Hukum Demonstrasi Menurut MUI

Hukum Demonstrasi Menurut MUI

Hukum Demonstrasi Menurut MUI

MUI melalui Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV tahun 2012 yang diselenggarakan di Pesantren Cipasung Tasikmalaya, tepatnya pada tanggal 1 Juli 2012 menetapkan fatwa mengenai  “Etika Berdemonstrasi dan Kebebasan Berekspresi”. 

Ada lima poin putusan yang disampaikan oleh MUI terkait demonstrasi sebagai berikut:

1. Islam menghargai kebebasan berekspresi sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama, etika, moral dan kepribadian bangsa.

2. Islam dan UUD 1945 menjamin penuh prinsip-prinsip musyawarah untuk menyampaikan aspirasi, mencari kesepakatan dalam bingkai yang beretika, saling menghormati dan saling menghargai antarelemen bangsa.

3. Jika aksi demonstrasi (muzhāharah):

a. Diniatkan Ikhlas karena Allah SWT

b. Bertujuan untuk al-amr bi al-ma’ruf wa an-nahy ‘an al-munkar

c. Dijadikan sarana perjuangan (jihad) untuk melakukan perubahan menuju suatu sistem nilai yang lebih baik berdasarkan al-Qur’an dan as-sunnah maka hal itu bernilai positif, sehingga hukumnya boleh (mubah), bahkan bisa berkembang menjadi sunnah atau wajib tergantung pada qarinah (situasi dan kondisi)-nya.

4. Jika demonstrasi berubah menjadi perbuatan brutal, anarkis dan tindak kekerasan yang mengancam keselamatan jiwa manusia, harta dan merusak fasilitas umum maka dilarang oleh syariat Islam.

5. Demonstrasi harus dilakukan dengan cara-cara yang santun dan tertib sesuai dengan nilai-nilai al-akhlaq al-karimah.

MUI menetapkan lima poin putusan di atas berdasarkan firman Allah SWT dalam ayat-ayat sebagai berikut: QS Ali Imran: 104, QS al-Anfal: 60, QS al-An’am: 108.

Ada empat hadis yang digunakan oleh MUI sebagai dasar penetapan:

“Seutama-utamanya jihad adalah perkataan yang benar terhadap penguasa yang zalim HR Ibnu Majah, Ahmad, ath-Thabarani, al-Baihaqi dan an-Nasai.

Ditambah hadis “agama adalah nasihat”, “siapa saja yang melihat kemunkaran” dan hadis mengenai “hak jalan”.

Kaidah fikih yang menjadi dasar pertimbangan adalah al-dharar yuzalu, bahaya/kerugian harus dihilangkan.

MUI juga mengutip pendapat Yusuf al-Qaradhawi dalam kitabnya, Majmu al-Fatawa (?). Beliau mengatakan, “Adalah menjadi hak umat Islam-sebagaimana umat manusia lainnya- melakukan long march dan demonstrasi untuk mengungkapkan tuntutan dan menyampaikan kebutuhan mereka kepada pihak pemerintah dan pembuat keputusan dengan suara yang didengar dan tidak mungkin tidak diketahui.

Sesungguhnya suara satu orang terkadang tidak diperhatikan. 

Berbeda dengan suara para demonstran dalam jumlah besar apalagi jika di antara mereka terdapat para tokoh yang mempunyai kedudukan penting dan pengaruh yang kuat di tengah-tengah masyarakat maka suara pasti diperhatikan. Karena tuntutan yang disampaikan secara bersama lebih kuat dibanding apabila dilakukan sendirian”.

Hasanuddin AF dan HM Asrorun Niam Sholeh, Dinamika Fatwa MUI Dalam Satu Dasawarsa Potret Komisi Fatwa MUI 2010-2020 (Jakarta: Buku Republika, 2021), hlm 913-916.

Demikian fatwa MUI mengenai hukum demonstrasi.

MUI tidak menilai adanya alasan kuat untuk mengharamkan demonstrasi.

Yang dimaksud dengan demonstrasi dalam hal ini adalah demonstrasi kepada pemerintah. Hal ini tentu berbeda dengan aksi damai semisal aksi damai bela Palestina yang sering kali dihadiri oleh pemerintah.

MUI mengharamkan demonstrasi anarkis semisal merusak fasilitas umum, membakar asset-asset negara, menjarah harta benda orang lain dan lain-lain.

Demonstrasi damai (muzhaharah silmiyah) hukumnya asalnya menurut MUI mubah. Hukum mubah ini dalam pandangan MUI bisa berubah menjadi sunnah dan wajib tergantung tujuan dan niat para pelaku demonstrasi.

Jika demonstrasi damai hukumnya boleh menurut MUI, tentu aksi damai semisal aksi damai bela Palestina hukumnya boleh.

Dalam demonstrasi anarkis menurut MUI yang haram adalah tindakan brutal dan anarkisnya, bukan demonstrasinya.

Permasalahan hukum demonstrasi bukanlah permasalahan nashshiyyah (ada teks tegas dari al-Qur’an dan hadis Nabi SAW), bukan pula termasuk hal yang mujma’ ‘alaihi (disepakati hukumnya oleh semua ulama). 

Oleh karena itu wajar jika ada silang pendapat di antara para ulama kontemporer dalam hal ini. 

Boleh saja sebagian dari kita tidak sepakat dengan pandangan MUI tentang hukum demonstrasi di atas namun kita wajib menyadari dan mengakui beradaan pendapat semisal pendapat MUI di atas. 

Di antara bentuk hizbiyyah (fanatik kelompok/golongan) adalah mengakui adanya perbedaan pendapat bila para ulama dalam kelompoknya berbeda pendapat. Akan tetapi jika ulama yang memiliki pandangan yang berbeda itu tidak satu kelompok dengannya adanya perbedaan pendapat di antara para ulama tidak diakui.

Sikap semacam ini adalah indikator kuat yang menunjukkan bahwa orang-orang tersebut menyakini bahwa kelompoknya adalah representasi kebenaran mutlak itu sendiri, kebenaran tidak keluar dari kelompoknya dan kelompoknya adalah duta tunggal kebenaran.

Aris Munandar

Sumber FB Ustadz : Aris Munandar

©Terima kasih telah membaca kajian ulama ahlussunnah dengan judul "Hukum Demonstrasi Menurut MUI - Kajian Ulama". Semoga Allah senantiasa memberikan Ilmu, Taufiq dan Hidayah-Nya untuk kita semua. aamiin. by Kajian Ulama Aswaja ®