Perbuatan yang tidak dilakukan Nabi ada dua klasifikasi
1. Perbuatan tidak dilakukan Nabi, karena tidak ada tuntutan untuk melakukannya, di masa Nabi masih hidup, kemudian setelah masa Nabi, ada tuntutan untuk melakukannya. Perbuatan-perbuatan jenis ini boleh dilakukan oleh umat berdasarkan hukum asalnya, yaitu; tidak ada larangan melakukannya.
Contohnya: perayaan Peringatan Maulid Nabi, perayaan Peringatan Isra' Mi'raj, perayaan Peringatan tahun baru Hijriah, perayaan Tarhib Ramadhan, perayaan peringatan Nuzul Al-Qur’an, berzikir setelah shalat dengan suara jahr secara berjamaah, tahlilan setelah seorang muslim/ah wafat, dan banyak lagi contoh yang lain.
2. Tidak dilakukan Nabi, padahal ada tuntutan melakukannya, di masa Nabi masih hidup. Perbuatan yang tidak dibuat Nabi kategori ini tidak boleh dilakukan oleh umat. Karena, kalau ada maslahat menurut syariat, pasti Nabi akan melakukannya. Namun Nabi tidak melakukannya. Ini menunjukkan bahwa yang tidak dilakukan Nabi tidak boleh dibuat.
Contoh: Nabi tidak melakukan azan dan iqamah sebelum menunaikan shalat Idul Fithri dan Idul Adha, Nabi tidak melaksanakan shalat Subuh tiga rakaat, dan lain-lain.
Dua klasifikasi di atas jelas perbedaannya. Namun Wahabi menggiring opini orang awam bahwa keduanya sama dan semuanya dihukumi bid'ah dhalalah/bid'ah sesat. Ini satu diantara cara framing jahat Wahabi dalam membohongi umat.
Dan perlu dipahami dengan baik, umat Rasulullah Ahlussunnah wal Jama'ah tidak melakukan perbuatan-perbuatan baru muncul belakangan/tidak dilakukan Rasulullah, sekedar beralasan "ini baik". Tetapi mesti sesuai dengan dalil-dalil umum al-Qur'an dan Sunnah serta kaidah-kaidah umum syariat Islam.
Perhatikan penjelasan Imam Syafi'i ketika menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan baru muncul belakangan/tidak dibuat di masa Rasulullah (al-Muhdatsat) itu ada dua; Mahmudah dan Madzmumah. Disebut mahmudah bila sejalan dengan al-Qur'an, Sunnah, Atsar Sahabat, dan Ijma'. Dan disebut madzmumah bila tidak sejalan dengan al-Qur'an, Sunnah, Atsar Sahabat, dan Ijma'.
Contoh: perayaan Peringatan Maulid Nabi
Perayaan Peringatan Maulid Nabi tujuannya adalah: bersyukur dengan nikmat dihadirkannya Rasulullah di tengah-tengah umat ini, bergembira menjadi umat beliau, memupuk rasa cinta kepada beliau, dan mengagungkan beliau.
Bentuk acaranya:
1. Membaca al-Qur'an
2. Membahas tentang Sirah Nabawiyah dan akhlaq-akhlaq mulia Rasulullah
3. Berdoa, berzikir, bershalawat, dan membaca qashidah memuji (madah) Rasulullah
4. Bersedekah makanan
Keempat poin di atas adalah baik dan sejalan dengan dalil-dalil umum al-Qur'an dan Sunnah serta kaidah-kaidah umum syariat. Tidak ada satupun yang bertentangan.
Perayaan Peringatan Maulid Nabi tujuannya baik dan cara melakukannya juga baik. Tidak ada yang bertentangan dengan syariat, makanya ulama-ulama hadis dan ulama-ulama fiqh membolehkan mengadakannya.
Perayaan peringatan Maulid Nabi shallallahu alaihi wa Sallam adalah tradisi yang dibuat oleh umat Rasulullah sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia atas karunia diutusnya Rasulullah Shallallahu alaihi wa Sallam di tengah umat ini, yang pemikiran mengadakannya sejalan dengan maksud dalil-dalil umum al-Qur'an dan Sunnah serta kaidah-kaidah umum syariat Islam.
Karena Maulid Nabi adalah tradisi yang muncul belakangan, para ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah menyebutnya sebagai perbuatan bid'ah hasanah atau bid'ah huda dan berpahala orang yang melakukannya.
Diantara dalil-dalil umum yang menjadi dasar ulama Ahlussunnah Wal Jama'ah mengadakan Maulid Nabi adalah hadis tentang puasa 'Asyura (10 Muharram) setiap tahun.
Di dalam shahih Bukhari hadis dari jalur Ibnu Abbas disebutkan:
قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المَدِينَةَ فَرَأَى اليَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: «مَا هَذَا؟»، قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: «فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ»، فَصَامَهُ، وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
Artinya: Nabi Muhammad SAW datang ke kota Madinah. Beliau kemudian melihat orang Yahudi puasa pada hari Asyura’. Lalu Rasul bertanya ‘Ada kegiatan apa ini?’ Para sahabat menjawab ‘Hari ini adalah hari baik yaitu hari di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka. kemudian Nabi Musa melakukan puasa atas karunia tersebut.’ Rasul lalu mengatakan ‘Saya lebih berhak dengan Musa daripada kalian’. Nabi kemudian berpuasa untuk Asyura’ tersebut dan menyuruh pada sahabat menjalankannya. (HR Bukhari)
Nabi Musa dan umatnya melakukan puasa Asyura setiap tahun sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia atas selamatnya Nabi Musa dari kejahatan Fir'aun. Rasulullah bahkan menyuruh juga umatnya untuk berpuasa Asyura juga. Berdasarkan pemikiran utama puasa Asyura, setiap orang yang mendapatkan nikmat atau terhindar dari suatu musibah, boleh baginya untuk mensyukurinya setiap tahun/bulan/satuan waktu yang lain.
Sumber FB Ustadz : Alnofiandri Dinar

