membangun

Tradisi saling kritik antar ulama bukanlah hal baru; ini telah menjadi bagian integral dari metodologi Ushul Fiqih dan Ilmu Hadis sejak masa klasik. Kritik ini didasarkan pada prinsip:

  • Fokus pada Dalil dan Metodologi: Kritik hanya ditujukan pada pendapat, dalil, atau metodologi yang digunakan seorang ulama, bukan pada person atau kepribadiannya.
  • Tujuan Mencari Kebenaran: Tujuannya adalah untuk mencari haq (kebenaran), bukan mencari kemenangan atau menjatuhkan lawan. Ulama klasik saling menghormati, bahkan ketika mereka berbeda pendapat dalam masalah fikih yang sangat mendasar.

Contoh: Seorang Imam mazhab bisa mengkritik Hadis yang digunakan oleh Imam mazhab lain. Kritik ini diterima karena dilakukan oleh ahli ilmu yang memiliki kompetensi setara.

​2. Batas yang Rawan: Kritik Kontroversial dan Cela

​Tidak semua kritik berjalan mulus. Ada kalanya kritik melampaui batas dan menjurus pada celaan (ta’n) atau ghibah (menggunjing) yang merusak kehormatan ulama lain, bahkan ulama yang sudah wafat.

  • Kasus Ibn Taimiyah dan Celaannya kepada Ulama: Tokoh seperti Syaikhul Islam Ibn Taimiyah dikenal dengan naqd (kritik) yang tajam dan tegas terhadap ulama di zamannya dan ulama sebelumnya (terutama dari kalangan Mutakallimin dan Sufi). Kritik ini seringkali memicu kontroversi. Meskipun niatnya mungkin untuk membersihkan syariat, metode yang ia gunakan, yang kadang-kadang terkesan keras terhadap ulama lain, sering dijadikan pelajaran tentang bahaya kritik yang tidak hati-hati, bahkan oleh pengikutnya.
  • Pentingnya Konteks: Meskipun demikian, penting untuk membedakan antara celaan yang disengaja dengan kritik ilmiah yang keras. Di masa lalu, ketegasan bahasa dalam perdebatan ilmiah sering digunakan untuk menekankan dalil, tetapi ini berbeda dengan mencela atau menghina.

​3. Peringatan Tegas: Daging Para Ulama Beracun

​Ketika perdebatan ilmiah beralih menjadi celaan pribadi, ulama memberikan peringatan keras. Salah satu ungkapan yang paling terkenal adalah: "Daging para ulama beracun."

  • Makna: Ungkapan ini berfungsi sebagai peringatan spiritual. Mencela ulama dapat merusak hati, menghilangkan berkah ilmu, dan mengundang murka Allah karena ulama adalah pewaris para Nabi.
  • Prinsip Adab: Adab (etika) mengharuskan kita untuk berhati-hatilah dalam menyalahkan pendapat para ulama. Jika kita tidak memiliki perangkat ilmu (Mujtahid), tugas kita adalah ber- husnudzon (berprasangka baik) dan yakin bahwa pendapat mereka didasarkan pada dalil, meskipun kita memilih untuk mengikuti pendapat ulama yang lain.

​4. Etika Umat Awam: Menjaga Lisan dan Kehormatan

​Peringatan Daging Ulama Beracun terutama ditujukan kepada Awam yang Kurang Ajar kepada Ulama.

​Umat awam tidak memiliki hak atau kemampuan untuk menilai validitas Hadis atau kekuatan ijtihad seorang Mujtahid. Ketika seorang awam lancang menyalahkan atau mencela ulama, ia tidak hanya merusak nama baik ulama tersebut, tetapi juga berpotensi merusak keimanan dan persatuan umat.

Tugas awam adalah:

  1. Mengikuti (Ittiba'): Mengikuti ulama yang dipercaya.
  2. Menghormati (Ihtiram): Menghormati ulama lain yang berbeda pendapat.
  3. Menjaga Lisan: Menahan diri dari menyebarkan celaan yang dapat memicu fitnah.

Adab di Atas Ilmu

​Tradisi kritik antar ulama adalah tanda kedewasaan ilmu, tetapi adab harus selalu berada di atasnya. Dalam setiap diskusi, baik online maupun offline, kita harus selalu mengingat peringatan "Daging Para Ulama Beracun."

​Dengan membedakan antara kritik ilmiah yang membangun dan celaan yang merusak, dan dengan menerapkan adab yang benar, kita dapat menjaga kemurnian ilmu, menghormati para ahli, dan memastikan bahwa perdebatan dalam Islam tetap menjadi sumber rahmat, bukan perpecahan.

Sumber : Kajian Ulama kategori ulama

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Memahami Tradisi Saling Kritik dan Bahaya Mencela Ulama - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®